Syirkah adalah: Hukum, Rukun, hingga Syarat Pelaksanaan

Jumat, 27 Juni 2025 | 14:37:39 WIB
syirkah adalah

JAKARTA - Syirkah adalah sebuah konsep kemitraan dalam Islam yang melibatkan kerjasama antara dua pihak atau lebih, dengan tujuan berbagi keuntungan dan risiko. 

Sebagai makhluk sosial, manusia tentu tidak bisa hidup sendiri dan membutuhkan interaksi dengan sesama untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik dalam bentuk tolong-menolong, berkomunikasi, bekerja sama, maupun bertukar keperluan. 

Dalam konteks ekonomi, khususnya di negara dengan sistem ekonomi kapitalisme, kita sering menemui berbagai bentuk kemitraan usaha yang berbagi hasil. Salah satu bentuk kemitraan tersebut dalam Islam disebut dengan syirkah.

Syirkah adalah bentuk kerjasama yang terjalin antara pihak-pihak yang sepakat untuk berkontribusi dalam bentuk modal atau keterampilan, dengan tujuan untuk mendapatkan keuntungan yang akan dibagi bersama. 

Risiko yang timbul juga akan ditanggung secara bersama-sama oleh seluruh pihak yang terlibat. Konsep ini sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap relevan untuk diterapkan dalam sistem ekonomi saat ini.

Syirkah adalah

Syirkah adalah bentuk kerjasama yang melibatkan dua pihak atau lebih dengan tujuan untuk menjalankan sebuah usaha, di mana masing-masing pihak menyumbangkan modal atau keterampilan yang dimilikinya. 

Jika dilihat dari segi bahasa, Taqiyudin Abi Bakr ibnu Muhammad Al-Husaini mengungkapkan bahwa kata “syirkah” berarti 'campuran' atau 'gabungan', di mana harta yang dimiliki oleh dua pihak atau lebih dicampurkan sehingga sulit untuk membedakannya. 

Sedangkan dalam istilah, syirkah merujuk pada bentuk perserikatan antara dua orang atau lebih yang bekerja sama untuk memperoleh keuntungan. Menurut para ulama fiqih, pengertian syirkah dapat berbeda-beda, di antaranya:

  • Malikiyah menyebutkan syirkah sebagai izin untuk mendayagunakan harta yang dimiliki dua orang secara bersama.
  • Hambaliyah menganggapnya sebagai persekutuan dalam hak berusaha atau menjalankan usaha.
  • Sayyid Sabiq mendefinisikan syirkah sebagai akad antara dua pihak yang berserikat pada pokok harta dan keuntungan.
  • Idris Ahmad menjelaskan syirkah sebagai kerja sama dalam berdagang, di mana kedua pihak menyerahkan modal masing-masing dan berbagi keuntungan serta kerugian berdasarkan kontribusi modal.
  • Syafi’iyah mengartikan syirkah sebagai pengelolaan modal bersama antara para pihak yang berserikat.

Secara umum, syirkah merupakan upaya bersama dalam menjalankan usaha yang melibatkan kontribusi dari kedua pihak atau lebih, baik dalam bentuk modal maupun keterampilan. 

Dalam Hukum Ekonomi Syariah pasal 20, syirkah dipahami sebagai kerjasama antara dua pihak atau lebih dalam permodalan, keterampilan, atau kepercayaan, dengan pembagian keuntungan berdasarkan kesepakatan yang telah dibuat.

Landasan Hukum Syirkah dalam Agama Islam

Pelaksanaan syirkah memiliki dasar hukum yang jelas, yang tercermin dalam Al-Quran, Hadits, dan Ijma’. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai dasar hukum tersebut:

Al-Quran

  • Q.S An-Nisa ayat 12

"Mereka bersekutu dalam yang ber sepertiga."

Ayat ini mengacu pada syirkah jabariyah, yaitu perkongsian yang terjadi tanpa kehendak dari pihak-pihak yang bersangkutan, seperti yang terjadi dalam pembagian warisan.

  • Q.S Shad ayat 24

"Dan sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berkongsi itu benar-benar berbuat zalim kepada sebagian lainnya kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholeh."

Ayat ini menekankan pada kritik terhadap mereka yang bersekutu namun saling menzalimi, kecuali mereka yang beriman dan melakukan amal sholeh.

Hadits

  • Diriwayatkan dari Abu Hurairah

Rasulullah SAW bersabda: "Sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: 'Aku adalah mitra ketiga dari dua orang yang bermitra selama salah satu dari keduanya tidak menghianati yang lainnya. Jika salah satu dari keduanya telah mengkhianatinya, maka Aku keluar dari perkongsian itu.'" (HR. Abu Dawud, al-Baihaqi, dan ad-Daruquthni)

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah turut serta dalam syirkah selama kedua mitra tidak saling mengkhianati.

  • Dari Abdullah bin Mas’ud

"Saya bersyirkah dengan ‘Ammar dan Sa’ad dalam hasil yang kami peroleh pada Perang Badar. Kemudian Sa’ad datang dengan membawa dua orang tawanan, sedangkan saya dan ‘Ammar datang dengan tidak membawa apa-apa."

Ini adalah contoh sejarah nyata dari pelaksanaan syirkah antara Abdullah bin Mas’ud, ‘Ammar, dan Sa’ad dalam pembagian hasil perang.

Ijma’

Para ulama sepakat bahwa syirkah diperbolehkan dalam kehidupan umat Islam, dengan tetap mematuhi prinsip-prinsip yang telah ditetapkan oleh syariat.

Rukun-rukun dan Syarat Pelaksanaan Syirkah

Pelaksanaan syirkah, yang berhubungan dengan ekonomi masyarakat dan sudah diterapkan sejak zaman Nabi Muhammad SAW, memiliki rukun dan syarat yang harus dipenuhi. Berikut penjelasan lengkapnya:

A. Rukun-Rukun Pelaksanaan Syirkah

Terdapat tiga rukun utama dalam pelaksanaan syirkah, yaitu:

  • Adanya orang yang bersyirkah

Syirkah harus terdiri dari minimal dua orang, tetapi jumlahnya bisa lebih banyak.

  • Adanya sesuatu yang disyirkahkan

Barang yang disyirkahkan harus jelas, sesuai dengan kesepakatan, dan dapat dilaksanakan oleh masing-masing pihak.

  • Adanya Shighat

Shighat atau kalimat akad yang diucapkan oleh pihak-pihak yang bersyirkah sebagai pernyataan persetujuan untuk membentuk kerjasama, yang menciptakan rasa saling percaya.

B. Syarat Pelaksanaan Syirkah

Dalam pelaksanaannya, syirkah harus memenuhi beberapa syarat, di antaranya:

  • Objek akad berupa tasharruf

Tasharruf adalah aktivitas pengelolaan harta yang mencakup akad-akad tertentu, seperti jual beli.

  • Objek akad dapat diwakilkan (wakalah)

Agar keuntungan syirkah dapat menjadi hak bersama, maka pelaksanaannya harus melibatkan perwakilan, yang mewakili pihak-pihak yang terlibat dalam syirkah.

Menurut mazhab Hanafiah, syarat pelaksanaan syirkah terbagi menjadi empat bagian, yakni: Syarat umum yang berlaku untuk semua jenis syirkah

  • Benda yang diakadkan: Harus dapat diterima sebagai perwakilan.
  • Pembagian keuntungan: Pembagian harus jelas dan disepakati oleh kedua pihak, misalnya setengah, sepertiga, dan sebagainya.

Syarat yang berhubungan dengan syirkah mal (harta)

  • Modal yang digunakan: Modal yang digunakan dalam syirkah harus berupa alat pembayaran sah, seperti uang atau mata uang yang berlaku.
  • Modal saat akad dilakukan: Modal harus ada saat akad syirkah dilakukan, baik jumlahnya sama atau berbeda antar pihak.

Syarat yang berhubungan dengan syirkah mufawadhah

Dalam hal ini, ada tiga syarat yang perlu dipenuhi:

  • Modal (harta pokok) harus sama di antara pihak-pihak yang bersyirkah.
  • Pihak yang bersyirkah harus memiliki kemampuan untuk bertanggung jawab (kafalah).
  • Syirkah harus bersifat umum, mencakup segala jenis transaksi seperti jual beli atau perdagangan.

Syarat yang berhubungan dengan syirkah ‘inan

  • Syarat untuk syirkah ‘inan pada dasarnya mirip dengan syarat yang ada pada syirkah mufawadhah.

Jenis-jenis Syirkah dalam Agama Islam

Menurut An-Nabhani, setelah melakukan kajian terhadap berbagai hukum syirkah dan dalil-dalilnya, beliau menyebutkan bahwa terdapat lima macam syirkah dalam Islam, yaitu:

  1. Syirkah Inân
  2. Syirkah Abdan
  3. Syirkah Mudhârabah
  4. Syirkah Wujûh
  5. Syirkah Mufâwadhah

Namun, menurut ulama Hanabilah, jenis-jenis syirkah yang sah hanya ada empat, yaitu:

a) Syirkah Inân

b) Syirkah Abdan

c) Syirkah Mudhârabah

d) Syirkah Wujûh

Sementara itu, ulama Malikiyah berpendapat bahwa terdapat tiga jenis syirkah yang sah, yakni:

a) Syirkah Inân

b) Syirkah Abdan

c) Syirkah Mudhârabah

Meskipun terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, tidak ada salahnya untuk mempelajari kelima jenis syirkah tersebut. Berikut penjelasan lebih lanjut mengenai beberapa jenis syirkah:

1. Syirkah Inân

Syirkah Inân adalah bentuk kemitraan antara dua pihak atau lebih yang masing-masing memberikan kontribusi berupa kerja (amal) dan modal (mâl). Hukum syirkah ini diperbolehkan berdasarkan dalil as-Sunnah dan Ijma Sahabat.

Contoh penerapannya adalah dua pihak yang bekerja sama dalam bisnis properti, di mana seorang insinyur dan seorang teknisi sipil sepakat untuk membangun dan menjual rumah. 

Masing-masing memberi modal senilai Rp 500 juta dan bekerja dalam proyek tersebut. Dalam syirkah ini, modal harus berupa uang atau barang yang bisa dihitung nilainya.

Keuntungan dalam syirkah ini dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan besaran modal yang disetorkan oleh masing-masing pihak. 

Jika modalnya dibagi 50%, maka kerugian juga akan ditanggung masing-masing sebesar 50%. 

Hal ini sesuai dengan riwayat yang disampaikan oleh Abdur Razzaq dalam kitab Al-Jâmi’, yang menyatakan bahwa kerugian dihitung berdasarkan besarnya modal, sementara keuntungan didasarkan pada kesepakatan antara pihak-pihak yang bersyirkah.

2. Syirkah ‘Abdan

Syirkah ‘Abdan adalah bentuk kemitraan antara dua pihak atau lebih yang hanya memberikan kontribusi berupa kerja (amal), tanpa menyertakan modal (mâl). 

Kontribusi kerja ini bisa berupa kerja fisik (seperti tukang kayu, tukang batu, sopir, pemburu, nelayan) ataupun kerja pikiran (seperti pekerjaan arsitek atau penulis).

Contoh penerapannya adalah dua nelayan, A dan B, yang sepakat untuk melaut bersama. Jika mereka mendapatkan ikan, hasil penjualannya akan dibagi dengan ketentuan: A mendapatkan 60% dan B 40%. 

Dalam syirkah jenis ini, kontribusi modal tidak diperlukan, dan pihak yang berserikat boleh memiliki profesi yang berbeda, asalkan pekerjaan yang dilakukan halal.

Keuntungan yang diperoleh dari kerjasama ini dibagi sesuai dengan kesepakatan antara mitra usaha. 

Hal ini juga didukung oleh dalil as-Sunnah, sebagaimana riwayat dari Ibnu Mas’ud ra. yang menyatakan bahwa dia pernah bersyirkah dengan Ammar bin Yasir dan Sa’ad bin Abi Waqqash dalam harta rampasan perang pada Perang Badar, meskipun ada perbedaan kontribusi antara mereka.

3. Syirkah Mudhârabah

Syirkah Mudhârabah adalah jenis kemitraan yang terjadi antara dua pihak atau lebih, di mana satu pihak memberikan kontribusi kerja (‘amal), sedangkan pihak lainnya memberikan kontribusi modal (mâl). 

Sebagai contoh, A sebagai pemodal (shâhib al-mâl atau rabb al-mâl) memberikan modal sebesar Rp 10 juta kepada B yang bertindak sebagai pengelola modal (‘âmil atau mudhârib) dalam usaha perdagangan, seperti usaha toko kelontong.

Selain itu, ada dua variasi lain dari syirkah mudhârabah, yaitu:

  • Pertama, dua pihak (misalnya A dan B) sama-sama memberikan modal, sementara pihak ketiga (misalnya C) hanya memberikan kontribusi kerja.
  • Kedua, pihak pertama (A) memberikan kontribusi modal dan kerja, sedangkan pihak kedua (B) hanya memberikan modal tanpa kontribusi kerja.

Dalam syirkah mudhârabah, keuntungan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara pemodal dan pengelola modal, sementara kerugian hanya ditanggung oleh pemodal. 

Hal ini karena dalam mudhârabah berlaku hukum wakalah (perwakilan), di mana seorang wakil tidak menanggung kerugian atas harta yang diwakilkan, kecuali jika kerugian tersebut terjadi karena kelalaian atau kesengajaan dari pengelola.

4. Syirkah Wujûh

Syirkah Wujûh adalah bentuk kemitraan yang terjadi antara dua pihak (misalnya A dan B) yang memberikan kontribusi berupa kerja (‘amal), dengan pihak ketiga (C) yang memberikan kontribusi modal (mâl). 

Pihak A dan B biasanya adalah tokoh masyarakat atau orang yang dihormati. Syirkah ini mirip dengan syirkah mudhârabah, sehingga ketentuan-ketentuannya mengikuti prinsip yang sama. 

Disebut syirkah wujûh karena pelaksanaannya berdasarkan reputasi, kedudukan, atau keahlian (wujûh) seseorang dalam masyarakat.

Bentuk kedua dari syirkah ini adalah antara dua pihak atau lebih yang bekerja sama dalam membeli barang secara kredit, dengan kepercayaan pedagang kepada mereka, tanpa adanya kontribusi modal dari masing-masing pihak. 

Misalnya, A dan B adalah tokoh yang dipercaya oleh pedagang C. A dan B kemudian membeli barang dari C secara kredit dan sepakat untuk membagi keuntungan dari penjualan barang tersebut. 

Dalam hal ini, keuntungan dibagi berdasarkan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi barang yang dimiliki oleh masing-masing mitra. Jenis syirkah ini pada dasarnya termasuk dalam kategori Syirkah ‘Abdan.

5. Syirkah Mufâwadhah

Syirkah Mufâwadhah adalah jenis syirkah yang menggabungkan semua jenis syirkah yang telah disebutkan sebelumnya, yaitu syirkah inân, ‘abdan, mudhârabah, dan wujûh. 

Menurut An-Nabhani, syirkah mufâwadhah diperbolehkan karena setiap jenis syirkah yang sah ketika berdiri sendiri, maka sah juga ketika digabungkan dengan jenis syirkah lainnya.

Dalam syirkah mufâwadhah, keuntungan yang diperoleh akan dibagi sesuai dengan kesepakatan antara para mitra, sementara kerugian ditanggung sesuai dengan jenis syirkah yang berlaku. 

Misalnya, jika berupa syirkah inân, maka kerugian ditanggung sesuai porsi modal, jika berupa syirkah mudhârabah, kerugian hanya ditanggung oleh pemodal, dan jika berupa syirkah wujûh, kerugian ditanggung oleh mitra usaha berdasarkan porsi barang dagangan yang dimiliki.

Sebagai contoh, A adalah pemodal yang memberikan modal kepada B dan C, dua insinyur teknik sipil. 

B dan C sepakat untuk memberikan kontribusi kerja, dan juga berkontribusi modal untuk membeli barang secara kredit, berdasarkan kepercayaan pedagang kepada mereka.

Hal-hal yang Dapat Membatalkan Syirkah

Pelaksanaan syirkah dapat berakhir apabila terjadi hal-hal berikut:

Secara Umum:

  • Pembatalan oleh salah satu pihak - Akad syirkah bersifat jâiz dan ghair lâzim, yang berarti dapat dibatalkan atau difasakh oleh salah satu pihak.
  • Meninggalnya salah satu pihak - Kematian salah satu anggota syirkah menyebabkan berakhirnya kemitraan.
  • Murtadnya salah satu pihak - Jika salah satu pihak keluar dari agama, hal ini dianggap seperti kematian dalam konteks syirkah.
  • Kegilaan yang berkelanjutan - Jika salah satu pihak mengalami gangguan jiwa yang terus-menerus, maka syirkah dianggap batal.

Secara Khusus:

  • Kerusakan harta syirkah - Jika seluruh harta syirkah atau harta salah satu pihak rusak sebelum digunakan dalam kegiatan usaha, maka syirkah berakhir.
  • Ketidaksesuaian modal dalam syirkah mufâwadhah - Jika pada saat akad, tidak ada kesetaraan modal yang disepakati antara pihak-pihak dalam syirkah mufâwadhah, maka akad syirkah dianggap batal.

Secara ringkas, pelaksanaan syirkah dapat dibatalkan jika:

  • Salah satu pihak membatalkan tanpa persetujuan pihak lain.
  • Salah satu pihak kehilangan kecakapan untuk mengelola harta.
  • Salah satu pihak meninggal dunia.
  • Modal syirkah hilang sebelum digunakan dalam usaha.

Sebagai penutup, syirkah adalah bentuk kerjasama antara dua pihak atau lebih yang bertujuan untuk memperoleh keuntungan bersama, dengan masing-masing berkontribusi sesuai kesepakatan.

Terkini