JAKARTA - Pengertian PPN adalah Pajak Pertambahan Nilai, yang merupakan pajak yang dikenakan pada setiap transaksi jual beli barang dan jasa.
Beberapa bulan yang lalu, rencana pemerintah untuk menaikkan tarif PPN sempat memicu perbincangan hangat di masyarakat.
Isu ini tersebar luas di berbagai platform media sosial, media massa, bahkan dalam diskusi sehari-hari.
Hal ini semakin ramai diperbincangkan karena rencana kenaikan tarif PPN yang semula 10% menjadi 12%, diumumkan saat kondisi ekonomi masyarakat sedang tertekan akibat dampak pandemi Covid-19.
Namun, apa sebenarnya PPN itu, dan mengapa kenaikannya bisa memicu reaksi keras dari banyak orang? Mari kita bahas lebih lanjut.
Kenaikan tarif PPN ini diketahui berdasarkan rancangan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1993 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, yang lebih dikenal dengan RUU KUP.
Dalam rencana tersebut, pemerintah berencana untuk membahas perubahan ini bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Pada dasarnya, pengertian PPN di sini menjadi sangat relevan, mengingat perubahan tersebut akan mempengaruhi banyak aspek ekonomi masyarakat.
Pengertian PPN
Pengertian PPN adalah pajak yang dikenakan pada konsumsi barang dan jasa, yang menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara.
Pajak ini diterapkan pada setiap transaksi jual beli, terkait dengan pertambahan nilai yang terjadi pada barang atau jasa tersebut.
Sebagai konsumen akhir, Anda akan dikenakan biaya tambahan berupa PPN saat membeli barang atau jasa, karena barang atau jasa tersebut dianggap mengalami pertambahan nilai sejak diproduksi hingga sampai ke tangan konsumen.
Meskipun konsumen yang membayar PPN, penjual atau pedagang yang bertanggung jawab untuk memungut, menyetor, dan melaporkan pajak ini kepada negara.
PPN yang dikumpulkan oleh penjual tidak menjadi hak mereka, melainkan harus disetorkan kepada negara.
Hanya pengusaha yang terdaftar sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memiliki kewajiban ini. PPN termasuk pajak tidak langsung karena dikenakan berdasarkan konsumsi, bukan penghasilan atau keuntungan langsung.
Sejarah PPN
Sebelum diterapkannya Pajak Pertambahan Nilai (PPN), pajak atas konsumsi yang sifatnya tidak langsung sudah lebih dahulu diberlakukan.
Pada masa itu, hanya beberapa jenis barang tertentu yang dikenakan pajak tidak langsung, seperti cukai yang dikenakan pada produk tembakau dan alkohol.
Selain itu, terdapat juga pajak penjualan dan pajak peredaran yang dikenakan pada barang dan jasa.
Namun, kedua jenis pajak ini sering menimbulkan distorsi karena menciptakan lapisan pajak di atas pajak, yang pada gilirannya menyebabkan ketidakefisienan.
Selain itu, tingginya tuntutan permintaan juga memicu pihak pengambil kebijakan untuk mencari solusi pajak yang lebih efektif.
Dr. Wilhelm von Siemens, seorang pengusaha asal Jerman, menyadari adanya masalah dalam penerapan pajak peredaran tersebut.
Berdasarkan pengamatannya, ia mengembangkan konsep dasar dari PPN yang dituangkan dalam sebuah tulisan yang diterbitkan pada tahun 1920.
Dalam tulisannya, Von Siemens mengusulkan adanya perbaikan atau penyempurnaan pajak peredaran yang ada pada saat itu.
Selain Von Siemens, gagasan serupa juga muncul dari Thomas S. Adams pada tahun 1921 di Amerika Serikat.
Adams mengusulkan konsep untuk mengurangi pajak penjualan dengan cara mengurangi pajak yang telah dibayar sebelumnya, yaitu pajak atas pembelian barang dan/atau jasa yang berhubungan dengan kegiatan bisnis.
Pendekatan ini bertujuan untuk menghindari efek cascading, yaitu pajak yang dikenakan berlapis di atas pajak yang sudah ada.
Konsep-konsep yang dikemukakan oleh Von Siemens dan Adams ini akhirnya membentuk kesimpulan tentang perbaikan pajak peredaran, yaitu pajak yang dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi barang atau jasa.
Namun, pajak ini hanya dikenakan pada satu waktu saja, yaitu saat transaksi terjadi. Konsep ini akhirnya menjadi cikal bakal diterapkannya PPN.
Secara historis, negara pertama yang menerapkan PPN adalah Prancis, bukan Jerman atau Amerika Serikat. PPN pertama kali diterapkan di Prancis pada tahun 1948, tepatnya pada tahap pabrikan.
Pada tahun 1954, Prancis melakukan perubahan kebijakan perpajakannya, dengan memperluas penerapan PPN ke seluruh tahap produksi dan distribusi barang dan jasa.
Seiring berjalannya waktu, pada dekade 1960 dan 1970, banyak negara di Eropa yang mulai mengimplementasikan PPN. Di negara-negara berkembang, penerapan PPN baru dimulai pada tahun 1980.
PPN di Indonesia
Sebelum PPN diberlakukan, Indonesia mengenal Pajak Pembangunan I (PPb I) dan Pajak Peredaran (PPe).
Namun, dalam pelaksanaannya, kedua pajak ini masih mempertahankan praktik-praktik perpajakan yang berasal dari masa kolonial Belanda.
Seiring berjalannya waktu, sejak disahkannya UU Nomor 8 Tahun 1983, UU tentang PPN telah mengalami tiga kali perubahan.
Perubahan-perubahan dalam UU PPN tersebut bertujuan untuk:
- Menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan sederhana.
- Meningkatkan pendapatan negara.
- Menjamin kepastian hukum dan keadilan.
- Mengamankan penerimaan negara guna mendukung pembangunan nasional yang mandiri.
Karakteristik PPN
Beberapa karakteristik PPN adalah sebagai berikut:
- PPN adalah pajak tidak langsung, yang berarti pembayar pajak (konsumen akhir) dan pihak yang bertanggung jawab atas penyetoran pajak ke kantor pajak (penjual) adalah dua pihak yang berbeda.
- Objektif, karena jumlah pajak yang harus dibayar bergantung pada objek pajak (barang dan jasa yang diperjualbelikan), bukan pada subjek pajaknya (siapa yang membayar pajak).
- Multi stage tax, artinya pajak dikenakan pada setiap tahap produksi dan distribusi mulai dari pabrik hingga sampai ke konsumen.
- Menggunakan faktur, sebagai alat untuk mencatat dan melaporkan transaksi yang dikenakan PPN.
- Dipungut atas dasar konsumsi dalam negeri, sehingga hanya transaksi yang terjadi di dalam negeri yang dikenakan PPN.
- Menghindari double tax, karena PPN hanya dikenakan pada pertambahan nilai pada setiap tahapan produksi dan distribusi.
- Non duplikasi, berkat adanya mekanisme kredit pajak masukan yang memungkinkan pengusaha untuk mengurangi pajak yang telah dibayar atas barang dan jasa yang mereka beli dari pajak yang harus dipungut atas penjualan mereka.
Perhitungan PPN dilakukan dengan metode pengurangan tidak langsung, dengan mempertimbangkan pajak masukan dan pajak keluaran yang terlibat dalam transaksi tersebut.
Tarif PPN
Dasar tarif yang diterapkan dalam PPN telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah. Berikut adalah rincian tarif PPN yang berlaku:
- Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud, Barang Kena Pajak Tidak Berwujud, dan Ekspor Jasa Kena Pajak: Tarif PPN yang dikenakan adalah 0%.
- Semua produk yang beredar di dalam negeri Indonesia, termasuk yang berada di Zona Ekonomi Eksklusif dan wilayah yang diatur oleh undang-undang kepabeanan: Tarif PPN sebesar 10%.
- Barang Mewah: Tarif PPN untuk barang mewah berkisar antara 10% hingga 200%, tergantung pada jenis dan harga barang.
- Barang dan/atau jasa yang dikenai PPN 10% dapat mengalami perubahan. Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan tarif PPN dalam rentang antara 5% hingga 20%.
Tarif PPN yang harus dibayar oleh pembeli akan tercantum dengan jelas pada struk atau bukti pembelian, biasanya dengan tulisan "PPN" atau "Value Added Tax (VAT)".
Oleh karena itu, saat konsumen membeli barang yang dikenakan PPN, jumlah yang harus dibayar adalah harga barang ditambah dengan besarnya pajak yang dikenakan.
Namun, jika dalam struk tidak tercantum PPN secara terpisah, maka itu berarti harga barang sudah termasuk PPN di dalamnya.
Barang Kena Pajak
Tidak semua barang dan jasa dikenakan pajak pada setiap transaksinya. Beberapa produk tertentu tidak dikenai PPN. Berikut adalah barang yang tidak dikenakan PPN:
1. Barang kebutuhan pokok yang banyak dibutuhkan masyarakat, seperti:
- Beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam (baik yang beryodium maupun tidak), daging (daging segar tanpa proses olahan, tetapi sudah melalui proses penyembelihan, pengulitan, pemotongan, pendinginan, pembekuan, pengemasan atau tidak dikemas, penggaraman, pengkapuran, pengasaman, pengawetan lainnya, atau perebusan), telur (termasuk telur yang tidak diolah, dibersihkan, diasinkan, atau dikemas), susu (susu perah yang didinginkan atau dipanaskan tanpa tambahan gula atau bahan lainnya, dikemas atau tidak), buah-buahan segar (termasuk yang dicuci, disortir, dikupas, dipotong, diiris, di-grading, atau dikemas), sayuran segar (yang dicuci, ditiriskan, atau disimpan dalam suhu rendah, termasuk yang dicacah).
2. Makanan dan minuman yang disajikan di restoran, hotel, rumah makan, warung, atau tempat serupa, termasuk makanan dan minuman yang dikonsumsi di tempat atau dibawa pulang, serta yang diserahkan oleh perusahaan jasa boga atau catering.
3. Hasil penambangan atau pengeboran yang langsung diambil dari sumbernya, seperti minyak mentah (crude oil), gas bumi (kecuali LPG yang siap dikonsumsi), panas bumi, asbes, batu tulis, batu permata setengah jadi, batu kapur, batu apung, grafit, granit, marmer, bijih besi, bijih tembaga, bijih emas, bijih nikel, bijih timah, bijih perak, bijih bauksit, dan berbagai jenis mineral serta bahan tambang lainnya.
4. Emas batangan, uang, dan surat berharga, seperti saham.
Selain itu, ada beberapa jasa yang juga tidak dikenakan PPN, di antaranya:
- Jasa layanan sosial.
- Jasa layanan kesehatan medis.
- Jasa keuangan.
- Jasa pengiriman surat dengan perangko.
- Jasa kerohanian atau keagamaan.
- Jasa pendidikan atau edukasi.
- Jasa hiburan dan kesenian.
- Jasa penyiaran yang tidak digunakan untuk iklan.
- Jasa angkutan umum darat dan air, serta angkutan dalam negeri yang terhubung dengan angkutan luar negeri.
- Jasa ketenagakerjaan.
- Jasa di bidang perhotelan.
- Jasa yang disediakan oleh pemerintah untuk menjalankan tugas pemerintahan.
- Jasa penyedia tempat parkir.
- Jasa telepon umum dengan uang logam.
- Jasa pengiriman uang via wesel pos.
- Jasa catering atau boga.
Untuk barang dan jasa yang tidak termasuk dalam kategori di atas, negara menerapkan PPN pada setiap transaksinya.
Dasar-dasar Pengenaan PPN
Besarnya PPN yang terutang dapat dihitung dengan cara mengalikan tarif PPN dengan Dasar Pengenaan Pajak (DPP). DPP ini mencakup beberapa komponen, yang dijelaskan sebagai berikut:
Harga Jual
Merupakan nilai yang terdiri dari uang plus semua biaya terkait (seperti biaya asuransi, biaya pengangkutan, biaya pengiriman, biaya pemeliharaan, biaya garansi, dan biaya lain yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual sehubungan dengan penyerahan barang kena pajak) dikurangi potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.
Penggantian
Merupakan nilai uang ditambah biaya terkait (seperti biaya asuransi, biaya pengangkutan, biaya pengiriman, biaya pemeliharaan, biaya garansi, dan biaya lain yang diminta atau seharusnya diminta oleh penjual atas penyerahan, ekspor, atau pemanfaatan JKP/BKP tidak berwujud) dikurangi potongan harga yang tercantum dalam faktur pajak.
Nilai Impor dan Ekspor
- Nilai Impor dihitung dengan rumus: [Cost + Insurance + Freight (CIF)] ditambah dengan Bea Masuk.
- Nilai Ekspor adalah nilai uang yang mencakup semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh pengekspor.
Nilai Lain
Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 121/PMK.03/2015, nilai lain ini mencakup nilai uang yang ditetapkan sebagai dasar pengenaan pajak.
Perlu dicatat bahwa dasar pengenaan pajak, khususnya pada poin harga jual dan penggantian, sering dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa antara pihak-pihak yang terlibat. Yang dimaksud dengan "hubungan istimewa" adalah:
- Seorang pengusaha memiliki penyertaan langsung atau tidak langsung sebesar 25% atau lebih pada pengusaha lain.
Atau, hubungan antara seorang pengusaha dengan dua atau lebih pengusaha lainnya yang memiliki penyertaan 25% atau lebih. Begitu pula dengan hubungan antara dua pengusaha atau lebih dalam hal penyertaan tersebut.
- Atau seorang pengusaha menguasai pengusaha lain (atau lebih dari satu pengusaha yang dikuasainya) baik secara langsung maupun tidak langsung.
- Atau adanya hubungan keluarga sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus satu derajat dan/atau ke samping satu derajat.
Pengusaha Kena Pajak (PKP) dan Pengecualian
Jika seorang pengusaha memiliki penyerahan barang kena pajak dan jasa kena pajak yang totalnya lebih dari Rp 4.800.000.000,00 (empat milyar delapan ratus juta rupiah) dalam satu tahun, maka pengusaha tersebut wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Namun, jika total pemasukan usaha pengusaha tersebut, baik dari barang atau jasa, tidak mencapai 4,8 milyar rupiah, maka pengusaha tersebut tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP.
Meski demikian, jika pengusaha tersebut menginginkannya, ia tetap bisa melaporkan usahanya untuk mendapatkan status PKP.
Perlu dicatat, PKP memiliki kewajiban untuk memungut, menyetor, dan melaporkan PPN atau PPnBM yang terutang.
Besar PPN yang dibayarkan akan disesuaikan dengan nilai penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak yang dilakukan oleh pengusaha tersebut.
Mengapa PPN Harus Dibayarkan?
Dari penjelasan sebelumnya, mungkin sebagian dari kita bertanya-tanya, mengapa kita harus membayar PPN? Bukankah dengan membayar PPN, harga barang atau produk yang kita konsumsi jadi lebih mahal?
Seperti yang telah dijelaskan, konsep dasar PPN adalah pajak yang dikenakan atas setiap konsumsi barang atau jasa yang dikenai pajak. Sebagian besar barang dan jasa yang kita konsumsi memang dikenakan PPN.
Jika jumlahnya terkumpul, dana yang diperoleh negara dari PPN ini cukup besar. PPN menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang sangat signifikan.
Untuk memudahkan pemahaman, rumah tangga bisa diibaratkan sebagai miniatur dari sebuah negara. Dalam rumah tangga, kita membagi keuangan untuk pos-pos tertentu.
Begitu juga dengan negara, yang membagi pendapatan negara untuk berbagai keperluan. PPN dan pajak lainnya digunakan oleh pemerintah untuk berbagai tujuan, di antaranya:
- Pembangunan sarana dan prasarana umum, seperti jembatan, sekolah, rumah sakit, puskesmas, taman, tempat wisata, perumahan, jalan dan jalan tol, bandara, pelabuhan, terminal, dan lainnya.
- Pertahanan dan keamanan negara, seperti pengadaan persenjataan, alutsista, pelatihan, armada transportasi, seragam, pembangunan gedung, dan lain-lain.
- Pendidikan, misalnya untuk beasiswa, pemberian subsidi, pengadaan buku perpustakaan, pengadaan alat laboratorium, dan sebagainya.
- Transportasi massal, untuk mendukung operasional seperti Bus Damri, kereta api, dan pesawat.
- Gaji dan tunjangan Aparatur Sipil Negara (ASN), Tentara Nasional Indonesia (TNI), dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri).
- Kelestarian lingkungan hidup, seperti perawatan hutan, pembibitan hutan setelah dimanfaatkan kayunya, dan lainnya.
- Pertanian dan perikanan, untuk edukasi petani, bantuan pupuk, bantuan perahu, dan sebagainya.
- Pariwisata, untuk pembangunan tempat-tempat wisata.
- Koperasi dan UMKM, termasuk bantuan dana hibah untuk pelaku usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi.
- Membayar hutang negara.
- Dan lain-lain.
Dengan demikian, meskipun membayar PPN dapat meningkatkan harga barang atau jasa, kontribusi tersebut digunakan untuk mendukung berbagai pembangunan dan pelayanan yang bermanfaat bagi masyarakat dan negara secara keseluruhan.
Sebagai penutup, dengan memahami pengertian PPN, kita bisa lebih sadar akan pentingnya pajak ini sebagai sumber pendapatan negara untuk mendukung pembangunan dan kesejahteraan bersama.