JAKARTA - Gejolak geopolitik dan dinamika kerja sama ekonomi internasional kembali memberi dampak signifikan pada pasar energi global. Harga minyak dunia mengalami lonjakan sekitar 2% pada perdagangan Senin, 28 Juli 2025, dipicu kombinasi antara pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terkait konflik Rusia-Ukraina dan terobosan kesepakatan dagang antara AS dan Uni Eropa.
Penguatan harga minyak ini dinilai sebagai reaksi pasar terhadap berbagai peristiwa politik dan ekonomi yang saling terkait, sekaligus mencerminkan betapa rapuhnya stabilitas harga komoditas energi dalam situasi ketidakpastian global.
Berdasarkan laporan Reuters, harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan US$ 1,6 atau 2,3% ke level US$ 70,04 per barel — angka tertinggi dalam sepuluh hari terakhir. Sementara itu, West Texas Intermediate (WTI) turut menguat sebesar US$ 1,55 atau 2,4% ke posisi US$ 66,71 per barel.
Pendorong utama dari lonjakan ini berasal dari pengumuman Presiden AS Donald Trump yang mempercepat tenggat waktu bagi Rusia untuk mengakhiri perang di Ukraina. Jika sebelumnya tenggat yang diberikan adalah 50 hari, kini dipangkas menjadi hanya 10 hingga 12 hari. Trump menegaskan bahwa kegagalan Rusia untuk menarik diri akan memicu sanksi tambahan.
Langkah ini dipandang sebagai peningkatan tekanan terhadap Moskow, yang pada gilirannya menimbulkan kecemasan pasar atas potensi gangguan pasokan energi global, terutama dari kawasan Eropa Timur.
“Pernyataan ini langsung mendongkrak harga minyak, karena menambah ketegangan geopolitik di pasar energi global,” tulis laporan tersebut.
Namun bukan hanya ketegangan politik yang mempengaruhi pergerakan harga. Kesepakatan dagang yang tercapai antara AS dan Uni Eropa juga menjadi faktor utama yang mendongkrak sentimen positif di pasar energi dan keuangan.
Dalam kesepakatan tersebut, AS akan menetapkan tarif impor sebesar 15% untuk sebagian besar produk dari Eropa. Sebagai imbalannya, Uni Eropa berkomitmen untuk membeli energi dari AS senilai US$ 750 miliar dalam beberapa tahun ke depan. Ini menjadi langkah signifikan dalam strategi diversifikasi energi di Eropa yang selama ini bergantung pada pasokan dari Rusia.
"Kesepakatan ini memberi dorongan besar bagi produsen energi AS, sekaligus menekan Rusia agar mau berunding," ujar Phil Flynn, analis senior di Price Futures Group. Ia menilai bahwa kesepakatan dagang ini tak hanya menguntungkan pelaku industri AS, tetapi juga memiliki implikasi geopolitik yang luas.
Analis pasar di IG, Tony Sycamore, turut menyatakan bahwa prospek perpanjangan jeda tarif antara AS dan China juga mendukung sentimen positif pasar secara umum. Ia melihat adanya tren pemulihan dalam kerja sama internasional yang memberi kelegaan bagi pelaku pasar energi.
Namun demikian, tidak semua analis melihat perkembangan ini secara optimistis. Tamas Varga, analis dari PVM, menyebut bahwa walaupun kesepakatan AS-Uni Eropa mampu mengurangi ketidakpastian, beberapa faktor tetap menekan harga minyak secara struktural. Ia menggarisbawahi penguatan nilai tukar dolar AS serta turunnya impor minyak dari India sebagai faktor-faktor yang perlu diwaspadai dalam jangka menengah.
Di sisi lain, dari sektor pasokan, perhatian pasar juga tertuju pada langkah-langkah yang diambil oleh OPEC+. Panel organisasi negara-negara pengekspor minyak itu menekankan kembali pentingnya kepatuhan penuh terhadap kesepakatan pembatasan produksi. Delapan negara anggota OPEC+ dijadwalkan bertemu pada Minggu (3/8/2025) untuk mempertimbangkan langkah selanjutnya, termasuk potensi kenaikan produksi pada bulan September.
Menurut proyeksi dari ING, OPEC+ kemungkinan besar akan merampungkan pengembalian pasokan tambahan secara sukarela sebesar 2,2 juta barel per hari (bph) sebelum akhir September. Jika rencana ini berjalan mulus, maka pasar bisa kembali mendapat kepastian mengenai ketersediaan pasokan dalam beberapa bulan ke depan.
Kondisi pasar saat ini memperlihatkan sensitivitas tinggi terhadap isu geopolitik dan kebijakan internasional. Harga minyak, yang selama ini sangat dipengaruhi oleh fundamental pasokan dan permintaan, kini juga bergerak mengikuti dinamika politik dan diplomasi global.
Kenaikan harga minyak yang terjadi bukan hanya mencerminkan respons pasar terhadap perubahan kebijakan, tetapi juga sinyal bahwa sektor energi masih berada dalam tekanan besar akibat ketegangan global yang belum juga mereda.
Kombinasi antara diplomasi ekonomi dan ancaman konflik membuat arah pasar menjadi sulit diprediksi. Di tengah ketidakpastian ini, investor dan pelaku pasar global akan terus mencermati pernyataan para pemimpin dunia dan pertemuan organisasi energi seperti OPEC+, yang dapat menjadi petunjuk penting arah harga komoditas energi di masa mendatang.