Harga Batu Bara Acuan Tembus USD 105,33 per Ton

Selasa, 02 September 2025 | 09:45:18 WIB
Harga Batu Bara Acuan Tembus USD 105,33 per Ton

JAKARTA - Pergerakan harga batu bara kembali menunjukkan dinamika yang menarik perhatian, khususnya bagi para pelaku usaha sektor energi dan pertambangan. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan (HBA) periode pertama September 2025 berada di level USD 105,33 per ton. Angka tersebut mencerminkan kenaikan sebesar 4,6 persen dibandingkan periode sebelumnya yang berada pada USD 100,69 per ton.

Kenaikan ini menandai penguatan setelah sempat terkoreksi pada akhir Agustus lalu. Dalam catatan resmi, HBA sempat turun dari USD 102,22 per ton pada periode pertama Agustus menjadi USD 100,69 per ton pada periode kedua. Artinya, harga kini kembali ke jalur penguatan.

Penetapan harga tersebut tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 299.K/MB.01/MEM.B/2025 yang menjadi dasar penentuan nilai acuan untuk transaksi penjualan batu bara baik di dalam negeri maupun ekspor.

Rincian Harga Berdasarkan Kalori

Dalam penetapan kali ini, ESDM tetap membagi harga batu bara acuan ke dalam empat kategori sesuai dengan nilai kalori (GAR). Kategori tertinggi, yakni 6.322 GAR, menjadi sorotan utama karena menunjukkan kenaikan. Berikut rinciannya:

HBA (6.322 GAR): USD 105,33 per ton, naik dari periode sebelumnya yang sebesar USD 100,69.

HBA I (5.300 GAR): USD 66,50 per ton, turun dari USD 67,20.

HBA II (4.100 GAR): USD 42,30 per ton, turun dari USD 43,70.

HBA III (3.400 GAR): USD 32,32 per ton, turun dari USD 33,48.

Dari data tersebut terlihat bahwa kenaikan hanya terjadi pada HBA utama dengan nilai kalori tinggi, sedangkan tiga kategori lainnya justru mencatat penurunan. Hal ini menunjukkan perbedaan tren permintaan pasar terhadap jenis batu bara dengan kualitas berbeda.

Sinyal Bagi Industri Pertambangan

Bagi industri pertambangan, kenaikan HBA dengan kalori tinggi dianggap sebagai sinyal positif. Pasalnya, batu bara dengan kalori lebih tinggi biasanya menjadi andalan ekspor ke negara-negara yang masih sangat bergantung pada sumber energi fosil, terutama di kawasan Asia.

Sebaliknya, penurunan harga pada kategori batu bara berkalori menengah hingga rendah mencerminkan adanya pergeseran permintaan global. Beberapa negara tujuan ekspor mulai menekan impor untuk kualitas tertentu, seiring dengan diversifikasi energi dan penerapan kebijakan energi bersih.

Meskipun demikian, pelaku usaha masih menilai kenaikan pada HBA utama cukup mampu menutup penurunan di kategori lain. Hal ini juga menjadi peluang bagi produsen untuk lebih fokus pada optimalisasi produksi batu bara berkalori tinggi yang sedang naik daun di pasar global.

Dampak bagi Pasar Domestik dan Ekspor

HBA yang berlaku pada periode 1–14 September ini memiliki arti penting, baik untuk kontrak jangka panjang maupun jangka pendek. Harga tersebut menjadi acuan utama bagi transaksi antara produsen dan pembeli, baik di dalam negeri maupun untuk kebutuhan ekspor.

Di pasar domestik, HBA digunakan sebagai patokan harga jual dalam kontrak dengan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) maupun industri lain yang menggunakan batu bara sebagai bahan baku. Sementara itu, untuk pasar ekspor, harga acuan menjadi rujukan agar transaksi tetap mengikuti tren global yang sedang berlangsung.

Dengan adanya kenaikan harga pada kategori tertinggi, ekspor batu bara Indonesia diperkirakan masih akan mendapat permintaan stabil, terutama dari negara-negara yang tengah menghadapi lonjakan kebutuhan energi di musim tertentu.

Tren Global dan Fluktuasi Harga

Jika menilik beberapa bulan terakhir, harga batu bara memang bergerak fluktuatif. Kondisi pasar internasional dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari geopolitik, permintaan energi musiman, hingga kebijakan energi di negara konsumen utama seperti Tiongkok dan India.

Pada periode kedua Agustus, HBA mengalami penurunan tipis sekitar 1,5 persen. Namun koreksi ini cepat diimbangi dengan penguatan pada awal September, menandakan pasar masih menunjukkan minat yang kuat terhadap batu bara berkalori tinggi.

Fluktuasi ini diperkirakan akan terus terjadi, mengingat tren energi global saat ini berada pada persimpangan. Di satu sisi, banyak negara mendorong transisi energi menuju sumber yang lebih ramah lingkungan. Namun di sisi lain, kebutuhan energi fosil seperti batu bara masih belum dapat sepenuhnya digantikan dalam waktu dekat.

Strategi Pelaku Usaha

Dalam menghadapi dinamika harga, pelaku usaha pertambangan dituntut untuk cermat dalam menyusun strategi. Bagi perusahaan yang memiliki cadangan batu bara berkalori tinggi, kenaikan harga HBA menjadi peluang besar untuk meningkatkan pendapatan.

Sementara itu, bagi produsen yang lebih banyak menghasilkan batu bara kalori rendah hingga menengah, diperlukan strategi diversifikasi pasar dan peningkatan efisiensi produksi agar tetap mampu bersaing.

Selain itu, adanya perbedaan tren harga antar kategori kalori juga bisa mendorong perusahaan untuk menyesuaikan strategi penjualan, baik dengan memprioritaskan pasar domestik maupun memperluas ekspor ke negara-negara yang masih membutuhkan pasokan batu bara dalam jumlah besar.

Kenaikan harga batu bara acuan menjadi USD 105,33 per ton di awal September menegaskan kembali betapa dinamisnya pasar energi global. Bagi Indonesia, sebagai salah satu eksportir batu bara terbesar dunia, hal ini tentu menjadi kabar yang perlu disikapi dengan optimisme sekaligus kehati-hatian.

Meski hanya satu kategori HBA yang mengalami kenaikan, sinyal positif ini tetap memberi ruang bagi industri untuk bergerak lebih leluasa. Sementara itu, penurunan pada tiga kategori lainnya menjadi pengingat bahwa pasar masih penuh ketidakpastian.

Ke depan, industri pertambangan perlu lebih adaptif dalam merespons dinamika harga, baik melalui pengelolaan produksi, peningkatan efisiensi, maupun penguatan strategi pemasaran. Dengan langkah yang tepat, kenaikan harga batu bara acuan ini bisa menjadi momentum untuk menjaga stabilitas sektor energi nasional sekaligus memperkuat daya saing di pasar global.

Terkini