Filosofi di Balik Tradisi Tahun Baru Jepang

Selasa, 02 September 2025 | 09:25:44 WIB
Filosofi di Balik Tradisi Tahun Baru Jepang

JAKARTA - Bagi masyarakat Jepang, pergantian tahun bukan hanya sekadar perayaan penuh kembang api atau pesta meriah. Tahun baru, yang dikenal dengan sebutan Shogatsu, merupakan momen penuh makna yang mengikat tradisi, filosofi hidup, serta rasa syukur. Setiap kegiatan yang dilakukan saat momen ini tidak hanya untuk menyambut tahun baru, tetapi juga diyakini mampu membawa keberuntungan, membersihkan energi buruk, dan memperkuat hubungan keluarga maupun spiritual.

Berbeda dengan banyak negara lain yang menekankan pada pesta malam pergantian tahun, masyarakat Jepang lebih menaruh perhatian pada ritual yang sudah berlangsung turun-temurun selama berabad-abad. Inilah yang membuat perayaan tahun baru di Negeri Sakura sarat dengan simbolisme mendalam.

1. Mochitsuki, Simbol Kebersamaan dan Kemakmuran

Salah satu tradisi paling terkenal menjelang tahun baru adalah Mochitsuki, yaitu proses membuat kue mochi dari beras ketan. Kegiatan ini biasanya dilakukan secara berkelompok, baik bersama keluarga maupun komunitas, dengan cara menumbuk beras ketan hingga menjadi adonan lembut.
Filosofi di baliknya sangat dalam: mochi dianggap lambang keberuntungan, kemakmuran, serta kebersamaan. Proses pembuatannya yang melibatkan kerja sama juga menggambarkan pentingnya solidaritas dalam keluarga maupun masyarakat.

2. Osoji, Membersihkan Hati dan Lingkungan

Menjelang tahun baru, masyarakat Jepang melaksanakan Osoji, yaitu tradisi pembersihan besar-besaran. Rumah, tempat kerja, bahkan kuil ikut dibersihkan dengan cermat. Tujuannya bukan hanya soal kebersihan fisik, melainkan juga pembersihan energi buruk dari tahun sebelumnya.
Filosofinya adalah penyucian diri serta menyiapkan ruang yang bersih untuk menyambut keberuntungan. Dengan demikian, tahun baru bisa dijalani dengan hati yang lebih lapang dan lingkungan yang lebih harmonis.

3. Hatsumode, Kunjungan Spiritual ke Kuil

Hari pertama tahun baru biasanya diisi dengan Hatsumode, yaitu kunjungan ke kuil atau tempat suci. Orang-orang berdoa, memohon kesehatan, keberuntungan, dan keselamatan untuk tahun yang akan dijalani.
Tradisi ini mencerminkan rasa syukur sekaligus harapan. Selain itu, Hatsumode menjadi sarana memperkuat hubungan spiritual dengan alam semesta dan leluhur, sehingga tidak sekadar ritual keagamaan, tetapi juga simbol keterhubungan antara manusia, alam, dan tradisi.

4. Otoshidama, Keceriaan untuk Anak-Anak

Bagi anak-anak Jepang, salah satu momen paling ditunggu saat Shogatsu adalah Otoshidama, yaitu pemberian amplop berisi uang dari orang tua atau kerabat dewasa.
Di balik keceriaan menerima hadiah tersebut, terkandung filosofi penting: tradisi ini mengajarkan nilai berbagi serta memberikan semangat kepada generasi muda. Otoshidama menjadi wujud perhatian keluarga terhadap kebahagiaan dan masa depan anak-anak mereka.

5. Kadomatsu dan Shimenawa, Menyambut Dewa Tahun Baru

Dekorasi rumah juga memiliki makna besar dalam perayaan tahun baru Jepang. Dua di antaranya adalah Kadomatsu, hiasan dari bambu dan pinus, serta Shimenawa, tali jerami suci yang dipasang di pintu rumah.
Keduanya tidak sekadar dekorasi, melainkan simbol penyambutan bagi dewa tahun baru, Toshigami. Kadomatsu melambangkan panjang umur dan kesuburan, sementara Shimenawa dipercaya mampu mengusir roh jahat serta menciptakan ruang suci bagi dewa yang akan datang.

6. Toshikoshi Soba, Mengganti Tahun dengan Hidangan Bermakna

Pada malam pergantian tahun, masyarakat Jepang biasanya menyantap Toshikoshi Soba, mi soba yang panjang. Filosofinya sederhana namun kuat: mi yang panjang melambangkan umur panjang dan ketahanan.
Tradisi ini juga mencerminkan harapan untuk meninggalkan kesulitan tahun lalu serta menyambut tahun baru dengan semangat baru. Dengan menyantap soba, masyarakat Jepang percaya bahwa beban lama akan ikut terurai seiring putusnya mi.

7. Kohaku Uta Gassen, Hiburan Pemersatu Keluarga

Selain ritual yang bersifat religius atau simbolis, tahun baru di Jepang juga identik dengan hiburan. Salah satunya adalah acara musik Kohaku Uta Gassen yang disiarkan NHK. Penyanyi pria dan wanita dibagi ke dalam dua tim, lalu saling berkompetisi melalui penampilan musik.
Lebih dari sekadar acara televisi, momen ini sering menjadi ajang keluarga untuk berkumpul, menonton, dan menikmati kebersamaan. Filosofi yang terkandung adalah mempererat hubungan keluarga melalui hiburan yang penuh semangat dan kegembiraan.

8. Joya no Kane, Dentang Lonceng Pembersih Jiwa

Salah satu tradisi paling sakral adalah Joya no Kane, yakni membunyikan lonceng kuil sebanyak 108 kali pada malam tahun baru. Setiap dentang melambangkan pelepasan dari satu nafsu duniawi menurut ajaran Buddha.
Tradisi ini dipercaya mampu membersihkan jiwa dari dosa serta mempersiapkan batin untuk memasuki tahun baru dengan kesucian dan kedamaian. Suara lonceng yang bergema juga memberikan nuansa tenang, menandai peralihan dari tahun lama menuju tahun baru.

Makna Filosofis yang Menyeluruh

Dari semua tradisi tersebut, jelas terlihat bahwa tahun baru di Jepang lebih dari sekadar pesta perayaan. Setiap kegiatan mengandung filosofi mendalam tentang rasa syukur, kebersamaan, harapan, dan penyucian diri.
Mochitsuki mengajarkan solidaritas, Osoji menekankan pentingnya kebersihan lahir dan batin, Hatsumode memperkuat spiritualitas, Otoshidama menumbuhkan semangat berbagi, sementara Toshikoshi Soba dan Joya no Kane menegaskan nilai keberlanjutan hidup serta pembaruan diri.

Melalui tradisi-tradisi tersebut, masyarakat Jepang tidak hanya merayakan pergantian tahun secara lahiriah, tetapi juga mengisinya dengan refleksi dan nilai kehidupan. Inilah yang menjadikan perayaan tahun baru di Jepang begitu unik dan penuh makna sebuah momen di mana kebersamaan, spiritualitas, dan filosofi hidup berpadu menjadi satu.

Terkini