JAKARTA - Ketika teknologi digital kian menyatu dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam dunia pendidikan, muncul perdebatan panjang tentang peran gadget dalam proses belajar. Salah satu isu yang kembali mencuat adalah kebijakan larangan membawa ponsel (HP) bagi siswa sekolah dasar (SD) dan sekolah menengah pertama (SMP) yang diterapkan oleh Pemerintah Kota Bekasi.
Tujuannya sederhana: mengembalikan fokus pelajar kepada kegiatan belajar yang lebih efektif dan mengurangi potensi distraksi dari penggunaan gawai. Namun, benarkah pelarangan total terhadap penggunaan HP bisa menjadi solusi jangka panjang? Ataukah ada pendekatan yang lebih tepat guna menyeimbangkan kemajuan teknologi dan pendidikan anak?
Fokus Belajar Jadi Alasan Utama
- Baca Juga Crypto AI Meroket Usai Dukungan Resmi AS
Kebijakan ini diumumkan oleh Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, yang menegaskan bahwa larangan diberlakukan mulai tahun ajaran baru. Ia menegaskan bahwa tidak akan ada lagi siswa SD dan SMP di kota tersebut yang diperbolehkan membawa HP ke sekolah.
Langkah ini dinilai sebagai upaya konkret dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih kondusif. Selama ini, banyak pihak menilai kehadiran HP justru menjadi pengalih perhatian di dalam kelas. Bagi sebagian orangtua dan pendidik, larangan ini merupakan bentuk kontrol terhadap kebiasaan digital anak yang makin tidak terpantau.
Namun, di sisi lain, kebijakan ini juga mengundang pertanyaan: apakah pelarangan penuh memang satu-satunya cara untuk membatasi dampak negatif gawai, atau justru menutup kemungkinan anak memanfaatkan teknologi untuk hal produktif?
Penggunaan HP Tidak Selalu Merugikan
Psikolog anak, Grace Eugenia Sameve, M.A., M.Psi., memberikan perspektif yang lebih seimbang terkait hal ini. Menurutnya, penggunaan HP tidak selalu berdampak negatif jika digunakan dengan tujuan dan pengawasan yang jelas.
“Jika HP digunakan untuk membantu mencari informasi tambahan untuk materi yang sedang dibahas, tidak (mengganggu konsentrasi),” ujar Grace.
Menurutnya, yang menjadi masalah adalah ketika anak mengakses HP untuk keperluan yang tidak relevan dengan proses belajar. Notifikasi dari media sosial, permainan daring, atau bahkan rasa penasaran terhadap konten-konten hiburan bisa membuat anak terdistraksi dan tidak lagi fokus terhadap pelajaran di sekolah.
“Anak jadi tidak bisa fokus sepenuhnya karena ingin ‘menggunakan’ HP yang ada di kantong atau tasnya,” jelasnya.
Literasi Digital: Keterampilan Esensial Sejak Dini
Daripada hanya melarang, Grace menyarankan agar orangtua dan sekolah mulai membekali anak dengan pemahaman mengenai fungsi dan risiko dari penggunaan gawai. Literasi digital, menurutnya, adalah keterampilan yang penting dikenalkan sejak dini, terutama di era serba digital seperti sekarang.
Ia menegaskan bahwa pendekatan edukatif lebih penting daripada sekadar membatasi. Anak-anak perlu memahami bahwa HP adalah alat bantu, bukan sumber hiburan utama yang mendominasi keseharian mereka.
“Maka yang lebih penting adalah memahami fungsi dari penggunaan HP itu sendiri, bukan sekadar memperdebatkan boleh atau tidaknya,” tegasnya.
Pendekatan Alternatif: Batasi, Bukan Larang Total
Grace menyampaikan bahwa setiap kebijakan pasti dilatarbelakangi oleh alasan tertentu. Namun, ia juga menggarisbawahi pentingnya mengevaluasi pendekatan secara menyeluruh, termasuk mempertimbangkan pendekatan alternatif selain pelarangan total.
Beberapa solusi yang ditawarkan antara lain:
HP dititipkan kepada guru dan hanya digunakan saat pelajaran tertentu yang membutuhkan akses digital.
HP dimatikan selama jam pelajaran berlangsung, kecuali atas izin guru.
Penggunaan HP dibatasi hanya untuk aktivitas belajar yang diarahkan secara langsung oleh guru di kelas.
Model semacam ini memungkinkan kontrol tanpa harus meniadakan seluruh manfaat teknologi di lingkungan sekolah. Sekolah tetap menjadi tempat belajar yang fokus dan kondusif, namun juga memberikan ruang bagi perkembangan keterampilan digital siswa secara bertanggung jawab.
Peran Penting Orangtua dan Sekolah
Larangan membawa HP ke sekolah memang dapat menjadi langkah awal untuk membentuk kedisiplinan, tetapi hal tersebut tidak akan efektif jika tidak dibarengi dengan peran aktif dari lingkungan rumah.
Menurut Grace, orangtua perlu menjadi teladan dalam manajemen penggunaan teknologi di rumah. Anak-anak harus dikenalkan dengan kegiatan alternatif selain bermain gawai, seperti membaca, bermain di luar ruangan, atau berinteraksi secara langsung dengan keluarga.
Beberapa tips yang disarankan:
Tetapkan batas waktu screen time yang konsisten dan sesuai usia anak.
Gunakan HP hanya untuk tujuan tertentu yang disepakati bersama.
Biasakan anak dengan aktivitas non-digital untuk mengurangi ketergantungan pada gawai.
Orangtua juga harus konsisten menjalankan aturan yang sama agar anak tidak melihat kontradiksi antara apa yang dilarang dan apa yang dilakukan orang dewasa.
Melangkah ke Depan: Menciptakan Ruang Aman Digital
Dunia digital adalah realitas yang tak terelakkan. Alih-alih membentengi anak-anak dari gawai, pendekatan yang bijak adalah membimbing mereka agar dapat menggunakan teknologi secara sehat, aman, dan bertanggung jawab.
Kebijakan larangan HP di sekolah, bila diimbangi dengan pendidikan literasi digital yang komprehensif, bisa menjadi titik awal yang baik. Namun, hal itu harus dipandang sebagai bagian dari strategi jangka panjang, bukan satu-satunya solusi.
Melalui kolaborasi antara sekolah, orangtua, dan kebijakan publik yang adaptif, anak-anak bisa dibekali bukan hanya dengan ilmu pengetahuan, tetapi juga keterampilan digital yang akan mereka butuhkan di masa depan.