JAKARTA - Tidak semua pesepak bola berhasil meninggalkan jejak abadi di berbagai level kompetisi dan lintas negara. Namun Lothar Matthäus adalah pengecualian yang luar biasa. Sosoknya tidak hanya disegani sebagai kapten tim nasional Jerman di era keemasan, tetapi juga dikenang sebagai pionir gelandang modern yang menorehkan prestasi fenomenal di Bundesliga dan Serie A.
Karier Matthäus bukan hanya soal statistik dan trofi, tetapi juga tentang ketekunan, ketangguhan, dan transformasi peran dalam setiap fase hidupnya sebagai pemain. Dari kota kecil Erlangen hingga panggung megah Piala Dunia, nama Matthäus menjelma jadi simbol totalitas dalam sepak bola Jerman.
Perjalanan profesionalnya dimulai secara sederhana bersama FC Herzogenaurach. Klub lokal ini menjadi pijakan pertama bagi remaja 17 tahun bernama lengkap Lothar Herbert Matthäus. Dalam 28 penampilan awalnya, ia mencetak 22 gol catatan yang tidak biasa bagi seorang pemain muda. Kemampuannya langsung menarik perhatian klub-klub besar di Jerman.
Setahun berselang, Borussia Mönchengladbach menjadi pelabuhan berikutnya. Di sinilah kariernya mulai menanjak tajam. Dalam lima musim (1979–1984), Matthäus membuktikan diri sebagai gelandang box-to-box yang komplet. Ia mencetak 51 gol dan memberikan delapan assist dalam 200 pertandingan, membuat namanya mulai bergema di Bundesliga.
Kemampuannya membaca permainan, duel fisik yang kuat, serta visi yang tajam membuat Bayern Munich tertarik merekrutnya. Klub raksasa Bavaria itu mendatangkannya pada pertengahan dekade 1980-an, dan di sinilah dominasi domestik Matthäus benar-benar terlihat.
Selama periode pertamanya bersama Bayern, Matthäus tampil dalam 152 laga, mencetak 69 gol, dan menyumbang 16 assist. Ia turut mempersembahkan tiga gelar Bundesliga secara beruntun dan satu trofi DFB-Pokal. Uniknya, meski dikenal sebagai gelandang, ia juga beberapa kali dimainkan sebagai libero—peran yang dijalaninya dengan sempurna berkat kemampuannya dalam mengorganisir pertahanan dan menyerang.
Namun tantangan baru menanti. Italia menjadi tujuan berikutnya. Inter Milan, yang saat itu ditangani pelatih Giovanni Trapattoni, merekrutnya pada 1988. Bersama klub berjuluk Nerazzurri tersebut, Matthäus tak butuh waktu lama untuk menciptakan sejarah baru. Ia langsung membawa Inter meraih Scudetto musim 1988/89, dan dua tahun kemudian mempersembahkan gelar UEFA Cup 1990/91.
Dengan kontribusi 53 gol dan 13 assist dalam 154 pertandingan di San Siro, Matthäus menjadi idola publik Italia. Bersama dua kompatriotnya, Andreas Brehme dan Jürgen Klinsmann, Inter Milan dikenal sebagai kekuatan menakutkan di akhir 1980-an.
Setelah empat musim di Italia, Matthäus kembali ke Bayern Munich. Meski usianya sudah memasuki kepala tiga, peran vitalnya tidak tergantikan. Dalam periode kedua ini, ia mencatatkan 258 penampilan, mencetak 31 gol, dan ikut serta mempersembahkan tiga gelar Bundesliga tambahan serta satu trofi UEFA Cup 1995/96. Ia tidak lagi sekadar gelandang petarung, tetapi menjadi figur pemimpin yang mengendalikan tempo permainan dengan elegansi.
Di level internasional, Matthäus tak terbantahkan sebagai salah satu pemain paling berpengaruh dalam sejarah sepak bola Jerman. Ia mencatatkan 150 caps, mencetak 23 gol, dan memberikan 17 assist untuk Der Panzer. Di Piala Dunia 1990, ia memimpin Jerman sebagai kapten hingga menjadi juara dunia. Penampilannya sepanjang turnamen sangat dominan—baik dalam bertahan maupun menyerang.
Matthäus juga pernah menjadi bagian dari skuad Jerman Barat yang menjuarai Euro 1980, menunjukkan bahwa ia adalah pemain yang hadir di hampir seluruh era penting sepak bola Jerman. Bahkan, hingga kini, ia masih memegang rekor sebagai pemain dengan penampilan terbanyak di Piala Dunia: 25 pertandingan dari lima edisi, mulai 1982 hingga 1998. Sebuah pencapaian yang menggambarkan konsistensi luar biasa selama hampir dua dekade.
Pada penghujung kariernya, Matthäus sempat merasakan kompetisi di Major League Soccer (MLS) bersama MetroStars, klub asal Amerika Serikat. Meski hanya mencatatkan 21 penampilan, ia tetap mampu memberikan kontribusi penting, termasuk membawa timnya menjuarai MLS Eastern Division. Meski tidak semegah masa kejayaannya di Eropa, kehadirannya kala itu berperan besar dalam meningkatkan popularitas sepak bola di Negeri Paman Sam.
Nama Matthäus juga masuk dalam daftar FIFA 100 daftar pemain terbaik sepanjang masa versi FIFA. Ia bahkan berhasil meraih Ballon d’Or pada 1990, menambah daftar panjang pengakuan terhadap kejeniusannya di atas lapangan.
Lebih dari sekadar gelandang petarung, Lothar Matthäus adalah figur pemimpin yang menjadi simbol dedikasi, determinasi, dan disiplin tinggi. Ia hadir di era sepak bola yang keras, teknis, dan minim kompromi dan ia menaklukkannya.
Jejak emas yang ia tinggalkan, dari Bundesliga hingga Serie A, dari tim kecil hingga pentas dunia, membuktikan bahwa Matthäus bukan sekadar legenda sepak bola Jerman. Ia adalah arsitek lapangan tengah yang tak tergantikan, panutan bagi generasi setelahnya, dan contoh nyata dari sebuah karier yang dibangun dengan kerja keras dan pengabdian penuh terhadap permainan.