Bursa Asia Bergerak Variatif, Sentimen Tarif

Senin, 04 Agustus 2025 | 12:53:19 WIB
Bursa Asia Bergerak Variatif, Sentimen Tarif

JAKARTA - Fluktuasi di pasar saham Asia-Pasifik pada awal pekan mencerminkan kekhawatiran para pelaku pasar terhadap gejolak kebijakan perdagangan dan energi global. Penyesuaian tarif impor oleh Amerika Serikat (AS) serta keputusan penting OPEC+ mengenai produksi minyak menjadi dua isu utama yang membentuk arah pasar hari ini.

Sentimen negatif turut datang dari Wall Street, yang ditutup melemah akibat laporan ketenagakerjaan terbaru AS. Data ini memicu spekulasi bahwa The Federal Reserve (The Fed) bisa saja menurunkan suku bunga pada pertemuan berikutnya, di tengah ketidakpastian ekonomi akibat lonjakan inflasi yang mungkin timbul dari kebijakan tarif baru.

Sementara itu, pertemuan OPEC+ yang berlangsung sehari sebelumnya turut memantik perhatian pasar energi global, usai diumumkan bahwa aliansi negara-negara penghasil minyak ini akan menaikkan produksi secara signifikan mulai bulan depan. Langkah ini dianggap sebagai respons atas dinamika pasokan serta persaingan global.

Pergerakan Indeks Saham Asia: Tidak Seragam

pergerakan indeks di kawasan Asia menunjukkan pola yang beragam. Bursa saham Jepang mengalami tekanan signifikan, dengan indeks Nikkei 225 turun sebesar 2,05%, sedangkan Topix melemah 1,86%. Pelemahan ini menandakan kekhawatiran investor atas arah kebijakan global yang bisa berdampak besar pada sektor ekspor Jepang.

Sebaliknya, bursa Korea Selatan menunjukkan sedikit penguatan. Indeks Kospi naik 0,13%, dan Kosdaq mencatat kenaikan 0,53%, menandakan optimisme hati-hati dari investor domestik meski tetap mewaspadai sentimen global.

Di Australia, indeks acuan S&P/ASX 200 mengalami penurunan sebesar 0,21%, mengikuti pola koreksi ringan sejalan dengan kekhawatiran atas harga energi dan hubungan dagang global.

Ketidakpastian Akibat Kenaikan Tarif AS

Kebijakan terbaru dari AS yang mengenakan tarif tambahan pada sejumlah barang impor memberikan tekanan tersendiri pada pasar. Kebijakan ini dinilai berpotensi mendorong inflasi lebih tinggi dari ekspektasi sebelumnya, sehingga memunculkan kekhawatiran akan melambatnya pertumbuhan ekonomi, baik di AS maupun global.

Akibatnya, pelaku pasar mulai memperhitungkan potensi pelonggaran kebijakan moneter oleh The Fed. Ekspektasi terhadap pemangkasan suku bunga meningkat, seiring meningkatnya risiko ekonomi yang bisa mengguncang stabilitas pasar.

Langkah-langkah tarif tersebut juga menambah tekanan pada mata uang dan neraca dagang beberapa negara Asia, terutama mereka yang bergantung pada ekspor ke pasar Amerika.

Fokus Investor Beralih ke Minyak: OPEC+ Naikkan Produksi

Tak kalah penting dari sentimen perdagangan, keputusan OPEC+ untuk menambah pasokan minyak turut menjadi sorotan utama. Kelompok produsen minyak tersebut menyepakati peningkatan produksi sebanyak 547.000 barel per hari mulai bulan September. Keputusan ini muncul dalam konteks kompetisi pasar dan kebutuhan akan stabilisasi harga.

Langkah percepatan produksi tersebut dilakukan di tengah ketidakpastian pasokan global, terutama akibat ketegangan geopolitik yang melibatkan Rusia. Selain itu, OPEC+ juga mempertimbangkan tren pemulihan ekonomi global yang tetap solid, serta level persediaan minyak yang masih relatif rendah.

“Dengan harga minyak yang cukup kuat di kisaran US$ 70 per barel, OPEC+ merasa percaya diri terhadap fundamental pasar,” ujar Amrita Sen, Co-Founder dari lembaga riset energi Energy Aspects.

Sen menambahkan bahwa struktur pasar saat ini menunjukkan pasokan yang ketat, yang menjadi dasar bagi OPEC+ untuk menaikkan output tanpa harus khawatir akan oversupply yang dapat menekan harga.

Implikasi Lebih Luas terhadap Strategi Investasi

Secara umum, dinamika yang terjadi di pasar internasional tersebut menunjukkan bahwa investor harus tetap waspada terhadap volatilitas yang bisa sewaktu-waktu meningkat. Selain faktor eksternal seperti tarif dan harga komoditas, pelaku pasar juga mulai mengalihkan perhatian ke arah kebijakan suku bunga serta inflasi yang akan menentukan alokasi aset ke depan.

Dalam konteks Indonesia dan Asia Tenggara, sentimen global ini akan tercermin pada kinerja bursa saham, termasuk potensi arus modal asing yang bisa berubah arah mengikuti sinyal dari The Fed atau pergerakan harga minyak.

Sebagaimana diketahui, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga diramal rawan terkoreksi di awal pekan ini, dan analis dari Kiwoom Sekuritas menyarankan seleksi ketat saham-saham pilihan yang berpotensi bertahan dalam kondisi pasar sideways.

Sementara itu, sektor properti disebut masih menarik seiring insentif fiskal dari pemerintah seperti PPN Ditanggung Pemerintah (DTP) dan penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia.

Terkini

BYD Kuasai Pasar Global, Indonesia Masuk Daftar

Senin, 04 Agustus 2025 | 15:52:32 WIB

XL Perkuat Ekosistem Digital Lewat Bundling OPPO Reno14

Senin, 04 Agustus 2025 | 15:57:41 WIB

Harga iPhone Turun Jelang iPhone 17

Senin, 04 Agustus 2025 | 16:03:26 WIB