JAKARTA - Pergeseran menuju energi bersih bukan hanya sekadar memenuhi komitmen internasional, tetapi merupakan strategi pembangunan yang menyasar akar ketahanan ekonomi nasional terutama dari desa. Indonesia kini menatap masa depan yang lebih mandiri dan berkelanjutan dengan mempercepat transisi energi sebagai tumpuan utama. Pemerintah menunjukkan keseriusannya dalam menjadikan energi hijau sebagai penggerak utama desa mandiri energi dan swasembada nasional.
Di bawah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, langkah percepatan ini semakin nyata. Pemerintah menilai bahwa ketahanan energi yang berbasis sumber daya terbarukan adalah jawaban atas tantangan perubahan iklim yang mengancam berbagai sektor kehidupan, termasuk ekonomi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pedesaan.
“Mayoritas masyarakat Indonesia tinggal di wilayah pesisir yang sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim. Ini bukan sekadar isu global, tapi sudah menjadi kenyataan yang mengancam perekonomian kita. Bila tidak ditangani serius, dampaknya bisa menekan PDB hingga lebih dari 6% pada tahun 2060,” ungkap Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam sebuah forum diskusi energi hijau di Jakarta.
Peringatan tersebut menggambarkan urgensi yang tidak bisa ditunda lagi. Kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim harus ditangani dengan upaya sistematis dan berskala nasional. Pemerintah pun menjadikan transisi energi sebagai bagian dari solusi jangka panjang yang berkelanjutan.
Enam Pilar Strategis Transisi Energi
Menjawab tantangan ini, Indonesia telah menyiapkan peta jalan menuju Net Zero Emission (NZE). Peta ini dibangun di atas enam pilar strategis yang menjadi fondasi transformasi energi nasional. Menko Airlangga menyebut enam pilar itu mencakup:
Pengembangan Energi Baru dan Terbarukan (EBT),
Elektrifikasi sektor transportasi dan industri,
Peningkatan efisiensi energi,
Implementasi teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS),
Penguatan teknologi energi bersih, serta
Reformasi kebijakan energi nasional.
Potensi EBT Indonesia yang diperkirakan melebihi 1.000 GW membuka peluang untuk menjadi pemimpin regional dalam transisi energi. Proyek ambisius seperti Green Super Grid sepanjang 70.000 kilometer diharapkan mampu mendistribusikan listrik dari sumber EBT di daerah terpencil ke pusat konsumsi energi—baik domestik maupun untuk ekspor.
Bioenergi dan Hilirisasi Jadi Katalis Daerah
Upaya mendorong bauran energi juga terus memperlihatkan hasil signifikan. Capaian bioenergi Indonesia yang sudah menyentuh angka 14,1% dari total bauran energi menunjukkan kemajuan yang berarti. Pemerintah terus menargetkan angka 23% pada 2025.
Lebih dari itu, hilirisasi industri hijau menjadi katalis pertumbuhan ekonomi daerah. Desa bukan lagi hanya penerima energi, tapi juga berpotensi menjadi pusat produksi energi bersih.
“Kalau desa-desa bisa menjadi desa mandiri energi, maka kita akan lihat tumbuhnya industri panel surya, kabel, hingga lapangan kerja baru. Ini bukan hanya tentang energi, tapi tentang kemandirian ekonomi nasional,” ujar Airlangga.
Dengan penguatan ekosistem desa energi, Indonesia ingin menciptakan efek ganda. Di satu sisi memperluas akses energi bersih, di sisi lain membuka ruang baru bagi pertumbuhan ekonomi berbasis lingkungan yang berkelanjutan.
Pembiayaan Inklusif dan Peran Swasta
Namun, transisi ini tentu tidak murah. Airlangga mengakui bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta peran BUMN hanya mampu menutupi sekitar 30% kebutuhan pembiayaan transisi energi nasional. Oleh karena itu, pembiayaan alternatif sangat dibutuhkan, termasuk:
Partisipasi investasi swasta,
Penerbitan green bonds,
Blended finance,
Dan kolaborasi melalui skema internasional seperti Just Energy Transition Partnership (JETP) serta Asia Zero Emission Community (AZEC).
Pembukaan ruang bagi kolaborasi pembiayaan ini penting agar transisi energi bisa berjalan lebih cepat dan merata ke seluruh wilayah Indonesia.
SDM Hijau: Kunci Masa Depan
Transisi energi juga menyangkut kesiapan manusia yang akan mengelolanya. Maka, tidak cukup hanya membangun infrastruktur dan menarik investasi, tetapi juga membangun kapasitas sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni di sektor hijau.
Pemerintah menargetkan peningkatan proporsi tenaga kerja hijau hingga 3% dari total angkatan kerja nasional pada 2029. Untuk mencapainya, sejumlah langkah telah dirancang, antara lain:
Pemetaan kompetensi hijau nasional,
Penyesuaian kurikulum pendidikan vokasi,
Pembangunan pusat pelatihan tenaga kerja hijau di daerah penghasil energi,
Penguatan kapasitas tenaga pengajar,
Dan integrasi data nasional tenaga kerja hijau.
Seluruh upaya ini diharapkan menciptakan ekosistem sumber daya manusia yang mampu mengakselerasi agenda transisi energi secara nasional.
Sinergi Lintas Sektor Jadi Penentu
Menutup pemaparannya, Menko Airlangga menegaskan bahwa semangat kolaborasi lintas sektor dan lintas generasi menjadi kekuatan utama dalam menyukseskan transformasi energi nasional.
“Dengan dorongan dari semua pihak, kita bisa menjadikan transisi energi sebagai momentum untuk mewujudkan Indonesia yang tangguh, mandiri, hijau, dan adil bagi seluruh rakyatnya,” ujarnya.
Langkah-langkah strategis ini menunjukkan bahwa transisi energi bukan semata agenda pemerintah, tetapi proyek nasional yang memerlukan sinergi dari semua lapisan masyarakat dari desa hingga kota, dari individu hingga korporasi.