JAKARTA - Di tengah pesatnya era digital, perangkat gadget seperti smartphone dan tablet telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari, bahkan untuk anak-anak. Fenomena ini bukan hanya memunculkan kekaguman akan kecanggihan teknologi, tetapi juga menyisakan kekhawatiran akan dampaknya terhadap tumbuh kembang anak. Masalah ini menjadi perhatian utama dalam sesi talk show bertema “Pengaruh Gadget pada Perkembangan Anak” yang digelar di Studio RSKW 104.8 FM, menghadirkan dua narasumber ahli: dr. Ariawan Setiadi, S.Pa., Dokter Spesialis Anak, serta Jenny N. R. Irawan, S.Psi., M.Psi., seorang psikolog anak dan keluarga.
Dipandu oleh host Rayya Ricky, perbincangan dalam talk show tersebut menyoroti bagaimana penggunaan gadget bisa menjadi pedang bermata dua bagi generasi muda. Di satu sisi, perangkat digital menawarkan kemudahan dalam pembelajaran dan akses informasi, namun di sisi lain, penggunaannya yang tidak terkontrol dapat menimbulkan dampak serius pada perkembangan anak, terutama mereka yang masih berada dalam masa emas pertumbuhan.
Menurut dr. Ariawan, masa 1.000 hari pertama kehidupan anak adalah periode krusial dalam pembentukan otak dan kemampuan kognitif. Dalam fase ini, anak seharusnya tidak dikenalkan sama sekali dengan gadget, termasuk televisi. “Gadget bisa menjadi alat bantu edukatif yang efektif, terutama dalam mengakses pelajaran berbasis digital. Namun jika penggunaannya tidak sesuai dengan usia dan tanpa pengawasan, justru bisa menimbulkan berbagai dampak negatif,” tegasnya.
- Baca Juga 5 Shio Paling Hoki di Awal Agustus
Lebih lanjut, ia mengutip rekomendasi dari Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), yang menyatakan bahwa anak di bawah usia dua tahun sebaiknya tidak diperkenalkan pada gadget. Sedangkan untuk anak usia dua tahun ke atas, penggunaan gadget maksimal dibatasi hanya satu jam per hari, itupun harus disertai dengan jeda serta pemantauan langsung oleh orang tua.
Jika aturan tersebut diabaikan, konsekuensinya bisa sangat kompleks. Ariawan menjelaskan bahwa paparan gadget yang berlebihan dapat memicu keterlambatan bicara atau speech delay, gangguan konsentrasi, perubahan perilaku menjadi lebih agresif, bahkan meningkatkan risiko gangguan spektrum autisme dan Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD). Tak hanya itu, ia juga menambahkan bahwa gangguan fisik seperti sembelit pun bisa muncul karena anak terlalu lama duduk bermain gadget tanpa aktivitas fisik yang memadai.
Sementara itu, Jenny N. R. Irawan menyoroti aspek psikologis dan relasional dari penggunaan gadget pada anak. Menurutnya, ketika anak mulai menunjukkan tanda-tanda ketergantungan terhadap gadget, intervensi psikologis bisa menjadi salah satu solusi. Namun, terapi yang dilakukan tidak hanya ditujukan kepada anak, melainkan juga harus melibatkan peran aktif orang tua.
“Orang tua memiliki peran sangat penting dalam proses pemulihan ini. Kunci utamanya adalah komunikasi yang sehat antara anak dan orang tua,” ungkap Jenny. Ia juga mengingatkan bahwa pelarangan semata tidak cukup. Orang tua harus mampu menjadi contoh nyata dalam penggunaan gadget secara bijak.
Jenny menekankan pentingnya dua hal: boundaries (batasan) dan bonding (ikatan). Ia mengingatkan bahwa kemudahan teknologi jangan sampai justru merenggangkan hubungan emosional antara orang tua dan anak. “Boundaries dan bonding harus berjalan beriringan. Jangan sampai kemudahan teknologi justru membuat hubungan orang tua dan anak menjadi renggang,” tegasnya.
Dalam dunia ideal, gadget seharusnya menjadi alat bantu, bukan pengganti. Namun dalam praktiknya, banyak orang tua tanpa sadar menjadikan gadget sebagai “pengasuh digital”, terutama dalam situasi sibuk atau ketika kelelahan. Kondisi ini secara perlahan menggeser peran interaksi sosial langsung yang sangat dibutuhkan anak dalam masa tumbuh kembangnya.
Dengan demikian, talk show tersebut menjadi momentum penting untuk mengingatkan kembali pentingnya kesadaran dan keterlibatan orang tua dalam mengawasi penggunaan gadget pada anak. Membiarkan anak bermain gadget secara bebas dan tanpa arahan bisa membawa dampak jangka panjang yang tidak diinginkan.
Solusi terbaik, sebagaimana disarankan oleh para narasumber, adalah menciptakan keseimbangan antara teknologi dan aktivitas fisik maupun sosial. Anak-anak perlu diberi ruang untuk bermain, berinteraksi langsung dengan lingkungan sekitar, serta belajar dari pengalaman nyata, bukan hanya dari layar.
Melalui edukasi publik seperti talk show ini, diharapkan kesadaran masyarakat, khususnya para orang tua, akan terus meningkat. Perangkat digital memang tak bisa dihindari dalam kehidupan modern, namun dengan pemahaman dan kontrol yang tepat, gadget bisa menjadi sarana yang mendukung, bukan malah menghambat perkembangan anak.
Singkatnya, kunci utama ada di tangan orang tua. Ketika mereka hadir, terlibat, dan sadar akan dampak teknologi, maka peluang bagi anak-anak untuk tumbuh sehat, cerdas, dan seimbang pun akan semakin terbuka lebar.