Industri

Industri Rokok Andalan Pajak Negara

Industri Rokok Andalan Pajak Negara
Industri Rokok Andalan Pajak Negara

JAKARTA - Di tengah tantangan pasar yang semakin berat, industri pengolahan tembakau tetap menunjukkan peran besarnya dalam menopang penerimaan pajak nasional. Meski menghadapi penurunan kinerja dan gempuran rokok ilegal, kontribusi sektor ini masih melampaui sejumlah industri besar lainnya, termasuk otomotif.

Data Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menunjukkan bahwa pada semester pertama 2025, industri pengolahan tembakau berhasil menyumbang penerimaan pajak sebesar Rp24,2 triliun. Angka ini naik 5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang berada di Rp22,9 triliun.

Kontribusi tersebut bahkan jauh di atas penerimaan pajak dari sektor industri otomotif roda empat, yang hanya mencapai Rp14 triliun. Secara peringkat, penerimaan pajak industri rokok hanya berada sedikit di bawah industri pengolahan sawit dengan Rp29,4 triliun dan industri pengilangan minyak bumi dengan Rp27,3 triliun.

Jika penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) ikut dihitung, total kontribusi industri rokok terhadap kas negara melonjak signifikan, mendekati angka Rp130 triliun. Namun, pertumbuhan penerimaan cukai pada semester pertama 2025 tercatat hanya 6,9%. Perlambatan ini disebabkan fenomena downtrading dan tidak adanya kenaikan tarif cukai pada tahun tersebut.

Upaya pemberantasan rokok ilegal terus dilakukan. Bea Cukai menggandeng pemerintah daerah, termasuk menyasar toko-toko kelontong yang menjadi jalur distribusi. Sejumlah operasi gabungan telah membuahkan hasil, seperti penggagalan pengiriman lebih dari 150 ribu batang rokok ilegal melalui jalur ekspedisi.

Sementara itu, konfirmasi terkait proyeksi penerimaan cukai sepanjang 2025 dari pihak Bea Cukai masih belum diberikan hingga berita ini diturunkan.

Tekanan Berat Bagi Emiten Rokok

Kondisi pasar yang dipenuhi rokok ilegal menjadi tantangan serius bagi emiten rokok. Penetrasi rokok ilegal yang diperkirakan menguasai 46% pangsa pasar pada 2024 menekan volume penjualan produk legal dan memicu perang harga yang semakin ketat.

Arinda Izzaty, Junior Analyst PT Pilarmas Investindo Sekuritas, menyebut bahwa beberapa emiten besar, seperti PT HM Sampoerna Tbk. (HMSP) dan PT Gudang Garam Tbk. (GGRM), merasakan langsung dampak kontraksi pasar ini.

“Prospek saham emiten rokok seperti HMSP dan GGRM saat ini berada dalam tekanan signifikan akibat lonjakan peredaran rokok ilegal. Ini menyebabkan kontraksi pendapatan pada semester I/2025 karena menurunnya volume penjualan rokok legal dan makin ketatnya persaingan harga,” ujarnya.

Berdasarkan laporan keuangan semester pertama 2025, HMSP mencatat penurunan penjualan bersih sebesar 4,57% year-on-year (YoY) menjadi Rp55,17 triliun. Sementara itu, GGRM mengalami kontraksi pendapatan yang lebih dalam, yakni turun 11,30% YoY menjadi Rp44,37 triliun.

Menurut Arinda, masalah rokok ilegal ini bersifat struktural. Dampaknya bukan hanya bagi pendapatan emiten, tetapi juga bagi ekosistem industri secara keseluruhan, termasuk penerimaan cukai negara. Kondisi ini berpotensi memicu regulasi tambahan yang akan semakin membebani industri.

Sektor Defensif, Tapi Stagnan

Di mata investor, sektor rokok cenderung dipandang sebagai sektor defensif karena memiliki basis konsumen yang stabil. Namun, prospeknya saat ini dinilai stagnan. Penyebabnya adalah kombinasi kenaikan tarif cukai yang terus terjadi, melemahnya daya beli konsumen menengah-bawah, dan persaingan ketat di segmen harga rendah.

Meski demikian, ada emiten yang menunjukkan ketahanan relatif. HMSP, misalnya, mendapat sokongan dari induk usahanya, Philip Morris, dalam hal efisiensi dan inovasi produk. Fokus pemasaran mereka juga diarahkan ke segmen menengah-atas yang daya belinya lebih stabil.

Contoh lainnya adalah PT Wismilak Inti Makmur Tbk. (WIIM), yang dinilai lebih gesit dalam memanfaatkan peluang di segmen sigaret kretek tangan (SKT). Segmen ini memiliki struktur biaya yang lebih ringan, sehingga mampu memberikan fleksibilitas harga di tengah persaingan yang ketat.

Sebaliknya, GGRM menghadapi tantangan tambahan. Selain ketergantungan pada pasar domestik, perusahaan ini juga mengalokasikan dana besar untuk proyek non-inti seperti pembangunan Bandara Kediri, yang menyedot sumber daya dan modal cukup signifikan.

Pendapatan Lokal dan Ekspor

Data kinerja GGRM pada semester pertama 2025 menunjukkan bahwa 98,74% pendapatannya berasal dari penjualan lokal. Nilainya mencapai Rp43,81 triliun, turun 11,05% YoY. Sementara itu, penjualan ekspor yang hanya menyumbang 1,26% dari total pendapatan juga mengalami penurunan tajam sebesar 27,35% YoY menjadi Rp557,18 miliar.

Arinda menegaskan bahwa keberhasilan emiten rokok dalam beberapa tahun ke depan akan sangat dipengaruhi oleh tiga faktor utama: efektivitas pemberantasan rokok ilegal, arah kebijakan cukai, dan kemampuan menjaga volume penjualan serta margin keuntungan melalui efisiensi operasional dan inovasi produk.

Selain itu, diversifikasi produk menjadi salah satu opsi yang mulai dilirik pelaku industri. “Beberapa perusahaan rokok mulai beralih kepada rokok elektrik sebagai bagian dari diversifikasi bisnis. Mau tidak mau, perusahaan rokok harus mengikuti perkembangan zaman,” pungkas Arinda.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index