JAKARTA - Pemerintah Indonesia mengambil langkah strategis untuk menanggulangi defisit perdagangan dengan Amerika Serikat (AS) melalui peningkatan alokasi impor dari sektor energi dan agrikultur. Langkah ini dinilai mampu menutup kesenjangan dalam neraca perdagangan kedua negara, yang sebelumnya cenderung menguntungkan pihak AS.
Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Susiwijono Moegiarso, menyatakan bahwa penambahan impor dari dua sektor tersebut sudah cukup untuk menyeimbangkan perdagangan Indonesia dengan AS. “Dari energi dan agrikultur saja sudah cukup untuk tutup defisitnya,” ungkap Susiwijono kepada wartawan pada Rabu, 30 April 2025.
Indonesia, yang selama ini dikenal dengan surplus perdagangan dengan beberapa negara besar, berhadapan dengan tantangan dalam menjaga keseimbangan perdagangan dengan AS, yang kerap mengalami surplus terhadap Indonesia. Untuk itu, sektor energi dan agrikultur menjadi tawaran utama dalam negosiasi antara kedua negara.
Penambahan Impor Energi dan Agrikultur: Solusi Mengurangi Defisit
Alokasi impor yang lebih besar untuk sektor energi seperti minyak mentah dan gas LPG, serta komoditas agrikultur seperti kedelai dan kapas, menjadi prioritas pemerintah Indonesia. Langkah ini juga melibatkan relokasi impor dari negara-negara lain yang selama ini menjadi mitra dagang Indonesia.
Susiwijono menjelaskan, “Komoditas seperti minyak mentah, gas LPG, kedelai, hingga kapas merupakan komoditas yang diusulkan oleh Indonesia. Penambahan impor ini sudah menunjukkan dampaknya dalam mengurangi defisit perdagangan dengan AS.”
Langkah ini diharapkan tidak hanya membantu menutup defisit perdagangan, tetapi juga meningkatkan hubungan bilateral dengan AS. Dalam jangka panjang, hal ini dapat memperkuat posisi Indonesia dalam pasar global serta meningkatkan ketahanan ekonomi nasional melalui diversifikasi sumber impor.
Fokus pada Pembentukan Satuan Tugas Deregulasi untuk Memperbaiki Iklim Usaha
Selain memperkuat impor energi dan agrikultur, pemerintah Indonesia juga berkomitmen untuk memperbaiki iklim usaha domestik dengan membentuk satuan tugas (Satgas) deregulasi. Satgas ini bertujuan untuk memperbaiki sejumlah aturan yang terkait dengan perekonomian, termasuk pengaturan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan kuota impor.
Susiwijono menambahkan, “Satgas deregulasi ini akan melingkupi perbaikan aturan TKDN dan pengaturan kuota impor. Langkah ini tidak hanya dilakukan untuk memenuhi keinginan AS, tetapi juga untuk memperbaiki iklim usaha di dalam negeri.”
Inisiatif deregulasi diharapkan dapat mempermudah proses administrasi bagi para pelaku usaha, meningkatkan daya saing, dan menarik lebih banyak investasi asing. Dengan begitu, ekonomi Indonesia diharapkan bisa lebih berkelanjutan dan terdiversifikasi.
Impor Alutsista Belum Menjadi Fokus Pembahasan
Meski ada isu mengenai impor alutsista dari AS, Susiwijono menjelaskan bahwa pembahasan mengenai hal tersebut belum menjadi fokus dalam negosiasi dengan AS. Menurutnya, negosiasi saat ini lebih difokuskan pada sektor energi dan agrikultur yang diharapkan dapat menutup defisit perdagangan Indonesia-AS.
“Belum sampai ke sana, sudah ketutup dengan energi dan agrikultur dari USD 19 miliar itu, sudah ketutup 100 persen,” jelas Susiwijono, merujuk pada komitmen impor yang saat ini telah mencakup sektor-sektor utama yang diperlukan Indonesia.
Keputusan untuk tidak membahas alutsista dalam tahap ini menunjukkan bahwa pemerintah lebih mengutamakan sektor-sektor yang langsung berdampak pada ekonomi nasional, seperti energi dan agrikultur.
Langkah Strategis untuk Reformasi Ekonomi Jangka Panjang
Pemerintah Indonesia juga telah merencanakan serangkaian reformasi ekonomi jangka menengah dan panjang. Dengan dibentuknya Satgas deregulasi, pemerintah berharap untuk memperkenalkan kebijakan-kebijakan baru yang lebih konkret dan terukur. Beberapa kebijakan yang akan dirilis dalam waktu dekat meliputi perbaikan aturan TKDN dan kebijakan impor.
“Nanti setiap paket kebijakan akan dirilis, ada kebijakan 1 mengenai apa, kebijakan 2 mengenai apa. Jadi tahapannya jelas, konkret, dan sampai jangka menengah panjang sudah ada rencana reform-nya,” ungkap Susiwijono.
Langkah ini diharapkan dapat membantu memitigasi dampak negatif dari kebijakan perdagangan internasional yang berpotensi mempengaruhi ekonomi domestik, sekaligus memperkuat daya saing Indonesia di pasar global.