JAKARTA - Suara dentuman musik yang menggelegar dari pengeras suara besar di tengah permukiman bukan lagi hal yang asing di banyak desa dan kota kecil di Indonesia. Sound horeg, yang dulu hadir sebagai solusi hiburan dan ekspresi budaya warga setempat, kini mulai menimbulkan perdebatan serius tentang batas antara hiburan dan gangguan. Apa yang dulu dianggap sebagai tradisi yang mempersatukan komunitas, kini sering kali berujung pada ketegangan sosial dan masalah kesehatan.
Sound horeg bukan sekadar alat hiburan. Ia merupakan buah kreativitas anak-anak muda desa yang merakit sound system bertenaga besar demi memeriahkan acara-acara hajatan seperti khitanan, ulang tahun, hingga arisan. Secara ekonomi, keberadaan sound horeg juga menyumbang nilai signifikan, terutama bagi komunitas lokal. Data dari Dinas Koperasi dan UKM Jawa Tengah (2023) mencatat bahwa industri rumahan sound system ini mampu memutar ekonomi hingga Rp 37 miliar per tahun di wilayah Pantura Timur.
Di sisi lain, sound horeg juga memiliki makna budaya yang mendalam. Ia menjadi medium bagi DJ lokal untuk berkarya, penggiat remix dangdut koplo untuk menyalurkan kreativitas, serta membuka berbagai lapangan pekerjaan informal—mulai dari penyewaan perangkat hingga jasa teknisi listrik keliling. Dengan begitu, sound horeg tak hanya hiburan, tetapi juga simbol kehidupan sosial yang hidup dan dinamis.
Namun, di balik warna-warni kesenangan itu, ada fakta yang tak bisa diabaikan: tingkat kebisingan sound horeg yang kerap melampaui batas aman. Mengacu pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 48 Tahun 1996, suara yang layak di lingkungan permukiman harusnya tidak melebihi 55 desibel pada siang hari dan 50 desibel saat malam. Namun, pengukuran Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Rembang (2024) membuktikan bahwa suara sound horeg bisa mencapai 95 sampai 120 desibel—setara dengan suara pesawat lepas landas yang jelas berbahaya bagi kesehatan pendengaran dan kenyamanan warga.
Kebisingan ekstrem ini tak hanya mengganggu tidur dan aktivitas sehari-hari. Penelitian WHO (2021) memperingatkan bahwa paparan suara di atas 85 dB dalam waktu lama dapat menyebabkan kerusakan pendengaran permanen, tekanan darah tinggi, hingga stres kronis. Tidak heran jika konflik antar warga mulai bermunculan akibat keluhan terhadap suara dari hajatan dengan sound horeg. Catatan Lembaga Advokasi Sosial Rakyat (LASR) Jawa Timur selama 2022-2023 menunjukkan ada 37 kasus konflik yang dipicu masalah tersebut, bahkan beberapa berujung pada bentrokan fisik.
Regulasi yang mengatur keberadaan sound horeg pun masih sangat terbatas. Beberapa daerah mencoba mengambil inisiatif lokal seperti Perda Kabupaten Kudus Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ketertiban Umum yang melarang suara keras dari hiburan selepas pukul 22.00 WIB, namun penerapannya belum optimal dan belum merata. Hal ini memperlihatkan kebutuhan akan aturan yang lebih tegas dan seragam—baik di tingkat provinsi maupun nasional—yang menetapkan standar volume suara, durasi acara, serta kewajiban izin dan evaluasi lingkungan sebelum acara berlangsung.
Pendekatan pelarangan semata pun tidak cukup. Edukasi dan keterlibatan komunitas sound system menjadi kunci. Komunitas seperti Pecinta Sound System Indonesia (PSSI) di Pati dan Jepara sudah mengambil langkah positif dengan membuat Kode Etik Horegers yang membatasi waktu penggunaan sound hingga pukul 22.00, menggunakan pengarah suara untuk mengurangi polusi bunyi, dan melakukan uji coba suara sebelum hajatan dimulai.
Selain itu, pemerintah juga perlu menyediakan ruang hiburan alternatif yang tertib dan terkontrol, misalnya taman desa atau lapangan terbuka yang bisa digunakan sebagai tempat berkumpul dan berkreasi tanpa mengganggu warga sekitar. Dengan demikian, semangat budaya dan kreativitas tetap hidup tanpa mengorbankan kenyamanan masyarakat.
Di balik fenomena sound horeg terdapat cerita sosial yang lebih dalam. Banyak pelaku sound system ini berasal dari kalangan yang menghadapi keterbatasan dalam hal pendidikan, pekerjaan, atau prestasi lain. Karena sulit bersaing secara konvensional, mereka memilih ekspresi lewat kebisingan sebagai cara menunjukkan eksistensi diri. Ini bukan semata soal budaya, melainkan gejala frustrasi dalam masyarakat yang belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan kompetisi modern.
Fenomena serupa bisa dilihat pada event-event seperti Citayam Fashion Week yang juga menjadi panggung ekspresi yang tidak konvensional. Dalam konteks ini, masyarakat sebenarnya sedang mencari keseimbangan yang adil antara hak berekspresi dan hak untuk hidup nyaman. Dentuman musik sound horeg memang dapat menambah warna dan meramaikan suasana kampung, asal tidak sampai memekakkan nurani sosial dan mengganggu keharmonisan bersama.