Nikel

Panen Nikel Ramah Lingkungan Lewat Phytomining

Panen Nikel Ramah Lingkungan Lewat Phytomining
Panen Nikel Ramah Lingkungan Lewat Phytomining

JAKARTA - Dominasi Indonesia dalam kepemilikan cadangan nikel global bukan lagi rahasia. Namun, di balik potensi besar tersebut, tantangan terhadap keberlanjutan lingkungan terus menjadi perhatian utama. Kini, pendekatan alternatif melalui phytomining mulai dilirik sebagai solusi untuk menyeimbangkan eksploitasi sumber daya alam dengan pelestarian lingkungan.

Dengan cadangan nikel mencapai 55 juta metrik ton (MT) terbesar di dunia Indonesia berada di posisi strategis untuk memimpin peralihan industri tambang menuju arah yang lebih ramah lingkungan. Sebagai pembanding, Filipina memiliki cadangan sekitar 4,8 juta MT, sementara Australia dan New Caledonia berada di posisi selatan khatulistiwa sebagai pesaing utama dalam sektor ini. Data dari Kepmen ESDM No 228.K/MB.03/MEM.G/2025 mengungkapkan bahwa Indonesia memiliki cadangan bijih nikel terkira sebesar 3,8 miliar ton dan cadangan terbukti sebesar 2 miliar ton.

Namun demikian, pendekatan konvensional dalam pertambangan nikel selama ini kerap menuai kritik karena dampaknya terhadap lingkungan. Oleh karena itu, munculnya teknologi phytomining sebagai opsi penambangan nikel dengan dampak lingkungan minimal menjadi sorotan penting dalam wacana pertambangan masa depan.

Phytomining merupakan metode ekstraksi logam dari tanah dengan memanfaatkan tanaman hyperaccumulator. Tanaman ini memiliki kemampuan menyerap logam berat seperti nikel melalui akarnya, lalu menyimpannya dalam jaringan tubuh seperti daun dan batang. Teknik ini secara teori memungkinkan panen logam tanpa harus menggali, mengupas, atau menghancurkan tanah secara besar-besaran seperti dalam praktik tambang biasa.

Tenaga Profesional Bidang Sumber Kekayaan Alam Lemhannas RI, Edi Permadi, menyatakan bahwa phytomining dapat menjadi solusi masa depan yang sejalan dengan prinsip pertambangan hijau. “Dengan produksi dan cadangan sebesar itu, kita tidak boleh abai terhadap praktik pertambangan yang bertanggung jawab. Perlu pendekatan hijau dan berkelanjutan agar nikel tetap bisa dinikmati generasi mendatang,” ujar Edi dalam keterangan tertulis di Jakarta.

Produksi bijih nikel Indonesia yang mencapai 173,6 ton pada tahun 2024 telah digunakan untuk membuat berbagai produk hilir, mulai dari nikel matte, FeNi, NPI, MHP, hingga MSP. Semua hasil hilirisasi ini dimanfaatkan dalam industri stainless steel, pelapisan logam (plating), paduan berbasis nikel, dan baterai kendaraan listrik tipe NMC (nickel-manganese-cobalt).

Namun di tengah percepatan kebutuhan industri terhadap nikel khususnya untuk baterai kendaraan listrik phytomining justru membuka peluang eksploitasi sumber daya yang selama ini tidak ekonomis ditambang secara konvensional. Lokasi-lokasi dengan kandungan nikel rendah kini dapat dipertimbangkan untuk dieksplorasi secara efisien melalui pendekatan berbasis tanaman.

Beberapa jenis tanaman telah diketahui mampu menyerap nikel dalam jumlah besar. Alyssum murale dan Rinorea bengalensis, misalnya, dapat mengakumulasi nikel lebih dari 1 persen berat kering daunnya. Bahkan riset dari The University of Queensland mengungkap bahwa pohon Pycnandra acuminata asal New Caledonia menghasilkan getah berwarna hijau kebiruan dengan kandungan nikel mencapai 25,7 persen—angka yang bahkan melampaui kadar beberapa bijih nikel laterit.

Menurut Edi, potensi phytomining di Indonesia tidak hanya terletak pada keberadaan jenis tanaman metallophyte, tetapi juga karena metode ini mendukung remediasi tanah tercemar dan mendekatkan Indonesia pada target Net Zero Carbon. “Diperlukan pendekatan hexahelix—kerja sama antara industri, akademisi, pemerintah, masyarakat, media, dan regulator. Jika sinergi ini terbangun, maka riset bisa difokuskan untuk menghasilkan teknologi phytomining yang komersial dan berkelanjutan,” jelasnya.

Edi juga menegaskan pentingnya keterlibatan multidisiplin dalam pengembangan phytomining. Keberhasilan metode ini tidak bisa dilepaskan dari kolaborasi antara bidang pertanian, geologi, metalurgi, kimia, hingga rekayasa proses. Semua itu harus berjalan seiring dengan penerapan prinsip Environmental, Social, and Governance (ESG) agar tidak hanya berorientasi pada keuntungan ekonomi semata.

“Konsep ini sejalan dengan amanat konstitusi dan cita-cita pembangunan nasional untuk memanfaatkan kekayaan alam sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat,” tambahnya.

Seiring berkembangnya kebutuhan global akan energi bersih dan material baterai, keberadaan teknologi seperti phytomining bisa menjadi penentu arah masa depan sektor pertambangan. Tidak hanya Indonesia, negara-negara dengan potensi cadangan logam serupa juga diperkirakan akan mulai melirik metode ini sebagai alternatif yang menjanjikan.

Dengan dukungan penuh terhadap riset, kebijakan pemerintah yang adaptif, serta keterlibatan semua pihak terkait, phytomining dapat menjadi batu loncatan menuju pertambangan yang tidak hanya produktif, tetapi juga lestari. Jika berhasil diimplementasikan secara luas, Indonesia bukan hanya akan dikenal sebagai pemilik cadangan nikel terbesar, tetapi juga sebagai pionir dalam inovasi tambang hijau di tingkat global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index