JAKARTA - Upaya menghadirkan transportasi yang ramah bagi kalangan kecil di pedesaan kembali mendapat perhatian. PT Kereta Api Indonesia (KAI) menggagas Kereta Petani–Pedagang sebagai bentuk empati kepada masyarakat desa yang menggantungkan hidup dari hasil bumi dan barang dagangan. Kehadiran layanan ini diharapkan bukan hanya mempermudah distribusi produk ke perkotaan, melainkan juga menggerakkan perekonomian desa sekaligus menahan laju urbanisasi.
Akses distribusi hasil bumi
Sejak lama, petani dan pedagang dari daerah sekitar Jakarta sudah memanfaatkan moda kereta untuk membawa hasil bumi maupun makanan siap jual ke pusat-pusat niaga. Ada yang datang dari barat menggunakan KRL Jabodetabek, ada pula dari timur dengan KA Lokal Purwakarta–Kota. Mereka biasanya menuju pasar tradisional besar, khususnya Pasar Tanah Abang.
Namun, seiring perubahan layanan kereta, ruang gerak para pedagang semakin terbatas. Misalnya, ketika jalur KRL diperpanjang hingga Rangkasbitung, petani dan pedagang beralih menggunakan KRL, tetapi tidak seleluasa sebelumnya. Padahal, aktivitas ini telah berlangsung lebih dari dua dekade.
Ketua Forum Transportasi Jalan dan Perkeretaapian MTI, Aditya Dwi Laksana, menegaskan bahwa kereta untuk petani–pedagang bukanlah hal baru. “Pada masa Hindia Belanda hingga awal kemerdekaan, sudah ada trem yang disebut pikoenlanwagen, kereta khusus untuk pedagang. Bahkan, PJKA pernah mengoperasikan KA Pasar dan KA campuran kereta penumpang dengan gerbong barang,” ujarnya.
Menghidupkan kembali tradisi lama
Sejarah menunjukkan bahwa kereta sempat digunakan untuk mengangkut hasil pertanian bahkan hewan ternak. Di lintas Rangkasbitung–Tanah Abang, kambing dan ayam pernah diangkut sebelum aturan larangan diberlakukan. Pada masa lalu, sapi pun diangkut dengan gerbong khusus ternak, dengan peron di beberapa stasiun seperti Tuntang (Kabupaten Semarang) hingga Cipinang di Jakarta. Kini, semuanya berganti menggunakan truk dan pick-up.
Inspirasi serupa bisa dilihat di China. Meski negara itu sudah memiliki kereta cepat, kereta lambat (slow train) tetap dipertahankan. Kereta ini berhenti di setiap stasiun kecil, memberi ruang bagi petani membawa hasil panen mereka ke kota dengan harga tiket murah. Model ini dianggap mampu menjaga keseimbangan antara desa dan kota.
Permintaan tinggi dari petani dan pedagang
Fakta di lapangan menunjukkan kebutuhan yang besar. Setiap pagi sejak pukul 04.00 WIB, para petani dan pedagang dari Stasiun Rangkasbitung dan sekitarnya berangkat membawa pisang, ketela, cabai, jagung, jengkol, hingga sayur-mayur. Pedagang makanan ikut serta dengan membawa nasi uduk, lemang, kacang rebus, hingga pukis. Barang-barang tersebut dijajarkan rapi di peron dua jam sebelum kereta berhenti, lalu dalam waktu dua menit segera masuk ke gerbong.
Mereka berangkat dari berbagai stasiun, mulai dari Citeras, Maja, hingga Tenjo. Tujuan terbesar tetap Tanah Abang, walaupun sebagian ada yang melanjutkan hingga Manggarai. Bagi desa yang jauh dari stasiun, sejumlah petani memilih menginap di stasiun sejak tengah malam, agar tidak ketinggalan kereta pertama—satu-satunya yang diperbolehkan mengangkut barang dalam jumlah besar.
Tantangan dan pola aktivitas
Mobilitas ini sudah berlangsung puluhan tahun. Namun, jadwal dan kapasitas kereta yang terbatas membuat sebagian pedagang harus mencari moda alternatif seperti mobil pik-up. Aktivitas juga menurun di hari Jumat karena para pedagang pria menjalankan ibadah shalat Jumat, sementara puncaknya terjadi di Selasa hingga Kamis.
Dari sisi pendapatan, omzet harian yang diperoleh berkisar Rp250 ribu hingga Rp800 ribu, dengan keuntungan bersih minimal Rp100 ribu. Bagi banyak keluarga desa, angka ini cukup menopang kebutuhan sehari-hari tanpa harus meninggalkan kampung halaman.
Manfaat kereta khusus petani pedagang
Keberadaan kereta khusus akan memberi banyak keuntungan. Pertama, kapasitas barang bisa lebih banyak tanpa mengganggu penumpang umum. Kedua, potensi urbanisasi dapat ditekan karena petani tetap bisa menjual hasil bumi tanpa harus pindah ke kota. Ketiga, sektor ekonomi desa terdorong lebih kuat dengan akses distribusi yang lancar. Bahkan, jika memungkinkan, hewan ternak seperti ayam, bebek, atau kambing bisa kembali diangkut melalui gerbong khusus.
Selain itu, waktu henti kereta dapat diatur hingga lima menit di stasiun tertentu, hanya berhenti di titik-titik strategis yang memang potensial menaikkan atau menurunkan barang. Pola ini akan membuat perjalanan tetap efisien.
Kolaborasi lintas pihak
Gagasan ini tidak bisa dijalankan PT KAI sendirian. Perlu kolaborasi antara Direktorat Jenderal Perkeretaapian Kemenhub, pemerintah daerah, dan Kementerian Keuangan. KAI berperan menyiapkan rangkaian khusus dengan fasilitas pendukung. Kemenhub bisa mengusulkan subsidi operasional melalui DIPA, sementara pemerintah daerah menyediakan transportasi awal (first mile) agar petani mudah menjangkau stasiun terdekat.
Pemda Lebak, misalnya, dapat mengoperasikan angkutan desa gratis dengan insentif BBM bagi pengemudinya. Bahkan, pengalaman masa lalu dengan “bus pasar” di Jakarta bisa dihidupkan kembali sebagai moda last mile dari stasiun ke pasar.
Tidak kalah penting, pihak lain seperti KPAI dapat diajak berdiskusi agar layanan ini juga memperhatikan aspek sosial dan perlindungan terhadap perempuan maupun anak yang kerap ikut dalam aktivitas perdagangan.
Menuju masa depan transportasi desa–kota
Kereta Petani–Pedagang sejatinya lebih dari sekadar moda transportasi. Ia adalah jembatan sosial-ekonomi yang menyatukan desa dengan kota. Jika program ini berjalan, keberadaannya bisa diperluas ke lintas lain yang dulunya pernah ada kereta lokal, misalnya Purwakarta–Kota, Wonogiri–Purwosari, Rancaekek–Bandung, atau Sukabumi Kota.
Lebih jauh, integrasi dengan moda transportasi lain akan memperkuat mobilitas masyarakat pedesaan sekaligus menciptakan lalu lintas yang lebih tertib. Dengan demikian, PT KAI bukan hanya sekadar operator transportasi, tetapi juga agen pembangunan yang ikut menjaga keberlanjutan desa dan keseimbangan kota.