JAKARTA - Di tengah tekanan produktivitas dan hiruk-pikuk digital yang kian menyita perhatian, banyak individu kini mencari cara untuk kembali menyentuh sisi otentik dari dirinya. Salah satu jalur yang kian populer untuk mencapai hal itu adalah melalui aktivitas bersepeda atau yang akrab disebut gowes. Bukan hanya sekadar olahraga fisik, gowes telah menjadi bentuk komunikasi diri di era yang serba cepat dan terkoneksi.
Aktivitas ini menyentuh lebih dari sekadar kebugaran; ia hadir sebagai ruang jeda yang memungkinkan manusia untuk hadir secara penuh, memahami diri, dan terkoneksi secara lebih manusiawi dengan lingkungan sekitarnya. Lewat kayuhan yang konsisten, banyak orang merasa mampu menemukan kembali pusat dirinya, bahkan menegaskan keberadaannya di ruang sosial maupun digital.
Sudut Pandang Ilmu Komunikasi terhadap Eksistensi Melalui Gowes
Dalam kajian ilmu komunikasi, eksistensi tidak hanya diartikan sebagai keberadaan, melainkan juga bagaimana seseorang menyampaikan dan menegaskan kehadirannya kepada dunia. Gowes menjadi sarana yang menyatukan proses komunikasi intrapersonal dan interpersonal secara bersamaan. Aktivitas ini bukan sekadar rutinitas pembakaran kalori, tapi juga sarana seseorang mengafirmasi siapa dirinya melalui refleksi dalam dan penampilan luar.
Self-concept dan self-presentation adalah dua konsep yang dijelaskan oleh Joseph A. DeVito untuk memahami cara manusia membentuk dan menampilkan diri. Dalam proses gowes, seseorang membangun citra sebagai pribadi aktif, sehat, serta penuh semangat hidup. Dalam lensa dramaturgi Erving Goffman, kehidupan sosial layaknya panggung tempat individu memainkan peran. Ketika seorang pesepeda membagikan rute tempuhnya atau foto estetik dari perjalanannya di media sosial, ia sedang menyusun naskah panggung personal untuk menunjukkan nilai dan identitas tertentu.
Gowes tidak lagi sekadar kegiatan rekreasi; ia menjadi bagian dari skrip kehidupan yang disusun dan ditayangkan kepada publik digital sebagai bentuk komunikasi eksistensial yang kian relevan.
Komunitas Gowes dan Makna dalam Interaksi Sosial
Tidak semua ekspresi diri melalui gowes bersifat individual. Banyak yang memilih bergabung dengan komunitas gowes yang tersebar di berbagai kota, dari yang berbasis wilayah hingga komunitas berbasis minat khusus. Dalam ranah komunikasi kelompok, komunitas gowes memainkan peran penting sebagai ruang interaksi sosial yang memberi dukungan psikologis, motivasi, serta validasi identitas.
Penelitian dari Xu, Yuan, dan Li (2019) menunjukkan bahwa aktivitas bersepeda memberi dampak signifikan terhadap kesejahteraan psikologis, termasuk rasa percaya diri dan interaksi sosial yang lebih positif. Manfaat rekreasi yang didapat dari bersepeda bukan hanya soal fisik, tetapi juga emosional dan sosial.
Dalam komunitas gowes, proses komunikasi bisa hadir dalam berbagai bentuk: menyusun rute bareng, saling menyemangati selama perjalanan, hingga berbagi cerita tentang pencapaian pribadi. Setiap interaksi ini memperkuat rasa dimiliki dan membentuk ikatan kolektif yang bermakna. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa komunitas gowes adalah cermin sosial tempat seseorang menemukan dan meneguhkan kembali identitas dirinya.
Jejak Digital dan Eksistensi dalam Ruang Maya
Era digital membuat segala bentuk aktivitas mudah terdokumentasi dan tersebar luas. Bersepeda pun tak lepas dari fenomena ini. Aplikasi seperti Strava, Komoot, dan Garmin Connect menjadi ruang baru di mana para pesepeda dapat memetakan, membandingkan, dan membagikan aktivitas gowes mereka. Kegiatan ini bukan hanya soal berbagi data, tapi juga tentang mengukir eksistensi dalam lanskap digital.
Laporan Strava Year in Sport 2023 mencatat bahwa Indonesia termasuk dalam sepuluh besar negara dengan pertumbuhan pengguna tercepat. Fakta ini memperlihatkan antusiasme masyarakat terhadap penggabungan aktivitas fisik dengan pelacakan digital.
Dalam ranah computer-mediated communication, unggahan hasil bersepeda adalah bentuk pesan simbolik. Setiap peta rute, statistik kecepatan, atau foto dengan latar alam menjadi cara individu menyampaikan siapa dirinya kepada dunia. Namun, seperti diingatkan oleh Sherry Turkle dalam Alone Together, eksistensi digital terkadang menipu dan menghasilkan koneksi semu. Karena itu, penting untuk menempatkan dokumentasi gowes sebagai refleksi jujur, bukan sekadar alat pencitraan sosial.
Identitas yang Terus Bergerak dalam Setiap Kayuhan
Gowes bukan hanya medium untuk berpindah tempat, tetapi juga sarana untuk berpindah kesadaran. Ia menjadi jalan bagi banyak orang untuk keluar dari rutinitas dan tekanan kehidupan modern, lalu masuk ke dalam ruang refleksi dan kesadaran diri. Kayuhan sepeda sering kali menjadi perjalanan ke dalam, bukan sekadar perjalanan ke luar.
Aktivitas ini menyentuh tiga dimensi utama: refleksi diri, interaksi sosial, dan ekspresi digital. Dalam setiap kayuhan, seseorang tidak hanya bergerak ke tempat tujuan, tetapi juga membangun jembatan komunikasi baik dengan dirinya sendiri maupun dengan dunia di sekitarnya.