JAKARTA - Pemerintah Indonesia tengah mempertimbangkan untuk menambah impor minyak dan Liquefied Petroleum Gas (LPG) dari Amerika Serikat (AS). Namun, langkah ini menuai perhatian dari Komisi XII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI terkait potensi dampak biaya transportasi yang dapat membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Pertimbangan Biaya Transportasi dalam Impor Energi
Anggota Komisi XII DPR RI, Eddy Soeparno, menekankan pentingnya mempertimbangkan biaya transportasi dalam keputusan impor energi. "Kalau memang biaya transportasinya juga tinggi, mungkin yang lebih masuk akal misalkan saja, mohon maaf, ada biaya transportasi yang perlu kita perhitungkan," ujar Eddy dalam program Energy Corner CNBC Indonesia. Ia menambahkan bahwa Indonesia perlu mengevaluasi apakah penambahan impor dari AS harus berasal dari sektor minyak dan gas bumi (migas), mengingat biaya transportasi yang tinggi dapat berdampak pada pembengkakan biaya impor.
Dampak Jarak Jauh terhadap Biaya dan Persediaan
Widhyawan Prawiraatmadja, mantan Gubernur Indonesia untuk Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) pada 2015–2016, mengingatkan bahwa jarak yang jauh antara Indonesia dan AS akan meningkatkan biaya transportasi. "Jauh itu berarti kalau bawa dari sana ke sini tuh takes time. Jadi dua kali lebih panjang," ujarnya. Ia menjelaskan bahwa perjalanan yang memakan waktu lebih lama akan menambah biaya transportasi dan memerlukan persediaan yang lebih besar. "Artinya kan selain transportation cost-nya lebih tinggi, itu juga ada biaya persediaan yang kita harus sediakan. Karena yang tadinya cukup 10 hari, persediaannya ini harus 20 hari, karena waktunya agak lama," tambah Widhyawan.
Alih Impor sebagai Solusi Sementara
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menjelaskan bahwa penambahan impor dari AS bersifat alih impor, bukan penambahan volume impor secara keseluruhan. "Tidak disetop, volumenya yang mungkin dikurangi," ujarnya. Ia menambahkan bahwa rencana alih impor tersebut tidak akan mengganggu APBN. Namun, keputusan ini tetap memerlukan evaluasi mendalam terkait dampak biaya dan efisiensi.
Tarif Resiprokal AS Berpotensi Meningkatkan Beban Biaya
Keputusan pemerintah AS untuk memberlakukan tarif resiprokal sebesar 32% terhadap Indonesia dapat meningkatkan biaya impor energi. "Kebijakan Trump itu diterapkan secara bertahap, yaitu mulai dari pengenaan tarif umum 10 persen untuk seluruh negara terhitung sejak tanggal 5 April 2025, kemudian tarif khusus untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia, mulai berlaku pada 9 April 2025," jelas Airlangga Hartarto. Ia menambahkan bahwa kebijakan ini dapat mempengaruhi daya saing produk Indonesia di pasar internasional.
Alternatif Impor dari Negara Timur Tengah
Beberapa pihak menyarankan agar Indonesia mempertimbangkan untuk mengimpor minyak dan LPG dari negara-negara Timur Tengah, yang memiliki jarak lebih dekat dan biaya transportasi lebih rendah. Widhyawan Prawiraatmadja menyebutkan bahwa jarak antara Indonesia dan negara-negara Timur Tengah hanya memakan waktu sekitar 10 hari, dibandingkan dengan 20 hari jika impor dilakukan dari AS. "Jauh itu berarti kalau bawa dari sana ke sini tuh takes time. Jadi dua kali lebih panjang," ujarnya. Ia menambahkan bahwa jarak yang lebih dekat akan mengurangi biaya transportasi dan kebutuhan persediaan.