Fashion

Tren Fashion 2025: Warna Hangat, Gaya Maksimalis, dan Fesyen Berkelanjutan Makin Diminati

Tren Fashion 2025: Warna Hangat, Gaya Maksimalis, dan Fesyen Berkelanjutan Makin Diminati
Tren Fashion 2025: Warna Hangat, Gaya Maksimalis, dan Fesyen Berkelanjutan Makin Diminati

JAKARTA - Dunia mode terus bergerak dinamis, dan tahun 2025 menjadi panggung bagi tren fashion yang lebih berani, ekspresif, serta berwawasan lingkungan. Ketua Asosiasi Perancang Pengusaha Mode Indonesia (APPMI), Poppy Dharsono, memaparkan sejumlah prediksi terkait arah perkembangan industri fesyen Tanah Air tahun depan. Mulai dari warna, bahan, hingga kesadaran akan keberlanjutan menjadi perhatian utama para desainer dan pelaku industri.

“Akan ada warna hijau, orange, mocha sampai ke coffee, lalu dari red blood sampai ke red wine,” ujar Poppy Dharsono.

Warna Hangat Dominasi Runway

Poppy menjelaskan bahwa palet warna fesyen tahun 2025 akan didominasi oleh warna-warna hangat yang kaya nuansa alam. Warna hijau, oranye, maroon, hingga gradasi mocha ke coffee diprediksi akan mewarnai banyak koleksi busana. Tak hanya itu, deretan warna merah mulai dari red blood hingga red wine juga akan menjadi favorit para desainer.

Menurutnya, perubahan warna ini mencerminkan semangat yang lebih hidup dan semarak, berbeda dari tren sebelumnya yang banyak mengangkat nuansa pastel atau warna netral. Warna-warna hangat dinilai mampu merepresentasikan keberanian sekaligus kehangatan, dua hal yang dianggap merefleksikan karakter konsumen saat ini.

Peralihan Gaya dari Minimalis ke Maksimalis

Selain warna, perubahan signifikan juga akan terlihat dalam pilihan gaya busana. Jika selama beberapa tahun terakhir gaya minimalis mendominasi  dengan siluet sederhana dan warna netral – kini tren akan bergeser ke arah maksimalis. Gaya ini menonjolkan busana yang kaya ornamen, detail kompleks, hingga tampilan yang lebih ekspresif dan berani.

“Orang sudah mulai bosan dengan tampilan sederhana. Mereka sekarang ingin tampil beda dan lebih ekspresif,” ungkap Poppy.

Tren maksimalis bukan hanya sekadar gaya, melainkan juga mencerminkan perubahan psikologis masyarakat pasca-pandemi, yang cenderung ingin menunjukkan jati diri, semangat hidup, dan optimisme melalui cara berpakaian.

Kembalinya Material Denim dan Kulit

Dalam hal material, Poppy mengungkapkan bahwa bahan-bahan klasik seperti denim dan kulit akan kembali digemari. Bahan-bahan ini dinilai fleksibel, memiliki nilai estetika tinggi, dan bisa dikreasikan dalam berbagai bentuk busana.

Material kulit, misalnya, kini tidak hanya digunakan untuk jaket atau tas, tetapi juga menjadi bahan utama dalam pembuatan gaun, rok, hingga aksesoris. Sementara denim tampil lebih berani dalam berbagai potongan dan teknik pewarnaan baru.

Kesadaran Akan Fashion Berkelanjutan Meningkat

Poin penting lainnya dalam prediksi Poppy adalah meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap fesyen berkelanjutan (sustainable fashion), khususnya dari kalangan anak muda. Mereka semakin sadar pentingnya memilih produk yang ramah lingkungan, awet, dan tidak membebani bumi.

“Anak muda sekarang sudah mulai aware terhadap lingkungan, dan ini sangat positif bagi masa depan industri fesyen,” kata Poppy.

Kesadaran ini memicu pergeseran besar di sektor produksi, di mana pelaku industri mulai mencari bahan-bahan alternatif yang ramah lingkungan, serta menerapkan proses produksi yang mengurangi limbah dan emisi karbon.

Benang Bemberg, Inovasi Fesyen dari Yogyakarta

Salah satu inovasi menarik yang tengah diperkenalkan Poppy adalah pemanfaatan benang Bemberg dari Yogyakarta. Benang ini terbuat dari serat pendek biji kapas, yang biasanya menjadi limbah, namun melalui proses teknologi tinggi mampu menghasilkan kain yang berkilau seperti sutra dan sangat lembut.

“Benang Bemberg dari Jogja ini harganya di bawah katun tapi hasilnya shining dan soft seperti sutra, selain itu juga tidak ditambahkan unsur kimia,” jelasnya.

Bemberg adalah hasil kolaborasi antara perusahaan Jepang Asahi Kasei dengan Balai Besar Kerajinan dan Batik (BBKB) Yogyakarta sejak 2018. Proyek ini melibatkan perajin lokal dalam pengujian pembuatan batik dan tenun menggunakan benang tersebut. Hasilnya, kain dari Bemberg tidak hanya nyaman, tetapi juga lentur, mudah menyerap warna, dan tetap elegan.

Harga Terjangkau dan Ramah Lingkungan

Dari segi harga, benang Bemberg sangat kompetitif dibandingkan sutra. Jika harga sutra bisa mencapai Rp1,3 juta per kilogram, maka benang Bemberg hanya sekitar Rp400 ribu per kilogram. Ini membuatnya lebih terjangkau bagi para pelaku industri fesyen lokal yang ingin menghasilkan produk premium dengan biaya lebih efisien.

Selain itu, proses pembuatan benang Bemberg menggunakan sistem closed-loop, yakni seluruh limbah, air, dan bahan kimia dalam proses produksi akan dipulihkan, didaur ulang, dan digunakan kembali. Ini menjadikan benang Bemberg salah satu bahan yang sangat mendukung konsep fesyen berkelanjutan.

Pesan untuk Generasi Muda

Menutup pemaparannya, Poppy memberikan pesan kepada generasi muda untuk ikut berkontribusi dalam menjaga kelestarian lingkungan melalui cara berpakaian.

“Cintai bumi dengan memilih bahan pakaian berkualitas tinggi supaya awet dan menghindari plastik yang bisa mencemari lingkungan,” ujarnya.

Ajakan ini sejalan dengan misi APPMI yang tidak hanya mendorong kreativitas di bidang mode, tetapi juga mengedepankan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index