JAKARTA - Dalam dunia seni bela diri campuran (MMA), kemenangan tidak selalu diraih lewat KO spektakuler atau submission dramatis. Terkadang, kecermatan taktis dan daya tahan mental menjadi kunci untuk menaklukkan lawan tangguh. Hal inilah yang terjadi ketika Reinier de Ridder, petarung asal Belanda, berhasil mengatasi mantan juara kelas menengah UFC, Robert Whittaker, dalam duel sengit di Etihad Arena, Abu Dhabi.
Kemenangan ini bukan semata hasil dominasi mutlak. De Ridder harus melalui pertarungan yang ketat dan penuh tekanan, yang akhirnya berakhir dengan kemenangan angka split decision dua juri memberikan skor 48-47 untuk De Ridder, sementara satu juri lainnya memberi nilai sama untuk Whittaker. Hasil ini menunjukkan betapa berimbangnya pertandingan dan betapa tipisnya margin kemenangan di level tertinggi UFC.
Usai laga, De Ridder mengakui bahwa pertarungan itu berjalan sangat ketat. Ia pun mengungkapkan rasa hormatnya terhadap lawan yang sudah malang melintang di panggung UFC itu. "Saya berambisi mampu menjatuhkannya dan mencekiknya. Tapi dia luar biasa. Sangat tangguh, sangat tahan banting," kata De Ridder, mengakui kehebatan Whittaker.
Meskipun sempat tumbang di ronde ketiga akibat hujan pukulan dari Whittaker, De Ridder membalikkan keadaan dengan permainan grappling yang luar biasa. Kemampuan mengendalikan jarak dan mendominasi clinch menjadi pembeda di laga tersebut. Selain itu, serangan lutut yang berkali-kali diarahkan ke tubuh Whittaker membuat lawan berada dalam tekanan konstan sepanjang laga.
De Ridder, yang sebelumnya dikenal sebagai wajah utama dari organisasi MMA Asia, ONE Championship, kini mengukir prestasi baru di UFC. Ini merupakan kemenangan keempatnya di oktagon, dan posisinya kini semakin solid di puncak kelas menengah UFC. Performa impresif ini membuatnya menjadi ancaman nyata bagi juara bertahan, Dricus du Plessis.
Dengan kemenangan ini, De Ridder tinggal menunggu hasil duel antara Du Plessis melawan Khamzat Chimaev di UFC 319. Pertarungan ini diprediksi bakal menentukan arah perebutan gelar berikutnya. Selain itu, ia juga memantau laga antara Nassourdine Imavov dan Caio Borralho yang akan digelar di UFC Paris. Siapa pun pemenangnya akan menjadi kompetitor utama dalam perebutan sabuk juara.
Namun, di balik kemenangan De Ridder, sorotan juga tertuju pada Robert Whittaker. Kekalahan ini menambah daftar hasil negatif bagi petarung asal Selandia Baru itu, yang sebelumnya juga kalah lewat submission dari Chimaev. Meskipun kembali gagal meraih kemenangan, Whittaker tetap menunjukkan kualitas sebagai petarung elit dengan performa agresif dan disiplin tinggi.
"Jujur saja, rasanya cukup sakit. Dia melakukan apa yang dia janjikan. Tekanannya sangat berat. Dia punya banyak keahlian. Dia menang. Bagus sekali," ujar Whittaker dengan nada kecewa namun sportif.
Whittaker sendiri telah menyatakan rencana untuk naik ke kelas berat setelah satu pertandingan lagi. Langkah tersebut bisa menjadi babak baru dalam kariernya, mengingat tantangan di kelas menengah semakin berat, apalagi dengan kemunculan nama-nama seperti Chimaev, Imavov, dan tentu saja De Ridder yang kini menjadi kekuatan baru di divisi tersebut.
Sementara itu, kemenangan De Ridder memberikan sinyal kuat bahwa gaya grappling yang matang dan efisien masih sangat relevan di era MMA modern, di mana banyak petarung mengandalkan striking. Kombinasi strategi grappling, clinch dominan, serta stamina yang terjaga membuatnya mampu mengungguli petarung sekelas Whittaker yang dikenal memiliki pertahanan solid.
De Ridder juga tidak segan mengakui bahwa ia masih belum puas dengan performanya kali ini. Ia menginginkan kemenangan yang lebih menentukan, namun menyadari bahwa Whittaker bukan lawan yang mudah ditaklukkan dalam satu ronde. Hal ini menambah nuansa sportif dalam duel keduanya dua petarung dengan filosofi berbeda, namun sama-sama berambisi.
Banyak pengamat menilai, hasil pertandingan ini bisa menjadi awal era baru di kelas menengah UFC. Jika De Ridder mampu terus mempertahankan momentumnya dan mendapatkan laga perebutan gelar, ia akan menjadi contoh sukses transisi dari organisasi besar Asia ke panggung UFC yang lebih global. Apalagi, dengan pengalaman panjangnya sebagai juara ganda di ONE Championship, ia memiliki bekal mental dan teknik yang cukup untuk menjadi ancaman bagi siapa pun.
Dalam dunia pertarungan yang terus berkembang, kemenangan seperti yang diraih De Ridder bukan hanya soal siapa yang lebih keras memukul, tetapi juga siapa yang bisa mengatur ritme, memainkan jarak, dan mengeksekusi strategi dengan presisi tinggi. De Ridder membuktikan bahwa dengan determinasi dan kecerdikan, kemenangan tetap bisa diraih meski berada dalam tekanan berat.
Kini, semua mata tertuju pada langkah selanjutnya. Apakah De Ridder akan segera mendapatkan kesempatan merebut gelar? Atau akankah ia harus menunggu satu pertarungan lagi untuk membuktikan dominasinya? Satu hal yang pasti: Reinier de Ridder telah resmi masuk dalam jajaran elite kelas menengah UFC, dan perjalanannya baru saja dimulai.