Harga Gabah Naik, Petani Belum Sepenuhnya Sejahtera

Senin, 28 Juli 2025 | 13:23:43 WIB
Harga Gabah Naik, Petani Belum Sepenuhnya Sejahtera

JAKARTA - Kebijakan penetapan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah kering panen (GKP) sebesar Rp 5.000/kg oleh Perum Bulog memang layak diapresiasi sebagai langkah pengamanan harga bagi petani. Namun di balik angka yang tampak menjanjikan ini, muncul pertanyaan lebih besar: apakah kenaikan harga ini benar-benar menandakan bahwa petani telah berada di jalur kesejahteraan yang sesungguhnya?

Secara kasat mata, intervensi harga ini memberikan jaring pengaman agar nilai jual gabah tidak anjlok saat musim panen raya. Kondisi saat pasokan melimpah seringkali menurunkan daya tawar petani. Maka, keberadaan HPP setidaknya memberi kepastian bahwa harga dasar tidak akan jatuh bebas, menjadi bentuk perlindungan minimal atas pendapatan petani.

Dalam hitungan kasar, dari satu hektare sawah dengan panen rata-rata 5.000 kg GKP, jika dijual ke Bulog seharga Rp 5.000/kg, petani memperoleh pendapatan kotor Rp 25 juta. Setelah dikurangi biaya produksi sekitar Rp 8 juta, keuntungan bersih mencapai Rp 17 juta. Bandingkan dengan harga pasar sebelumnya yang hanya Rp 4.000/kg, maka terdapat selisih pendapatan sekitar Rp 5 juta per hektare. Kenaikan ini tentu mendorong daya beli petani serta membuka ruang untuk pembiayaan rumah tangga, pendidikan, dan modal tanam berikutnya.

Namun, jika ditelaah lebih dalam, realitas di lapangan justru menunjukkan kompleksitas lain. Petani, dalam upayanya memenuhi skema serapan Bulog, sering kali memanen dini. Tujuannya satu: agar gabah bisa masuk ke gudang Bulog sebelum kuota ditutup. Tapi langkah ini justru menimbulkan efek negatif — kadar air tinggi, rendemen turun, dan kualitas gabah menurun. Karena harga serapan Bulog belum membedakan mutu, insentif menjadi tumpul. Petani yang bekerja optimal menghasilkan gabah berkualitas tinggi justru mendapat bayaran sama dengan yang panen asal-asalan.

Di sisi lain, efek domino merambat ke pelaku industri penggilingan padi, terutama yang berskala kecil. Ketika gabah dalam jumlah besar diserap Bulog dengan harga tetap, penggilingan-penggilingan kecil kesulitan memperoleh pasokan bahan baku dengan harga kompetitif. Margin keuntungan mereka menyempit. Akibatnya, keberlanjutan industri lokal yang selama ini menjadi tulang punggung distribusi pangan ikut terancam.

Masalah tak berhenti di situ. Bulog sebagai institusi negara juga menghadapi tantangan besar dalam penyimpanan gabah hasil serapan. Campuran mutu membuat proses pascapanen semakin rumit. Tanpa infrastruktur seperti dryer, gudang berpendingin, atau tenaga sortir yang memadai, gabah mudah rusak dalam penyimpanan. Pada titik ini, kendala teknis dan keterbatasan anggaran menjadi batasan nyata dalam menjaga efisiensi logistik dan keandalan distribusi.

Dari berbagai lapisan masalah tersebut, terlihat jelas bahwa penetapan HPP bukan solusi tunggal untuk menyelesaikan persoalan struktural dalam sektor pertanian. Harga memang penting, tetapi bukan satu-satunya jawaban. Sistem yang menopang aktivitas pertanian dari hulu ke hilir harus dibenahi secara menyeluruh mulai dari mekanisme produksi, standar mutu, hingga kelembagaan yang menaungi petani dan pelaku usaha lainnya.

Satu titik krusial adalah soal mutu gabah. Jika sistem harga tidak memberikan insentif terhadap kualitas, maka petani tidak akan termotivasi meningkatkan standar produksinya. Padahal, gabah berkualitas tinggi lebih bernilai dan tahan dalam penyimpanan. Maka, perlu ada skema harga bertingkat, yang memberikan premi kepada gabah bermutu tinggi agar menciptakan keseimbangan insentif dalam proses produksi.

Tak kalah penting, pendampingan teknis dari penyuluh dan lembaga pertanian harus diperkuat. Petani memerlukan pengetahuan tentang waktu panen optimal, manajemen air, serta perlakuan pascapanen yang sesuai standar. Pemerintah daerah dan dinas teknis harus menjadi penggerak dalam pembangunan infrastruktur pendukung seperti lantai jemur, gudang terpadu, serta alat pengering gabah. Koperasi petani juga bisa diperkuat fungsinya sebagai agregator sekaligus penjamin mutu yang menjembatani hubungan petani dengan Bulog atau pelaku pasar lainnya.

Kesejahteraan petani tidak bisa dicapai dengan pendekatan sesaat. Dibutuhkan sistem pertanian yang adil, efisien, dan berkelanjutan. Harga adalah titik masuk, bukan titik akhir. Tanpa pembenahan ekosistem pertanian secara sistemik, petani akan terus berada dalam posisi rentan, tergantung pada fluktuasi pasar dan kebijakan pemerintah yang kadang berubah-ubah.

Lebih jauh, sektor pertanian perlu dipandang bukan sekadar penyedia pangan, tetapi sebagai pilar utama ketahanan dan kedaulatan nasional. Jika petani terus berada di posisi paling lemah dalam rantai nilai, maka mimpi tentang swasembada pangan akan selalu menjadi bayangan semu.

Langkah penetapan HPP oleh Bulog adalah satu titik terang. Namun agar terang itu menyinari seluruh ladang pertanian nasional, maka dibutuhkan keberanian untuk membangun sistem yang benar-benar berpihak bukan hanya secara harga, tetapi juga dalam cara pandang dan kebijakan. Karena petani sejatinya bukan hanya penghasil gabah, tetapi penjaga kehidupan bangsa.

Terkini