JAKARTA — Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) bersama PT Merck Tbk (Merck) meluncurkan program percontohan untuk deteksi dini gangguan tiroid yang menjadi langkah strategis meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat. Program ini akan mendistribusikan sebanyak 80 ribu tes Thyroid Stimulating Hormone (TSH) ke puskesmas di tujuh wilayah prioritas dengan prevalensi gangguan tiroid tinggi, yaitu Deli Serdang, Jakarta, Malang, Makassar, Medan, Cirebon, dan Surabaya.
Wakil Menteri Kesehatan, Prof. dr. Dante Saksono Harbuwono, Sp.PD-KEMD, Ph.D., menegaskan pentingnya deteksi dini gangguan tiroid. “Gangguan tiroid kerap tidak terdeteksi hingga menimbulkan dampak yang serius. Oleh karena itu, deteksi dini menjadi langkah krusial untuk mencegah komplikasi dan memastikan penanganan yang tepat sejak awal. Kementerian Kesehatan mengapresiasi dukungan Merck dalam penyediaan alat pemeriksaan TSH di berbagai Puskesmas di Indonesia. Inisiatif ini merupakan bentuk nyata kolaborasi lintas sektor untuk memperluas akses layanan kesehatan di tingkat primer,” ujarnya.
Gangguan tiroid menjadi masalah kesehatan penting di kawasan Asia Pasifik. Data menunjukkan bahwa sekitar 11% populasi dewasa di wilayah ini mengalami hipotiroidisme, jauh di atas angka global yang hanya berkisar 2-4%. Kondisi ini menegaskan kebutuhan mendesak akan deteksi dini dan edukasi berkelanjutan bagi masyarakat.
- Baca Juga 5 Shio Paling Hoki di Agustus 2025
Presiden Direktur PT Merck Tbk, Evie Yulin, menjelaskan, “Merck percaya bahwa tes tiroid sederhana dalam Program Deteksi Dini Gangguan Tiroid ini bisa menjadi game changer untuk menolong jutaan pasien yang belum terdiagnosis. Merck memiliki semangat untuk terus menjadi mitra strategis pemerintah dalam meningkatkan kesadaran dan deteksi dini bagi masyarakat Indonesia. Dukungan ini juga sejalan dengan Manifesto Tiroid Merck, sebuah ajakan pemeriksaan gangguan tiroid skala besar untuk mendiagnosis lebih dari 50 juta orang yang hidup dengan hipotiroidisme pada tahun 2030.”
Selain dukungan dari pemerintah dan perusahaan, program ini mendapat sambutan positif dari komunitas pasien. Ketua dan pendiri Pita Tosca, komunitas pasien tiroid di Indonesia, Astriani Dwi Aryaningtyas, menyatakan, “Sebagai pejuang tiroid, memiliki gejala klinis dan faktor risiko gangguan tiroid itu dapat menurunkan kualitas hidup individu. Gangguan tiroid yang tergolong penyakit tidak menular, terkadang memiliki gejala klinis yang tidak nampak, namun berdampak signifikan (invisible illness). Seperti yang kita ketahui, kelenjar tiroid berukuran kecil, namun manfaatnya sangat besar untuk metabolisme tubuh. Kami merasa sudah waktunya Pemerintah dan banyak pihak pemerhati gangguan tiroid memiliki gerakan untuk mendukung peningkatan kualitas hidup pejuang tiroid.”
Ia menambahkan, “Sebagai pasien tiroid sangat mendukung program skrining gangguan tiroid (TSH) ini karena dapat meningkatkan diagnosis gangguan tiroid di Indonesia yang saat ini masih tergolong rendah. Sebagai tindak lanjut dari program skrining tersebut, Pita Tosca berharap akses terhadap pengobatan gangguan tiroid terus ditingkatkan, terutama mengingat pilihan pengobatan melalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang masih terbatas. Deteksi dini melalui skrining adalah langkah penting untuk mengelola kondisi ini secara efektif. Kami berkomitmen untuk bekerja sama dengan semua pihak dan menyuarakan kepada pemangku kepentingan agar setiap individu memiliki kesempatan untuk mendapatkan diagnosis dan perawatan yang mereka butuhkan.”
Merck juga menyediakan dukungan logistik lengkap untuk pelaksanaan skrining, meliputi mesin Diagnostic FIA Meter, mikropipet, stopwatch, vacuum holder, tourniquet, serta bahan medis habis pakai seperti jarum, tabung EDTA, reagen tes kit, alcohol swab, dan plester.
Sebagai bagian dari strategi jangka panjang, Merck bekerja sama dengan Indonesian Thyroid Association (InaTA) dalam menyusun laporan registri nasional gangguan tiroid. Manuskrip Thyroid Registry Report yang akan dipublikasikan di jurnal internasional ini merupakan hasil pengumpulan data dari program RAISE Tiroid dan diharapkan dapat menjadi dasar bagi kebijakan berbasis bukti.
dr. Dicky L. Tahapary, Sp.PD-KEMD, Ph.D., Ketua Klaster Metabolic Disorder, Cardiovascular and Aging (MVA) IMERI FKUI dan penanggung jawab registri, mengatakan, “Data adalah fondasi dari kebijakan yang tepat sasaran. Dengan adanya registri ini, kita bisa beralih dari asumsi ke pendekatan berbasis bukti, dari respons reaktif menjadi pencegahan yang lebih terstruktur. Ini adalah hal penting dalam manajemen penyakit tiroid di Indonesia.”
Program ini merupakan kelanjutan dari RAISE Tiroid yang telah berjalan sejak 2023 dengan tujuan meningkatkan kesadaran dan kapasitas tenaga kesehatan dalam penanganan gangguan tiroid. Hingga akhir 2024, lebih dari 6.000 tenaga kesehatan telah mendapat pelatihan, lebih dari 72.600 pasien telah diskrining secara digital menggunakan skor Wayne dan Billewicz, serta sekitar 30.000 tes TSH telah dilakukan, dengan tingkat konversi 18,8% atau sekitar 5.700 kasus positif.
Merck dan Kemenkes berkomitmen melanjutkan kolaborasi ini dengan membawa hasil program ke forum World Health Assembly (WHA) sebagai kontribusi Indonesia dalam penguatan tata kelola penyakit tidak menular di tingkat global.