JAKARTA - Di tengah ketidakpastian ekonomi global dan tekanan perdagangan internasional, sektor industri padat karya kembali mendapat perhatian khusus dari pemerintah. Dalam upaya mendorong pemulihan dan pertumbuhan sektor ini, terutama pada wilayah dengan kontribusi besar terhadap ekspor dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah meluncurkan skema pembiayaan baru yang diberi nama Kredit Industri Padat Karya (KIPK).
Salah satu wilayah yang menjadi fokus implementasi awal program ini adalah Kabupaten Jepara, yang dikenal luas sebagai sentra industri furnitur nasional. Industri furnitur Jepara tidak hanya menyimpan nilai historis dan budaya tinggi, tetapi juga memainkan peran vital dalam menyerap tenaga kerja dan menggerakkan roda ekonomi lokal. Pemerintah melalui Komite Kebijakan Pembiayaan bagi UMKM memandang perlunya dukungan strategis untuk memastikan sektor ini tetap bertahan dan berkembang, terutama di tengah dinamika pasar global yang semakin kompleks.
Untuk melihat langsung situasi industri di lapangan, Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan dan Pengembangan Usaha BUMN, Ferry Irawan, melakukan kunjungan kerja ke Jepara. Kunjungan ini bukan hanya bentuk simbolik peluncuran KIPK, tetapi juga upaya konkret untuk berdialog langsung dengan para pelaku usaha furnitur mengenai tantangan, kebutuhan, dan harapan mereka.
Dalam kunjungannya, Deputi Ferry menyambangi dua pelaku utama industri furnitur lokal, yaitu PT Talenta Java Design dan CV Garden Nia Jaya. Kedua perusahaan tersebut dikenal sebagai unit usaha padat karya yang telah menembus pasar ekspor, serta berperan besar dalam menyerap tenaga kerja di daerah. Deputi Ferry meninjau proses produksi, melihat langsung bagaimana operasional berlangsung, serta berdiskusi tentang persoalan mendasar yang dihadapi, mulai dari kebutuhan teknologi hingga keterbatasan pembiayaan.
“Kami memahami bahwa kebijakan tarif dari Amerika Serikat memberikan tekanan terhadap industri furnitur nasional, termasuk di sentra produksi seperti Jepara. Untuk itu, pemerintah hadir melalui KIPK sebagai solusi konkret agar pelaku usaha memiliki ruang pembiayaan yang fleksibel dalam menghadapi dinamika pasar global,” ungkap Deputi Ferry dalam sesi dialog bersama pelaku industri.
Pernyataan tersebut menunjukkan kepekaan pemerintah terhadap tantangan eksternal yang berdampak langsung pada industri nasional. Kebijakan tarif dari negara mitra dagang seperti Amerika Serikat memang menjadi momok bagi pelaku ekspor, khususnya furnitur yang selama ini menjadi salah satu komoditas unggulan. KIPK hadir untuk merespons kondisi tersebut secara taktis.
Berbeda dari skema pembiayaan umum lainnya, KIPK dirancang secara khusus sebagai instrumen pembiayaan produktif berbunga rendah yang menyasar industri padat karya. Tujuannya adalah mendukung revitalisasi alat dan mesin produksi, mendorong efisiensi, serta memacu peningkatan kualitas dan kapasitas produksi. Dengan demikian, pelaku industri tidak hanya mampu bertahan, tetapi juga bisa bertransformasi ke arah yang lebih kompetitif dan berkelanjutan.
Dasar hukum dari skema ini tercantum dalam Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 4 Tahun 2025 tentang Skema Pembiayaan Produktif bagi Industri Padat Karya, yang menjadi bagian dari kebijakan besar Komite Pembiayaan UMKM. Hal ini menegaskan bahwa KIPK tidak berdiri sendiri, melainkan bagian dari strategi makro pemerintah dalam mendorong sektor riil.
Pemerintah juga menaruh harapan besar agar KIPK dapat menjadi pendorong utama modernisasi industri. Dalam hal ini, modernisasi tidak hanya dimaknai sebagai pembaruan peralatan semata, tetapi juga menyangkut perbaikan manajemen usaha, adopsi teknologi baru, dan pengembangan sumber daya manusia. Keberhasilan modernisasi diharapkan membawa industri padat karya naik kelas dan lebih siap bersaing di pasar internasional.
“Kita tidak bisa bergantung pada satu pasar. Industri harus diperkuat dari sisi produktivitas dan efisiensi, sementara pemerintah memberikan dukungan konkret lewat kebijakan dan pembiayaan,” tambah Deputi Ferry.
Pernyataan ini menggambarkan arah strategis pemerintah yang tidak ingin pelaku industri terjebak dalam ketergantungan pada satu pasar ekspor, seperti Amerika Serikat, tetapi juga berupaya mendorong diversifikasi pasar. Dalam konteks globalisasi yang semakin tak pasti, strategi semacam ini mutlak diperlukan demi menjaga keberlangsungan industri nasional.
Jepara, dengan segala potensi dan warisan industri furniturnya, menjadi simbol penting dari upaya revitalisasi industri padat karya di Indonesia. Dukungan dari pemerintah pusat melalui KIPK diharapkan mampu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri pelaku usaha, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam rantai nilai industri furnitur global.
Langkah ini juga menjadi wujud nyata keberpihakan pemerintah terhadap sektor yang selama ini menjadi penyerap tenaga kerja skala besar, terutama di daerah-daerah yang memiliki basis industri rumah tangga dan UMKM. Dengan pembiayaan yang terjangkau, fleksibel, dan tepat guna, pelaku usaha tidak lagi kesulitan dalam melakukan investasi peningkatan kapasitas.
Lebih dari sekadar program finansial, KIPK membawa misi sosial dan ekonomi sekaligus, yakni menjadikan industri padat karya sebagai garda depan pemulihan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja di tengah tantangan global. Dengan komitmen pemerintah dan kolaborasi bersama pelaku usaha, harapan besar pun kembali menyala dari Jepara, untuk Indonesia.