JAKARTA - Harga minyak dunia kembali mengalami kenaikan tipis, mencerminkan respons pasar terhadap berbagai sinyal positif dari sisi geopolitik dan perdagangan internasional. Ketika tensi global sebelumnya membayangi sentimen pasar, kabar terbaru dari Amerika Serikat, Uni Eropa, hingga Rusia menjadi katalis utama yang membuat harga minyak beranjak naik.
Di pasar internasional, harga minyak mentah Brent tercatat mengalami kenaikan 17 sen atau sekitar 0,3 persen menjadi USD 69,35 per barel. Sementara itu, minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) asal AS juga naik sebesar 15 sen atau 0,2 persen, diperdagangkan pada angka USD 66,18 per barel. Kenaikan ini melanjutkan tren positif setelah sebelumnya harga minyak sempat ditutup menguat satu persen.
Salah satu pendorong utama kenaikan harga ini adalah laporan bahwa Rusia sedang mempertimbangkan pemangkasan ekspor bensin ke sebagian besar negara. Rencana ini memicu kekhawatiran akan potensi berkurangnya pasokan global, sehingga menstimulasi reaksi pasar.
- Baca Juga Geo Dipa dan Energi Panas Bumi Indonesia
Isu pembatasan ekspor dari Rusia bukan satu-satunya dinamika yang membentuk persepsi pasar. Di tengah gejolak pasokan, muncul pula harapan baru dari sisi diplomasi dagang. Amerika Serikat dan Uni Eropa disebut tengah mengupayakan sebuah kesepakatan perdagangan yang bisa meringankan tarif dan membuka peluang kerja sama ekonomi yang lebih luas. Dua diplomat Eropa bahkan menyebut bahwa diskusi antara kedua pihak menunjukkan sinyal positif menuju penyelesaian.
Laporan dari Wall Street Journal juga menambah dinamika pergerakan harga minyak. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump dikabarkan sedang mempertimbangkan untuk memberikan izin kepada Chevron Corp. agar dapat melanjutkan operasi minyaknya di Venezuela, negara anggota OPEC yang saat ini dikenai sanksi oleh Washington. Jika persetujuan ini diberikan, maka produksi minyak dari Venezuela bisa perlahan pulih dan memberi dampak pada peta pasokan global.
Namun, di balik segala potensi pasokan tersebut, penurunan cadangan minyak di Amerika Serikat tetap menjadi faktor dominan yang mendorong harga naik. Badan Informasi Energi AS mencatat bahwa persediaan minyak mentah menurun hingga 3,2 juta barel, jauh melampaui perkiraan analis yang hanya memperkirakan penarikan sebesar 1,6 juta barel. Angka aktual ini menunjukkan bahwa permintaan domestik terhadap minyak lebih tinggi dari ekspektasi pasar.
Penurunan stok minyak tersebut tidak hanya mencerminkan permintaan yang tinggi, namun juga menjadi cerminan dari pemulihan ekonomi yang perlahan berjalan, serta efek dari perubahan pola konsumsi energi. Penurunan ini terjadi di tengah meningkatnya ekspektasi pasar terhadap kelanjutan negosiasi dagang antara AS dan mitra-mitra strategisnya.
Kembali ke panggung global, Uni Eropa dan AS dikabarkan telah membuka pembicaraan mengenai tarif dasar AS sebesar 15 persen untuk produk impor dari Eropa. Jika kesepakatan ini terealisasi, maka bukan tidak mungkin akan lahir perjanjian dagang besar lainnya, seperti yang sebelumnya telah tercapai dengan Jepang. Situasi ini menumbuhkan kembali harapan akan perbaikan iklim perdagangan internasional yang sempat tegang akibat perang tarif.
Di sisi lain, investor mulai mengalihkan perhatian mereka ke indikator-indikator ekonomi yang akan dirilis dalam waktu dekat dari dua negara dengan perekonomian terbesar dunia: Amerika Serikat dan China. Fokus tertuju pada data aktivitas pabrik di China dan beberapa indikator utama dari AS seperti inflasi, data pekerjaan, serta data inventaris. Informasi ini sangat dinantikan sebagai acuan utama arah pasar minyak ke depan.
Menurut Sycamore dari IG, pekan mendatang akan menjadi pekan penting karena banyak data fundamental yang akan dirilis. "Minggu depan merupakan minggu yang besar berdasarkan data," ungkapnya. Pelaku pasar diperkirakan akan mencermati setiap rilis dengan seksama guna memprediksi arah pergerakan ekonomi dan harga minyak global secara keseluruhan.
Dengan sentimen pasar yang sangat dipengaruhi oleh dinamika geopolitik, perdagangan internasional, serta data fundamental, maka tidak mengherankan jika harga minyak menunjukkan fluktuasi yang sensitif. Para pelaku industri dan investor global pun kini menantikan langkah lanjutan dari berbagai aktor utama baik dari Rusia, Amerika Serikat, maupun Uni Eropa.
Ketika tekanan suplai dari Rusia menjadi topik hangat, dan di sisi lain permintaan AS menunjukkan peningkatan, keseimbangan pasar global menjadi faktor penentu harga. Dalam konteks yang lebih luas, stabilitas pasokan dan keterbukaan kerja sama perdagangan antara negara-negara besar akan sangat memengaruhi arah pergerakan pasar energi dunia.
Kenaikan harga minyak ini menjadi refleksi dari bagaimana pasar merespons sinyal optimisme global. Meskipun belum ada keputusan final terkait kesepakatan dagang atau pengurangan ekspor Rusia, namun ekspektasi inilah yang mendorong harga naik secara bertahap. Di tengah ketidakpastian global, pelaku pasar kini menanti konfirmasi dari laporan-laporan resmi yang bisa memperkuat sentimen positif tersebut.