Gas Melon Langka, PKL Magetan Mengeluh

Jumat, 18 Juli 2025 | 08:28:44 WIB
Gas Melon Langka, PKL Magetan Mengeluh

JAKARTA - Krisis gas LPG 3 kilogram kembali mencuat, kali ini melanda Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Dalam dua pekan terakhir, para pelaku usaha kecil, khususnya pedagang kaki lima (PKL), menghadapi situasi yang memprihatinkan akibat kelangkaan gas melon bersubsidi. Bukan hanya sulit ditemukan, harga eceran gas melon pun melambung tinggi hingga menembus Rp25 ribu per tabung jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.

Didik Pratomo, salah satu pedagang gorengan dan kopi di Jalan Ahmad Yani, Kelurahan Kepolorejo, menjadi salah satu dari banyak PKL yang terdampak. Ia mengaku harus memulai harinya dengan keliling ke berbagai warung hanya demi mendapatkan sebotol gas untuk bisa berjualan.

“Keliling ke empat sampai lima warung sejak jam 8 pagi. Harganya pun tembus Rp24 ribu sampai Rp25 ribu per tabung,” keluh Didik.

Situasi ini membuat banyak PKL terpaksa menghentikan aktivitas berdagang mereka. Beberapa bahkan memilih tidak berjualan sama sekali karena tidak sanggup membeli gas dengan harga setinggi itu, apalagi jika ketersediaannya pun tidak pasti.

Menurut Didik, teman-temannya yang biasa mangkal di kawasan Alun-Alun Magetan hingga Jalan Yos Sudarso mengalami kesulitan serupa. Ia pun merasa membeli langsung ke agen bukan solusi praktis, sebab prosedurnya dianggap terlalu rumit bagi pedagang kecil yang membutuhkan pasokan cepat dan rutin.

“Bahkan ada yang stop jualan karena tidak dapat gas. Kalau beli ke agen juga repot, ditanya-tanya bawa KTP atau tidak, sudah pernah beli atau belum. Lebih baik muter-muter ke warung eceran meski harganya mahal,” tambah Didik.

Cerita senada juga datang dari Martono, pedagang bakpau keliling. Ia menyebut sudah satu bulan terakhir kesulitan memperoleh gas 3 kilogram. Kelangkaan ini memaksanya harus mencari hingga ke luar desa, bahkan ke luar kota.

“Cari gas harus sampai ke warung tetangga desa bahkan ke luar kota. Itu pun harganya mahal,” ungkap Martono.

Sebagai pedagang makanan yang mengandalkan gas untuk proses produksi, Martono tidak punya banyak pilihan selain terus mencari pasokan meskipun ongkos operasional meningkat. Namun begitu, ia tidak berani menaikkan harga jual bakpau lantaran khawatir kehilangan pelanggan setia.

“Sebagai pedagang kecil, satu tabung gas bisa habis dalam sehari. Harapannya, pembelian gas dipermudah, jangan makin sulit seperti sekarang,” ujarnya penuh harap.

Di tengah keresahan ini, berbagai dugaan soal penyebab kelangkaan bermunculan. Salah satu yang paling sering disebut adalah peningkatan konsumsi masyarakat karena banyaknya acara hajatan. Namun, argumen tersebut ditanggapi skeptis oleh para pedagang.

“Katanya banyak hajatan, tapi bulan Suro biasanya sepi acara,” ujar Didik, meragukan logika di balik penjelasan yang beredar di masyarakat.

Para pedagang merasa situasi kelangkaan gas saat ini bukan hanya persoalan permintaan tinggi, tetapi juga lemahnya distribusi dan minimnya kontrol di tingkat lapangan. Ketika pasokan dari agen tidak lancar dan pembelian harus disertai prosedur ketat, mereka yang tidak memiliki akses formal atau informasi lengkap jadi semakin terpinggirkan.

Gas LPG 3 kg sejatinya ditujukan sebagai barang bersubsidi untuk masyarakat tidak mampu, termasuk pelaku UMKM seperti PKL. Namun pada praktiknya, distribusi dan pengawasan terhadap penyaluran kerap menuai keluhan. Banyak pedagang kecil merasa tidak mendapatkan keadilan, bahkan merasa dipersulit saat ingin membeli ke agen resmi.

Kondisi ini turut memunculkan potensi penyelewengan pasokan yang berujung pada harga melambung di pasar eceran. Saat kebutuhan mendesak dan barang langka, pihak-pihak tertentu bisa memanfaatkan keadaan untuk mengambil keuntungan, dengan menjual jauh di atas HET yang ditetapkan pemerintah.

Di Kabupaten Magetan sendiri, HET LPG 3 kilogram ditetapkan sebesar Rp18 ribu per tabung. Namun, kenyataannya harga di lapangan bisa melampaui Rp25 ribu. Ini tentu menjadi pukulan telak bagi pedagang mikro yang mengandalkan gas melon untuk memasak dagangan mereka sehari-hari.

Pemerintah daerah dan instansi terkait diharapkan segera turun tangan untuk menstabilkan distribusi dan melakukan pengawasan lebih ketat terhadap praktik penjualan gas bersubsidi. Jika tidak segera ditangani, bukan hanya PKL yang terpukul, tetapi juga potensi inflasi daerah dapat meningkat akibat naiknya harga kebutuhan pokok dan jasa berbasis makanan.

Sementara itu, para pedagang hanya bisa berharap agar situasi segera membaik. Mereka menggantungkan penghasilan harian dari hasil berjualan, dan satu hari tanpa gas sama dengan satu hari tanpa pemasukan.

Kelangkaan ini menjadi pengingat bahwa akses terhadap energi bersubsidi tidak boleh hanya dinilai dari sisi ekonomi, tetapi juga sosial. Ketika gas 3 kg menjadi barang langka, yang paling dulu merasakan dampaknya adalah mereka yang paling rentan—para penjual kecil yang sehari-hari bergantung padanya untuk hidup.

Terkini

Cuka Apel untuk Kesehatan Alami

Jumat, 18 Juli 2025 | 07:27:41 WIB

Wisata Pulau Eksotis Dekat Jakarta

Jumat, 18 Juli 2025 | 07:30:24 WIB

3 Shio Paling Hoki 18 Juli 2025

Jumat, 18 Juli 2025 | 08:21:15 WIB

Cirebon Ubah Sampah Jadi Energi Ramah Lingkungan

Jumat, 18 Juli 2025 | 08:23:20 WIB