JAKARTA - Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan kemudahan akses gadget, ternyata ada sisi yang perlu menjadi perhatian serius, yaitu menurunnya minat baca dan kemampuan literasi anak-anak. Komunitas Mraen Mimpi hadir sebagai salah satu inisiatif yang ingin mengembalikan kecintaan anak-anak terhadap buku dan menumbuhkan budaya membaca sejak dini. Keberadaan gawai yang kini bukan barang mewah lagi, bahkan mudah dijangkau oleh anak-anak, membawa dampak yang cukup signifikan terhadap penurunan angka literasi di Indonesia.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2023 menunjukkan ada sekitar 1,15 juta penduduk usia 10 tahun ke atas yang masih buta huruf, sebagian besar dari kelompok usia produktif. Kondisi ini jelas menunjukkan ketidakseimbangan antara kemajuan teknologi dengan kemampuan membaca dan menulis masyarakat. Muhammad Sidqi Irsyadi, pegiat komunitas Mraen Mimpi, mengamati bahwa banyak anak-anak sekarang lebih memilih menggulir layar gadget daripada membalik halaman buku. Fenomena ini mendorong komunitas yang ia bina untuk terus berupaya mengatasi masalah tersebut dengan berbagai program literasi.
Mraen Mimpi, yang sudah aktif sejak 2017, rutin mengadakan kegiatan menarik seperti safari literasi gratis dan pinjam buku gratis di berbagai lokasi. Dari pengalaman mereka, ternyata banyak anak usia sekolah dasar yang belum lancar membaca. Irsyadi menjelaskan bahwa saat akan memulai kegiatan, panitia sudah dipersiapkan untuk mendampingi anak-anak yang belum bisa membaca, karena seringkali ada satu atau dua anak yang mengalami kesulitan tersebut. Bahkan, pada acara di Alun-alun Wates, orang tua sendiri yang menceritakan bahwa anak mereka belum mahir membaca.
Menurut Irsyadi, pemakaian gadget yang berlebihan menjadi salah satu penyebab utama rendahnya kemampuan membaca anak. Ia menyebutkan bahwa meskipun di kalangan ekonomi menengah ke bawah, anak-anak tetap sering bermain dengan ponsel, meski bukan milik mereka sendiri. Hal ini mengindikasikan bahwa ketergantungan pada gadget sudah menyebar luas, dan peran orang tua sangat penting dalam membatasi dan mengarahkan penggunaan gawai dengan bijak.
Irsyadi juga menyoroti pentingnya peran orang tua dalam membimbing anak-anak agar tidak hanya bergantung pada gadget sebagai hiburan semata. Kesadaran orang tua untuk belajar parenting dan mengalihkan emosi anak ke hal yang lebih positif sangat diperlukan. Data dan pengalaman Irsyadi menunjukkan bahwa anak-anak yang bermasalah dalam membaca biasanya berada di rentang usia dari taman kanak-kanak hingga kelas 3 SD, bahkan ada yang hingga kelas 4 atau 5 SD belum lancar membaca.
Saat berinteraksi langsung dengan anak-anak yang belum bisa membaca, Irsyadi dan tim Mraen Mimpi menemukan bahwa banyak dari mereka lebih tertarik melihat gambar dalam buku ketimbang memahami teks. Di sinilah peran penting fasilitator komunitas yang tidak hanya menata dan menggelar buku, tetapi juga menceritakan isi buku dan menjelaskan inti cerita agar anak-anak bisa lebih mudah memahami dan tertarik.
Salah satu upaya yang terus dijalankan oleh komunitas ini adalah program Safari Mraen Mimpi dan membuka lapak baca gratis di berbagai tempat. Safari Mraen Mimpi biasanya digelar di lokasi-lokasi yang berbeda dengan berkolaborasi bersama tuan rumah setempat, meskipun masih belum bisa berlangsung secara permanen. Selain itu, lapak baca gratis di Alun-alun Wates yang rutin diadakan setiap Minggu pagi sejak awal tahun 2025 menjadi wadah yang efektif untuk mengenalkan anak-anak pada dunia buku tanpa dipungut biaya.
Irsyadi juga menawarkan bantuan kepada siapa saja yang ingin membuka perpustakaan, baik dengan sistem pinjam buku atau donasi buku. Menurutnya, memperbanyak perpustakaan hingga ke tingkat desa dan meningkatkan jam operasionalnya menjadi 24 jam sangat penting untuk menumbuhkan kebiasaan membaca sejak dini. Dengan akses buku yang mudah dan waktu yang fleksibel, anak-anak diharapkan dapat lebih sering dan nyaman menjalin hubungan dengan buku.
“Kalau bisa perpus itu 24 jam buka. Soalnya kalau kita ditanya bukanya kapan jam berapa, kami 24 jam buka. Kita malam pun kalau ada yang datang biasanya juga welcome, gak kita tolak,” ujar Irsyadi. Selain itu, ia berharap jumlah perpustakaan bisa terus bertambah agar semakin banyak anak-anak yang bisa mengakses sumber bacaan dengan mudah.
Meningkatkan literasi anak bukan hanya soal menyediakan buku, tetapi juga bagaimana menciptakan pengalaman membaca yang menyenangkan dan bermakna. Komunitas Mraen Mimpi dengan berbagai kegiatannya berusaha menjadi jembatan antara buku dan anak-anak, agar di tengah derasnya arus digitalisasi, budaya membaca tetap tumbuh dan menjadi kebiasaan yang melekat kuat.
Dengan tantangan yang ada saat ini, terutama pengaruh gadget yang sulit dihindari, peran komunitas literasi, fasilitator, dan orang tua sangat krusial. Mraen Mimpi memberikan contoh nyata bahwa dengan kolaborasi dan perhatian yang tepat, kecintaan terhadap membaca bisa dibangkitkan kembali, membawa anak-anak Indonesia menuju masa depan yang lebih cerah melalui kekuatan literasi.