Salah satu persyaratan utama untuk menunaikan ibadah haji adalah istitho'ah (kemampuan), yang mencakup aspek fisik dan mental. Komisi VIII DPR RI menekankan pentingnya pemeriksaan kesehatan yang objektif dan profesional untuk memastikan bahwa hanya calon jemaah yang benar-benar mampu secara medis yang diberangkatkan. Namun, munculnya kasus di mana calon jemaah yang telah memenuhi syarat kesehatan justru tidak diberangkatkan menimbulkan pertanyaan mengenai integritas proses pemeriksaan tersebut.
Pernyataan Anggota Komisi VIII
Anggota Komisi VIII DPR RI, Maman Imanul Haq, menegaskan bahwa keputusan untuk memberangkatkan atau tidaknya calon jemaah haji harus berdasarkan pertimbangan medis yang objektif. "Maka yang berhak menentukan dia bisa berangkat atau tidak adalah kedokteran ya, yang ditunjuk oleh Kementerian Agama dalam menentukan itu," ujar Maman. Ia menambahkan bahwa jika ditemukan adanya indikasi ketidakobjektifan dalam proses pemeriksaan kesehatan, pihaknya akan melakukan investigasi menyeluruh terhadap rumah sakit dan dokter yang terlibat. "Kalau ada kasus seperti ini tentu kita investigasi dulu, apakah objektivitas dokter itu sudah terjamin atau tidak," tegasnya.
Potensi Pelanggaran Etika Medis
Jika terbukti ada dokter yang tidak objektif dalam menentukan kelayakan kesehatan calon jemaah haji, hal ini dapat dianggap sebagai pelanggaran etika medis. Menurut Maman, jika ada permainan dokter yang tiba-tiba menggagalkan ibadah haji dengan alasan yang tidak rasional secara medis, maka hal tersebut harus segera ditindaklanjuti. "Kalau ada permainan dokter tiba-tiba menggagalkan ibadah haji dengan alasan tidak rasional dengan medis tentu harus kita cek," ujarnya. Ia menekankan bahwa tidak boleh ada jemaah haji yang dirugikan karena alasan yang tidak sesuai dengan standar medis.