Harga Batu Bara Naik Turun

Selasa, 05 Agustus 2025 | 09:45:11 WIB
Harga Batu Bara Naik Turun

JAKARTA - Pergerakan harga batu bara yang bervariasi mencerminkan dinamika besar dalam lanskap energi global, di mana transisi dari energi fosil menuju energi terbarukan semakin terasa dampaknya. Di tengah membaiknya pasokan global dan tren penurunan permintaan dari sektor energi fosil, sejumlah negara besar seperti China dan India mulai menunjukkan peningkatan kontribusi energi hijau dalam bauran energinya. Hal ini berdampak langsung pada fluktuasi harga batu bara di berbagai pasar internasional.

Harga batu bara Newcastle untuk kontrak Agustus tercatat naik tipis sebesar US$ 0,05 menjadi US$ 114,95 per ton. Namun, pada kontrak bulan berikutnya yakni September, harga justru mengalami pelemahan sebesar US$ 0,05 menjadi US$ 117,2 per ton. Untuk kontrak Oktober, harga batu bara tercatat stagnan di posisi US$ 118,25 per ton.

Di sisi lain, pasar Eropa juga menunjukkan tren pelemahan. Harga batu bara di Rotterdam untuk kontrak Agustus tercatat turun US$ 0,25 menjadi US$ 103,2. Kontrak September pun mengalami penurunan sebesar US$ 0,85 menjadi US$ 104,5, sementara harga Oktober terkoreksi US$ 0,75 menjadi US$ 105,75.

Menurut data dari Trading Economics, harga batu bara saat ini sedang bergerak dipengaruhi oleh berbagai faktor global, mulai dari ketersediaan pasokan yang membaik, penurunan permintaan dari sektor pembangkit berbasis fosil, hingga meningkatnya kapasitas energi terbarukan di beberapa negara besar. Fenomena ini menjadi indikator bahwa sektor energi global kini sedang memasuki masa peralihan yang signifikan.

Kebijakan internal di negara-negara produsen besar seperti China turut berpengaruh terhadap pergerakan harga. Pemerintah Beijing dikabarkan akan menutup sejumlah tambang batu bara yang beroperasi di luar kuota produksi yang ditetapkan. Langkah ini merupakan bagian dari strategi pemerintah China untuk menjaga stabilitas pasokan dan menekan tekanan deflasi produsen yang semakin kuat. Tidak hanya itu, otoritas lokal juga mewajibkan pembangkit listrik untuk meningkatkan stok batu bara hingga 10%. Tujuannya adalah memanfaatkan harga pasar yang sedang rendah serta menjamin ketersediaan energi dalam negeri.

Namun, di tengah kebijakan pengendalian produksi, data menunjukkan bahwa produksi batu bara China pada bulan Juni justru mengalami kenaikan sebesar 3,6% dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Proyeksi resmi menyebutkan bahwa produksi batu bara China diperkirakan akan tumbuh sebesar 1,5% menjadi 4,82 miliar ton pada akhir tahun ini. Pertumbuhan ini diproyeksikan sebagai kelanjutan dari capaian rekor produksi yang berhasil dicetak pada tahun sebelumnya.

Dari sisi konsumsi, permintaan terhadap batu bara untuk pembangkitan listrik di China justru mengalami penurunan sebesar 4,7% secara tahunan pada kuartal pertama tahun ini. Penurunan tersebut disebabkan oleh turunnya permintaan listrik secara umum dan meningkatnya kapasitas pembangkit listrik berbasis energi terbarukan. Meski demikian, pemerintah China terus menggenjot belanja infrastruktur yang diperkirakan mampu menjaga permintaan listrik tetap stabil dalam jangka menengah.

Kondisi ini menggambarkan adanya pergeseran prioritas dalam bauran energi global. Negara-negara besar tidak lagi sepenuhnya mengandalkan batu bara sebagai sumber utama pembangkit listrik, melainkan mulai memperluas pemanfaatan energi bersih sebagai strategi jangka panjang.

Dari sisi perdagangan berjangka, data kontrak future (CFD) menunjukkan bahwa harga batu bara mengalami kenaikan tipis 0,04% dibandingkan hari sebelumnya. Meski demikian, jika dilihat secara bulanan, harga batu bara tercatat naik hingga 4,98%. Namun, angka ini masih lebih rendah 20,01% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, menunjukkan bahwa secara tahunan batu bara masih mengalami tren pelemahan.

Sebagai catatan, harga batu bara sempat mencapai puncaknya pada September 2022 lalu, dengan mencatatkan rekor sebesar US$ 457,80 per ton. Meski saat ini harganya jauh dari rekor tersebut, proyeksi dari Trading Economics menunjukkan potensi rebound harga dalam beberapa waktu ke depan. Harga batu bara diperkirakan akan berada di kisaran US$ 116,13 per ton pada akhir kuartal ini dan berpotensi meningkat menjadi US$ 119,9 dalam 12 bulan mendatang.

Namun demikian, proyeksi kenaikan harga ini sangat bergantung pada dinamika global, termasuk potensi peningkatan konsumsi energi pada musim dingin, ketegangan geopolitik yang bisa memicu gangguan pasokan, serta bagaimana kebijakan masing-masing negara dalam menyikapi transisi energi dan kebutuhan pasokan domestik.

Bagi negara-negara pengekspor seperti Indonesia, pergerakan harga batu bara di pasar global akan tetap menjadi perhatian utama karena berpengaruh langsung terhadap pendapatan negara dan aktivitas ekspor. Meski tekanan harga masih terasa, potensi permintaan dari negara-negara berkembang yang belum sepenuhnya beralih ke energi bersih tetap menjadi peluang jangka pendek hingga menengah.

Pada akhirnya, dinamika harga batu bara yang terus bergerak naik turun mencerminkan ketidakpastian dalam sektor energi global. Transisi menuju energi bersih memang semakin menguat, namun batu bara belum sepenuhnya ditinggalkan. Kombinasi faktor geopolitik, kebijakan dalam negeri, hingga fluktuasi permintaan dan pasokan menjadi elemen penting dalam menentukan arah harga komoditas ini ke depan.

Terkini

Erick: Pelatih Harus Pahami Sepak Bola ASEAN

Selasa, 05 Agustus 2025 | 15:11:34 WIB

Olahraga Ringan, Manfaat Besar: Cukup 30 Menit Sehari

Selasa, 05 Agustus 2025 | 15:15:17 WIB

Asaba Gelar Turnamen Basket Veteran ASEAN

Selasa, 05 Agustus 2025 | 15:18:02 WIB

Timnas Voli Putri Siap Tampil di Kejuaraan Dunia

Selasa, 05 Agustus 2025 | 15:21:01 WIB

Artis Jung Woo Sung Disorot soal Pernikahan dan Anak

Selasa, 05 Agustus 2025 | 15:24:51 WIB