Sri Mulyani Soroti Kebijakan Tarif Resiprokal Donald Trump: AS Merasa Dirugikan oleh Sistem Perdagangan Global yang Diciptakannya Sendiri

Kamis, 01 Mei 2025 | 21:07:27 WIB
Sri Mulyani Soroti Kebijakan Tarif Resiprokal Donald Trump: AS Merasa Dirugikan oleh Sistem Perdagangan Global yang Diciptakannya Sendiri

JAKARTA - Menteri Keuangan Republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati, memberikan perhatian serius terhadap kebijakan tarif resiprokal yang kembali digaungkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump, dalam wacana dagang internasional. Dalam konferensi pers terbarunya, Sri Mulyani mengungkapkan bahwa kebijakan ini berangkat dari pandangan Trump yang merasa Amerika Serikat telah dirugikan oleh sistem perdagangan global yang justru diciptakan oleh negaranya sendiri pasca-Perang Dunia II.

Trump Kembali Soroti Tarif Balasan terhadap Negara Mitra Dagang

Kebijakan tarif resiprokal, atau tarif balasan, bukanlah hal baru dalam pemerintahan Donald Trump. Selama masa jabatannya sebelumnya, Trump dikenal vokal dalam menuding ketimpangan perdagangan antara AS dan berbagai negara mitra, termasuk Indonesia, Tiongkok, Meksiko, dan negara-negara Uni Eropa. Kini, dalam langkah politik terbarunya, Trump kembali menyuarakan keinginan untuk menerapkan sistem tarif yang lebih “adil” menurut sudut pandang AS.

Kebijakan ini mengharuskan negara-negara yang mengimpor produk dari AS untuk dikenai tarif dengan tingkat yang sama sebagaimana AS dikenakan saat mengimpor dari negara tersebut. Sistem ini bertujuan menciptakan hubungan dagang yang “seimbang,” namun di sisi lain, banyak pihak menilai pendekatan ini berpotensi menimbulkan konflik dagang dan mengganggu rantai pasok global.

Sri Mulyani: AS Merasa "Dizalimi" oleh Sistem Global

Dalam konferensi pers rutin “APBN Kita” yang digelar di Kantor Kementerian Keuangan RI, Sri Mulyani menjelaskan bahwa pernyataan Trump tersebut mencuat kembali dalam berbagai pertemuan bilateral yang ia hadiri di Washington DC, Amerika Serikat. Menurutnya, sikap Trump mencerminkan ketidakpuasan AS terhadap sistem ekonomi global yang saat ini berlaku.

“Jadi di Washington kemarin, headline dan topik paling menonjol adalah statement AS bahwa mereka merasa dizalimi oleh sistem di pasar global,” ujar Sri Mulyani.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa sistem global yang kini dikritik oleh AS sebenarnya dirancang oleh negara itu sendiri pasca-Perang Dunia II. Sistem tersebut melahirkan berbagai lembaga internasional penting seperti World Bank (Bank Dunia), International Monetary Fund (IMF), dan World Trade Organization (WTO), yang hingga kini menjadi fondasi utama dalam regulasi perdagangan dan keuangan global.

Sistem Global yang Diciptakan AS Kini Dinilai Tidak Menguntungkan Mereka Sendiri

Sri Mulyani menyebut bahwa AS menilai sistem global yang mereka ciptakan justru saat ini dimanfaatkan oleh negara-negara lain untuk mendapatkan akses pasar yang lebih luas ke dalam negeri Amerika Serikat. Praktik-praktik seperti subsidi industri dan dukungan ekspor yang dilakukan oleh beberapa negara dinilai menciptakan persaingan tidak seimbang bagi industri dalam negeri AS.

“AS menciptakan sendiri suatu rezim global yang sekarang dianggap menjadi suatu sistem yang tidak menguntungkan mereka, karena dianggap dimanfaatkan oleh seluruh negara di dunia,” jelasnya.

Dalam pandangan AS, lanjut Sri Mulyani, negara-negara mitra melakukan investasi dan perdagangan dengan cara yang dianggap tidak adil. Salah satunya adalah dengan memberikan insentif atau subsidi besar kepada pelaku usaha lokal agar mampu menekan harga produk di pasar ekspor, sehingga produk tersebut lebih kompetitif saat masuk ke pasar AS.

“Untuk menuju ke market-nya AS, negara-negara melakukan praktik investasi dan perdagangan yang dianggap tidak adil, utamanya dengan memberikan subsidi atau trade support kepada dunia usahanya,” ujar Menkeu RI itu menambahkan.

Dampak Langkah AS terhadap Negara Berkembang Termasuk Indonesia

Langkah unilateral seperti kebijakan tarif resiprokal sangat mungkin memberikan dampak langsung kepada negara berkembang, termasuk Indonesia, yang menjadikan AS sebagai salah satu mitra dagang utama. Meski Indonesia memiliki surplus dalam neraca perdagangan dengan AS, hubungan dagang tersebut tetap rentan terhadap perubahan kebijakan luar negeri Washington, terlebih ketika kebijakan tersebut didasarkan pada retorika proteksionis.

Pengenaan tarif balasan dapat menghambat ekspor produk unggulan Indonesia ke AS seperti tekstil, produk alas kaki, dan komoditas agrikultur. Dalam jangka panjang, ketidakpastian ini dapat memengaruhi investasi dan penyerapan tenaga kerja di sektor-sektor yang bergantung pada pasar ekspor.

Pentingnya Diplomasi Ekonomi dan Multilateralisme

Menghadapi potensi ancaman kebijakan proteksionisme dari AS, Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga hubungan diplomasi ekonomi yang kuat serta memperkuat sistem perdagangan multilateral. Ia menyebutkan bahwa forum-forum internasional seperti G20 dan ASEAN menjadi platform penting bagi negara-negara berkembang untuk menyuarakan kekhawatiran mereka dan memperjuangkan perdagangan yang adil dan setara.

Indonesia, menurutnya, perlu bersiap dengan skenario diplomasi yang solid jika AS benar-benar merealisasikan tarif resiprokal secara luas. Kolaborasi regional dan bilateral dengan negara-negara lain akan sangat penting untuk menjaga akses pasar sekaligus memperluas pangsa pasar non-tradisional sebagai langkah mitigasi.

Terkini