JAKARTA - Perubahan skema pengelolaan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memunculkan tantangan baru bagi pemerintah, khususnya dalam memenuhi target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP). Di tengah upaya menyeimbangkan antara penguatan investasi dan menjaga ketahanan fiskal, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus menghadapi potensi kekurangan penerimaan negara hingga Rp 80 triliun.
Sumber persoalan ini bermula dari keputusan untuk mengalihkan sebagian besar dividen BUMN ke Badan Pengelola Investasi Danantara, sebuah lembaga investasi milik negara yang ditugaskan untuk menghimpun dana dan memperkuat pembangunan strategis. Imbasnya, proyeksi realisasi PNBP berpotensi tidak mencapai target seperti yang sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
“Untuk PNBP dari target APBN Rp 513,6 triliun kemungkinan hanya tercapai Rp 477,2 triliun. Ini karena Rp 80 triliun dividen yang di dalam APBN awal harusnya masuk ke APBN sekarang diserahkan ke Danantara. Jadi kita kehilangan Rp 80 triliun,” ungkap Sri Mulyani saat rapat bersama Komisi XI DPR RI.
Kompensasi Melalui Sumber Penerimaan Alternatif
Meski potensi kehilangan penerimaan tersebut cukup signifikan, Sri Mulyani tidak tinggal diam. Ia menyebut, pemerintah akan melakukan berbagai langkah mitigasi untuk mengurangi defisit penerimaan. Targetnya, dari potensi kehilangan Rp 80 triliun, pemerintah hanya benar-benar kehilangan setengahnya.
“Dengan beberapa measures kita akan kurangi, mitigasi, sehingga perbedaannya mungkin hanya sekitar Rp 40 triliun. Artinya PNBP mencari tambahan penerimaan baru sebesar Rp 40 triliun sehingga koreksi Rp 80 triliun tidak seluruhnya muncul di sana,” jelasnya.
Untuk menutupi kekurangan itu, Kementerian Keuangan mendorong optimalisasi PNBP dari sektor lain. Salah satu andalan pada Semester II 2025 adalah dari pendapatan Kekayaan Negara yang Dipisahkan (KND), terutama yang bersumber dari dividen BUMN yang belum dialihkan seluruhnya ke Danantara, serta pendapatan layanan dari berbagai kementerian dan lembaga.
Namun, kondisi eksternal masih menekan sumber penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA), baik migas maupun nonmigas. Harga komoditas yang fluktuatif dan perlambatan permintaan global menjadi faktor-faktor yang harus diwaspadai, sehingga strategi penambalan PNBP harus lebih kreatif dan terukur.
Dilema: Antara Investasi Strategis dan Stabilitas Fiskal
Keputusan pemerintah mengalihkan dividen BUMN ke Danantara sejatinya bukan tanpa tujuan. Lembaga ini dibentuk untuk memperkuat basis investasi nasional yang selama ini masih tergolong rendah. Melalui Danantara, pemerintah berharap dapat menggerakkan dana investasi besar, khususnya di sektor-sektor yang memiliki dampak jangka panjang terhadap pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa investasi memiliki peran penting sebagai penggerak utama perekonomian nasional. Sumbangannya terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) cukup signifikan, yakni sekitar 28-30 persen. Sayangnya, realisasi investasi pada Kuartal I 2025 masih terbilang rendah, yakni hanya tumbuh 2,1 persen.
“Peranan Danantara akan sangat menentukan apakah investasi kita meningkat. Karena Danantara itu state-owned, kalau dominan tanpa bisa menge-attract maka yang terjadi crowding out. Kalau investasi Danantara mampu meng-attract private, maka Danantara bisa menjadi katalis,” ujar Sri Mulyani.
Dengan latar belakang itu, dirinya berharap Danantara dapat menjadi ujung tombak dalam memperbaiki laju investasi nasional. Apalagi, untuk menjaga pertumbuhan ekonomi di kisaran 5 persen, investasi harus tumbuh setidaknya di angka 4,5 hingga 4,7 persen.
Harapan Besar terhadap Danantara
Meski menimbulkan kekhawatiran dari sisi penerimaan fiskal, keberadaan Danantara tetap diyakini memiliki potensi strategis. Terbaru, lembaga ini berhasil menarik investasi asing dalam jumlah besar, yakni Rp 162 triliun dari raksasa energi asal Arab Saudi. Dana tersebut akan dialokasikan untuk berbagai sektor strategis, meskipun perinciannya belum diungkap secara mendetail.
Sri Mulyani menekankan pentingnya menjaga koordinasi antara pemerintah dan Danantara. Komunikasi intensif diperlukan untuk memastikan bahwa lembaga ini tetap sejalan dengan kebijakan fiskal nasional, serta tidak menimbulkan ketimpangan dalam struktur penerimaan negara.
“Tentu dengan dibentuknya Danantara menjadi salah satu yang diharapkan dan diandalkan untuk bisa merealisasi investasi yang signifikan,” tegasnya.
Sebagai Menteri Keuangan yang memikul tanggung jawab menjaga stabilitas fiskal, Sri Mulyani tampaknya menyadari betul bahwa keberhasilan Danantara akan sangat bergantung pada kemampuannya menggerakkan investasi swasta. Jika berhasil menjadi katalis pertumbuhan dan bukan sekadar menampung dana dividen, maka potensi kehilangan PNBP bisa dibayar dengan pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan.
Tantangan ke Depan
Meski strategi pengalihan dana ke Danantara bertujuan jangka panjang, namun realisasinya akan tetap menjadi sorotan publik dan legislatif. Banyak pihak mempertanyakan efektivitas langkah ini, mengingat PNBP selama ini menjadi salah satu pilar penerimaan negara yang cukup stabil.
Dilema ini menunjukkan bagaimana kebijakan fiskal dan investasi tidak bisa berjalan sendiri-sendiri. Keberhasilan pemerintah menjaga keseimbangan keduanya akan menjadi ujian nyata dari reformasi fiskal dan pengelolaan investasi nasional.
Di sisi lain, kekhawatiran bahwa pengalihan dividen ke Danantara bisa menimbulkan efek “crowding out” bagi investor swasta tetap harus diantisipasi. Oleh karena itu, Sri Mulyani menegaskan pentingnya memastikan bahwa Danantara tidak hanya menjadi pemilik modal besar, tapi juga market maker yang mampu menggandeng pelaku swasta.
Dengan sisa tahun anggaran yang masih tersisa, semua mata kini tertuju pada sejauh mana Kementerian Keuangan mampu menambal potensi kehilangan penerimaan, sambil tetap menjaga momentum pertumbuhan ekonomi yang semakin kompleks dan dinamis.