Pacu Jalur Viral, Kebanggaan Budaya Kuansing Tembus Dunia

Rabu, 23 Juli 2025 | 12:41:20 WIB
Pacu Jalur Viral, Kebanggaan Budaya Kuansing Tembus Dunia

JAKARTA - Fenomena viral bisa menjadi pedang bermata dua bagi warisan budaya tradisional. Itulah yang kini dirasakan oleh masyarakat Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, menyusul melesatnya popularitas Pacu Jalur di dunia maya. Tradisi lokal yang dulu dikenal sebatas wilayah Sumatra kini menjangkau jagat digital internasional—muncul di beranda TikTok, menyebar di reels Instagram, bahkan diperbincangkan di berbagai forum luar negeri.

Namun di balik sorotan global itu, tersimpan tantangan besar: bagaimana menjaga agar budaya tetap autentik dan tidak terdistorsi oleh ekspektasi publik yang kian luas?

Pacu Jalur bukan sekadar festival atau atraksi wisata. Menurut Juswandi, budayawan Riau sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Lancang Kuning (Unilak), tradisi ini merupakan simbol kebersamaan dan gotong royong yang telah mengakar kuat dalam masyarakat Kuansing. Dalam salah satu podcast yang ia hadiri di kanal riau24 official, Juswandi menekankan bahwa proses pembuatan jalur (perahu panjang) bukan hanya soal kerajinan tangan, tapi juga ritual sosial dan spiritual.

“Sebelum membuat jalur, masyarakat dulu bermusyawarah dengan para ninik mamak untuk mencari kayu. Proses ini dilakukan bersama-sama, lengkap dengan tradisi makan ayam bersama dan melepas ayam sebagai bentuk syukur saat kayu ditemukan,” jelasnya.

Di era media sosial, bagian paling mencolok dari Pacu Jalur yang menarik perhatian publik global adalah aksi anak kecil yang mampu berdiri dan menari di atas perahu yang melaju deras. Video-video tersebut lantas dibagikan dan ditonton jutaan kali, memicu kekaguman dan rasa penasaran dunia luar. Menurut Juswandi, reaksi semacam itu bisa dimaklumi.

“Yang bikin dunia terpukau itu anak kecil yang bisa berdiri dan menari di atas perahu yang melaju kencang. Orang luar menganggap itu luar biasa,” tambahnya.

Popularitas ini membawa dampak ekonomi yang tidak kecil. Warga lokal kini merasakan langsung manfaat dari meningkatnya arus wisatawan. UMKM tumbuh, penginapan penuh, rumah makan ramai dikunjungi. Perputaran uang menjadi lebih cepat, dan peluang promosi budaya Riau ke dunia semakin terbuka lebar.

Namun, ada konsekuensi yang tidak bisa diabaikan. Keterpaksaan melayani wisatawan demi keuntungan ekonomi membuat beberapa warga merasa jenuh, bahkan cemas jika budaya sakral yang diwariskan secara turun-temurun hanya dianggap tontonan belaka.

“UMKM, penginapan, rumah makan, semuanya menguntungkan. Tapi di sisi lain, masyarakat seperti terpaksa melayani wisatawan, dan bisa jadi budaya yang sakral jadi tontonan semata,” ungkap Juswandi.

Di luar isu sosial dan ekonomi, pelestarian lingkungan juga menjadi tantangan tersendiri. Kayu yang digunakan untuk membuat jalur kini semakin sulit diperoleh. Dulu, masyarakat bisa dengan mudah mendapatkannya dari hutan sekitar. Kini, mereka harus menempuh perjalanan jauh hingga ke perbatasan Sumatera Barat. Kekhawatiran akan kerusakan lingkungan pun muncul.

“Dulu mudah, sekarang orang harus pergi ke perbatasan Sumatera Barat. Pemerintah harus siapkan hutan lindung, jangan sampai habis,” tegas Juswandi.

Kondisi infrastruktur juga belum sepenuhnya mendukung pertumbuhan skala acara. Pada saat puncak festival Pacu Jalur yang dijadwalkan berlangsung antara 19 hingga 24 Agustus, ribuan pengunjung diprediksi akan memadati Teluk Kuantan. Sayangnya, area tribun penonton masih belum memadai, dan jika musim kemarau menyebabkan sungai mengering, maka arena pacu terancam tidak bisa digunakan tanpa intervensi alat berat.

“Sekarang saja orang berdesakan untuk melihat Pacu Jalur, apalagi pas puncaknya nanti. Arena panjangnya 1 kilometer, tribun tidak cukup. Apalagi kalau air sungai dangkal saat kemarau, harus digali alat berat,” katanya.

Situasi ini membuat banyak pihak mendorong keterlibatan lebih serius dari pemerintah pusat. Promosi budaya di tingkat internasional memang penting, tapi jika tidak dibarengi dengan perencanaan matang dan infrastruktur memadai, maka semangat pelestarian budaya bisa tergilas oleh popularitas sesaat.

Juswandi berharap perhatian dunia terhadap Pacu Jalur bukan sekadar momen viral, melainkan kesempatan untuk membangun sistem pelestarian budaya yang terstruktur dan berkelanjutan. Pemerintah, baik di tingkat lokal maupun pusat, perlu bersinergi dalam menyusun strategi yang tidak hanya fokus pada promosi, tapi juga perlindungan nilai budaya, penyediaan fasilitas, dan regulasi pengelolaan sumber daya alam secara bijak.

“Ini peluang emas. Tapi harus dikelola dengan bijak, jangan asal ramai lalu hilang. Budaya kita harus tetap utuh,” pungkasnya.

Viralnya Pacu Jalur telah membuka mata dunia akan kekayaan budaya Indonesia. Kini tinggal bagaimana bangsa ini mampu menjawab tantangan: menjaga tradisi tetap hidup dan bermakna di tengah gempuran digitalisasi dan komersialisasi global.

Terkini

Harga Sembako Jogja Turun

Rabu, 23 Juli 2025 | 15:50:24 WIB

Aliran Dana ETF Crypto BlackRock Melonjak Tajam

Rabu, 23 Juli 2025 | 15:57:12 WIB

BMKG: Hujan Ringan Landa Jabodetabek

Rabu, 23 Juli 2025 | 16:00:54 WIB

Cicilan Oppo Reno 11 Pro Mulai Rp400 Ribuan

Rabu, 23 Juli 2025 | 16:07:08 WIB