JAKARTA - Langkah konkret untuk memastikan pengelolaan keuangan negara tetap sehat kembali dilakukan oleh pemerintah. Kali ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menerbitkan aturan baru yang menekankan efisiensi dalam belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan menitikberatkan pada pengutamaan kegiatan prioritas presiden.
Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 56 Tahun 2025 tentang Tata Cara Pelaksanaan Efisiensi Belanja dalam APBN, yang telah diberlakukan sejak diundangkan pada 5 Agustus 2025. Dalam aturan ini, pemerintah secara tegas menetapkan kerangka penghematan pada berbagai pos belanja, baik untuk kementerian/lembaga maupun transfer ke daerah (TKD).
Sri Mulyani menekankan bahwa kebijakan ini tidak hanya sekadar pemangkasan anggaran, tetapi bagian dari strategi untuk menjaga keberlanjutan fiskal dan memastikan pembiayaan negara tetap fokus pada prioritas pembangunan nasional. Belanja negara harus dikelola secara bijak agar tidak hanya mencukupi kebutuhan jangka pendek, tetapi juga memperkuat fondasi ekonomi jangka panjang.
“Kebijakan ini diharapkan membuat belanja negara lebih efektif tanpa mengorbankan pelayanan kepada masyarakat,” ujarnya.
Fokus pada Efisiensi 15 Jenis Belanja
Dibandingkan aturan sebelumnya, PMK 56/2025 memangkas jumlah item belanja yang harus dikenakan efisiensi dari 16 menjadi 15 jenis. Sejumlah pos pengeluaran yang dipangkas antara lain:
-Alat tulis kantor
-Kegiatan seremonial
-Rapat dan seminar
-Kajian dan analisis
-Pelatihan
-Honor output kegiatan
-Percetakan dan souvenir
-Sewa gedung dan kendaraan
-Lisensi aplikasi
-Jasa konsultan
-Bantuan pemerintah
-Pemeliharaan
-Perjalanan dinas
-Peralatan dan mesin
-Infrastruktur
Item “belanja lainnya” yang sebelumnya masuk dalam daftar kini telah dihapus, menandakan adanya upaya penajaman fokus dalam efisiensi anggaran.
Khusus hasil efisiensi, pemerintah menetapkan bahwa dananya akan dialihkan untuk mendanai kegiatan presiden, dengan koordinasi dan penyaluran langsung oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Artinya, hasil penghematan bukan sekadar diparkir, tetapi akan digunakan ulang secara strategis sesuai prioritas nasional.
Fleksibilitas Tetap Dijaga
Meski aturan ini membawa semangat penghematan yang kuat, Sri Mulyani juga memberikan ruang fleksibilitas bagi kementerian/lembaga (K/L). Mereka tetap diperbolehkan untuk menyesuaikan jenis belanja yang akan diefisienkan, apabila target penghematan sulit dicapai pada jenis belanja tertentu.
Namun, penyesuaian itu harus tetap mematuhi ketentuan dasar, yakni tidak boleh mengganggu belanja pegawai, operasional kantor, pelayanan publik, maupun fungsi dasar organisasi. Pemerintah menekankan bahwa efisiensi tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan stabilitas kerja atau kualitas pelayanan kepada masyarakat.
“Pemerintah juga menekankan tidak boleh ada pengurangan pegawai non-ASN aktif, kecuali kontraknya berakhir,” tulis PMK tersebut, mempertegas bahwa tenaga kerja non-ASN tetap harus dilindungi dalam proses efisiensi ini.
Keterlibatan DPR dan Presiden dalam Proses Anggaran
Rencana efisiensi yang disusun oleh masing-masing K/L juga wajib melalui proses persetujuan bersama Komisi DPR yang menjadi mitra kerja mereka. Ini menunjukkan bahwa kebijakan efisiensi bukan keputusan sepihak eksekutif, melainkan harus dikawal oleh proses pengawasan legislatif untuk menjamin akuntabilitas.
Menariknya, dalam kondisi tertentu, anggaran hasil efisiensi tetap dimungkinkan untuk digunakan kembali, asalkan mendapat persetujuan presiden. Pemanfaatan kembali dana ini hanya diperbolehkan untuk lima kategori, yakni:
-Belanja pegawai
-Operasional
-Pelayanan publik
-Kegiatan prioritas
-Kegiatan yang dapat meningkatkan penerimaan negara
Jika persetujuan sudah diberikan, maka pembukaan kembali anggaran hasil efisiensi akan dilakukan oleh Menteri Keuangan melalui Dirjen Anggaran.
Menjaga Keseimbangan Antara Disiplin dan Pelayanan
Langkah efisiensi ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menciptakan pengelolaan anggaran yang disiplin namun tetap responsif terhadap kebutuhan publik. Tidak hanya sebagai bentuk penghematan, kebijakan ini diharapkan menjadi fondasi pengelolaan fiskal yang lebih sehat, transparan, dan adaptif.
Bagi publik, dampaknya bisa terasa dalam bentuk peningkatan kualitas program prioritas pemerintah. Sementara bagi birokrasi, hal ini menjadi momentum untuk menyusun ulang prioritas kerja, dan melakukan evaluasi terhadap belanja yang belum efisien atau berdampak rendah.
Dengan adanya aturan ini, belanja negara ke depan diharapkan semakin tepat sasaran, efisien, dan berorientasi hasil. Sri Mulyani menutup dengan harapan agar semua pihak bisa mendukung pelaksanaan aturan ini secara konsisten.