JAKARTA — Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sedang merancang regulasi baru untuk menangani maraknya aktivitas pengeboran minyak ilegal oleh masyarakat. Regulasi ini akan menjadi landasan hukum kerja sama pengelolaan bagian Wilayah Kerja (WK) minyak dan gas bumi (migas) antara Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) dengan pihak mitra seperti Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) atau koperasi masyarakat.
Langkah ini diambil sebagai respons atas persoalan kompleks yang timbul dari sumur minyak ilegal, yang tidak hanya mengancam keselamatan dan lingkungan, tetapi juga menghambat ketertiban industri migas nasional.
“Dalam rangka upaya penanganan sumur masyarakat, saat ini sedang disiapkan rancangan regulasi tentang kerja sama pengolahan bagian Wilayah Kerja atau WK untuk peningkatan produksi migas,” ujar Pelaksana Harian Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi, Tri Winarno, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi VII DPR RI, Rabu.
Tiga Skema Kerja Sama Didorong Pemerintah
Tri Winarno menjelaskan bahwa regulasi ini akan mengatur tiga skema utama kerja sama antara KKKS dan mitra pengelola. Pertama adalah kerja sama operasi atau teknologi yang mencakup pemanfaatan sumur-sumur tidak aktif (idle wells), sumur produksi (production wells), hingga lapangan minyak yang belum tergarap optimal (idle fields).
Kedua, bentuk kerja sama produksi untuk pengelolaan sumur minyak yang dilakukan oleh BUMD atau koperasi, yang melibatkan langsung partisipasi masyarakat di wilayah sekitar. Ketiga, pengusahaan terhadap sumur tua yang telah lebih dahulu diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 1 Tahun 2008.
Khusus untuk sumur minyak yang selama ini dikelola masyarakat secara mandiri dan ilegal, skema kerja sama poin kedua akan menjadi acuan utama.
“Nantinya kegiatan sumur masyarakat akan dipayungi di bawah BUMD atau koperasi, yang selanjutnya akan melakukan kemitraan dengan KKKS, sehingga tetap berada di bawah naungan kontrak kerja sama migas dan sesuai dengan Undang-Undang Migas,” terang Tri.
Masa Transisi Selama Empat Tahun
Dalam penerapannya, kerja sama antara koperasi atau BUMD dengan KKKS akan berlaku dalam periode penanganan sementara selama empat tahun. Dalam masa ini, dilakukan pembinaan dan peningkatan kualitas pengelolaan agar sesuai dengan praktik rekayasa teknik terbaik atau Good Engineering Practices (GEP).
Selama masa empat tahun ini pula, tidak diperkenankan adanya tambahan sumur baru. Jika ditemukan pelanggaran, maka akan diterapkan sanksi hukum tegas, termasuk kemungkinan penghentian kegiatan.
“Jika dalam empat tahun tersebut tidak ada perbaikan signifikan, maka akan dilakukan penghentian kegiatan atau penegakan hukum,” kata Tri.
Ia menambahkan, pendekatan ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produksi migas nasional, tetapi juga memberikan kepastian hukum bagi masyarakat yang selama ini terlibat dalam kegiatan pengeboran minyak secara tradisional dan ilegal.
Inventarisasi Sumur Ilegal Dipercepat
Sebagai tahap awal implementasi regulasi ini, ESDM akan melakukan inventarisasi terhadap sumur-sumur minyak masyarakat yang potensial untuk dilegalkan dan dikelola melalui skema kerja sama. Proses ini ditargetkan selesai dalam waktu cepat, maksimal 1 hingga 1,5 bulan ke depan.
“Perlu kita lakukan inventarisasi sumur minyak masyarakat yang boleh dilakukan kerja sama produksi minyak melalui BUMN atau koperasi. Ini kita percepat, mudah-mudahan dalam waktu 1-1,5 bulan bisa kita selesaikan,” jelas Tri.
Dorong Ketahanan Energi dan Pengurangan Dampak Sosial
Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mempercepat ketahanan energi nasional. Selain itu, regulasi juga ditujukan untuk mengurangi dampak lingkungan dan sosial dari aktivitas tambang ilegal, serta memberi ruang partisipatif kepada masyarakat dalam tata kelola energi.
Melalui skema kemitraan resmi ini, pemerintah berharap kegiatan eksplorasi dan produksi minyak oleh masyarakat tidak lagi berada dalam wilayah abu-abu hukum, melainkan terintegrasi dalam sistem nasional yang transparan dan berkelanjutan.