MINYAK

Harga Minyak Dunia Anjlok Lebih dari 2 Persen, Ekonomi Global Terancam Resesi Akibat Dampak Perang Dagang dan Kebijakan Tarif Trump

Harga Minyak Dunia Anjlok Lebih dari 2 Persen, Ekonomi Global Terancam Resesi Akibat Dampak Perang Dagang dan Kebijakan Tarif Trump
Harga Minyak Dunia Anjlok Lebih dari 2 Persen, Ekonomi Global Terancam Resesi Akibat Dampak Perang Dagang dan Kebijakan Tarif Trump

JAKARTA - Harga minyak dunia mengalami penurunan tajam lebih dari 2% pada Selasa (Rabu waktu Jakarta), memperburuk prospek ekonomi global yang terancam terjerumus ke dalam resesi pada tahun 2025. Penurunan ini dipicu oleh kekhawatiran atas kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang berpotensi memperlambat permintaan energi global dan mengancam perekonomian.

Penurunan Harga Minyak Dunia

Mengutip laporan dari CNBC, harga minyak Brent pada Selasa kemarin turun sebesar USD 1,61 atau 2,44%, dan ditutup pada harga USD 64,25 per barel. Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) turun sebesar USD 1,63 atau 2,63%, berakhir pada USD 60,42 per barel. Penurunan harga minyak ini mencerminkan kekhawatiran investor yang menghadapi pertemuan OPEC+ yang dapat meningkatkan produksi, serta potensi dampak dari kebijakan tarif agresif AS yang diprediksi akan memperburuk kondisi ekonomi global.

Kebijakan Tarif Trump Memicu Ketidakpastian Ekonomi Global

Kebijakan tarif Presiden Trump yang berlaku terhadap impor dari berbagai negara, terutama China, telah menambah ketegangan dalam hubungan perdagangan internasional. China, yang menjadi negara dengan dampak terbesar akibat tarif ini, telah merespons dengan mengeluarkan pungutan terhadap barang-barang dari AS, memperburuk ketegangan perdagangan dan menciptakan potensi perang dagang antara dua konsumen minyak terbesar di dunia.

Sejumlah ekonom dalam jajak pendapat Reuters memperkirakan bahwa kebijakan tarif ini dapat membawa ekonomi global menuju resesi pada tahun ini. Bob Yawger, Direktur Masa Depan Energi di Mizuho, dalam sebuah catatan menyatakan, "Perdagangan antara Tiongkok dan AS telah melambat menjadi aliran tipe semi-embargo. Setiap hari yang berlalu tanpa kesepakatan dengan mitra dagang penting kita membawa kita suatu hari lebih dekat ke situasi kehancuran permintaan global."

Defisit Perdagangan AS dan Dampaknya pada Ekonomi

Defisit perdagangan AS juga mencatatkan angka yang sangat tinggi, dengan barang impor ke AS mengalami peningkatan pada bulan Maret. Ini terjadi seiring dengan usaha bisnis untuk membawa barang dagangan sebelum tarif yang lebih besar diberlakukan, menunjukkan bahwa perdagangan menjadi salah satu hambatan utama bagi pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama tahun ini.

Selain itu, dampak dari ketegangan perdagangan ini mulai dirasakan oleh dunia usaha. Perusahaan pengiriman besar seperti UPS mengumumkan akan memangkas 20.000 pekerjaan sebagai langkah untuk menurunkan biaya akibat perlambatan ekonomi. Bahkan, raksasa otomotif General Motors terpaksa menarik prospek bisnisnya dan menunggu perubahan kebijakan perdagangan yang lebih jelas sebelum melanjutkan rencana ekspansi.

BP Laporkan Penurunan Laba, Sektor Energi Tertekan

Di tengah penurunan harga minyak yang signifikan, perusahaan-perusahaan energi besar mulai merasakan dampaknya. BP, perusahaan energi asal Inggris, melaporkan penurunan laba bersih sebesar 48%, yang lebih buruk dari perkiraan. Laba BP hanya tercatat USD 1,4 miliar, jauh lebih rendah dibandingkan dengan prediksi sebelumnya. Penurunan ini disebabkan oleh perdagangan penyulingan dan gas yang lebih lemah, yang sejalan dengan tren penurunan harga energi global.

Pasar energi kini menantikan laporan pendapatan dari perusahaan-perusahaan minyak besar AS seperti Exxon Mobil dan Chevron yang dijadwalkan keluar minggu ini. Laporan ini diperkirakan akan memberikan gambaran lebih jelas mengenai dampak penurunan harga minyak terhadap kinerja keuangan perusahaan energi global.

OPEC+ Pertimbangkan Kenaikan Produksi, Tapi Dapat Memperburuk Sentimen Pasar

Para anggota Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sekutunya, yang tergabung dalam OPEC+, kini tengah mempertimbangkan untuk meningkatkan output minyak mereka. Beberapa anggota menyarankan agar kenaikan produksi dilakukan pada bulan Juni, yang akan menjadi bulan kedua berturut-turut setelah keputusan serupa pada bulan Mei. Namun, kebijakan ini memunculkan kekhawatiran karena dapat memperburuk sentimen pasar yang sudah lemah.

Ole Hansen, analis dari Saxo Bank, mengatakan, "Kenaikan produksi lainnya dari OPEC+ tidak dapat terjadi pada saat yang lebih buruk ketika sentimen pasar sudah lemah, dan karena Kazakhstan tidak menunjukkan minat yang besar untuk mengurangi produksi." Hal ini menunjukkan bahwa keputusan OPEC+ untuk meningkatkan produksi dapat semakin memperburuk kondisi pasar minyak yang sudah tertekan.

Persoalan Ekonomi Global di Tengah Fluktuasi Pasar Energi

Dengan harga minyak yang terus berfluktuasi, tantangan ekonomi global semakin besar. Kebijakan tarif Trump dan ketegangan perdagangan antara AS dan China memperburuk prospek pertumbuhan ekonomi, yang dapat mengarah pada resesi tahun ini. Perang dagang yang berlangsung sudah memberikan dampak langsung pada industri besar, sementara sektor energi juga merasakan efek negatif akibat penurunan harga minyak.

Ketidakpastian global ini menambah keraguan mengenai prospek pemulihan ekonomi dalam waktu dekat, dan sektor energi akan terus menghadapi tantangan besar seiring dengan perubahan kebijakan dan kondisi pasar yang fluktuatif.

Dalam situasi yang penuh ketidakpastian ini, baik investor maupun perusahaan energi harus tetap waspada terhadap perkembangan kebijakan global dan dampaknya terhadap pasar minyak dunia.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index