JAKARTA - Gejolak ekonomi global diperkirakan belum akan mereda dalam waktu dekat. Ketidakpastian ekonomi yang terjadi di berbagai belahan dunia semakin diperparah dengan memanasnya tensi perdagangan internasional, terutama akibat kebijakan tarif baru yang kembali diangkat oleh Amerika Serikat. Wacana tarif resiprokal yang digaungkan oleh mantan Presiden Donald Trump kembali menjadi perhatian utama pasar global, menimbulkan kekhawatiran akan potensi perang dagang jilid baru yang bisa memperparah kondisi ekonomi dunia.
Di tengah situasi global yang belum stabil, kekhawatiran terhadap pelemahan ekonomi semakin mengemuka. Sejumlah negara kini harus bersiap menghadapi potensi tekanan tambahan dari kebijakan perdagangan AS yang semakin agresif. Trump yang kembali menjadi figur sentral dalam politik Amerika, menyampaikan niatnya untuk memberlakukan tarif tinggi secara resiprokal terhadap negara-negara mitra dagang yang dinilai merugikan kepentingan ekonomi AS. Pernyataan tersebut sontak memicu kekhawatiran akan spiral proteksionisme yang berulang.
Ancaman Tarif Resiprokal dan Dampaknya ke Ekonomi Global
Tarif resiprokal merupakan kebijakan di mana Amerika Serikat akan menerapkan tarif yang sama besarnya terhadap negara-negara yang dianggap memberlakukan tarif tinggi pada produk-produk AS. Konsep ini sebelumnya telah disampaikan oleh Donald Trump saat menjabat sebagai Presiden AS dan kini kembali mencuat dalam wacana ekonomi dan politik menjelang pemilu AS.
Trump menyatakan bahwa sistem perdagangan saat ini tidak adil bagi Amerika dan perlu dikoreksi melalui kebijakan tarif resiprokal. "Kita tidak bisa terus membiarkan negara lain mengambil keuntungan dari pasar kita tanpa memberi kita akses yang setara," tegas Trump dalam sebuah wawancara baru-baru ini.
Pernyataan Trump tersebut menjadi katalis baru bagi ketidakpastian pasar global. Negara-negara eksportir besar seperti China, Jerman, Meksiko, hingga Jepang diperkirakan akan terkena dampak langsung dari kebijakan ini. Tidak hanya negara maju, tetapi juga negara berkembang seperti Indonesia turut merasa waswas terhadap dampak lanjutan yang mungkin akan terjadi di sektor perdagangan dan investasi.
Ketegangan Perdagangan yang Bisa Memicu Perlambatan Ekonomi
Para analis ekonomi global menilai bahwa ancaman tarif resiprokal bisa menjadi pemicu perlambatan ekonomi baru, terutama jika negara-negara yang terdampak memutuskan untuk membalas kebijakan tersebut dengan langkah proteksionis serupa. Hal ini bisa menyebabkan turunnya volume perdagangan internasional dan mengganggu rantai pasok global yang saat ini sudah cukup rapuh akibat pandemi dan ketegangan geopolitik.
Ekonom dari Institute for Global Economic Studies, Raymond Chao, mengatakan bahwa efek lanjutan dari kebijakan tarif seperti ini bisa sangat merusak kepercayaan investor. "Pasar global sangat sensitif terhadap kebijakan perdagangan. Jika ancaman tarif dibalas dengan tindakan serupa, maka kita bisa melihat penurunan drastis pada arus perdagangan global yang akan memengaruhi pertumbuhan ekonomi dunia secara keseluruhan," ujarnya.
Menurutnya, efek dari kebijakan tersebut tidak akan hanya terbatas pada perdagangan barang, tetapi juga pada sektor jasa, investasi lintas negara, dan pasar modal global. “Investor akan cenderung menarik diri dari pasar negara berkembang jika ketidakpastian terus meningkat,” tambahnya.
Kondisi Ini Diperparah Oleh Ketidakpastian Ekonomi Lainnya
Selain perang tarif, kondisi ekonomi global juga sedang dibayangi oleh sejumlah isu krusial lain yang memperumit situasi. Inflasi yang masih tinggi di sejumlah negara maju seperti AS dan Inggris membuat bank sentral setempat terus menjaga suku bunga tetap tinggi. Hal ini menciptakan tekanan terhadap mata uang negara berkembang dan meningkatkan biaya pinjaman global.
Di sisi lain, perlambatan ekonomi di China sebagai salah satu mesin pertumbuhan dunia juga turut memperburuk sentimen. Permintaan dari pasar China terhadap bahan mentah dan barang konsumsi global mulai menunjukkan tanda-tanda penurunan, sehingga negara-negara eksportir termasuk Indonesia harus bersiap menghadapi turunnya permintaan ekspor.
Kondisi geopolitik seperti konflik di Timur Tengah dan ketegangan di Laut China Selatan juga menambah ketidakpastian yang bisa berdampak langsung pada stabilitas ekonomi dan harga energi global.
Peringatan untuk Negara Berkembang: Waspadai Efek Domino
Negara-negara berkembang seperti Indonesia harus mengambil langkah antisipatif untuk menghadapi potensi efek domino dari gejolak ekonomi global. Pemerintah dan pelaku usaha diimbau untuk memperkuat ketahanan sektor domestik, diversifikasi pasar ekspor, serta memperdalam hilirisasi industri untuk mengurangi ketergantungan terhadap pasar eksternal.
Ekonom senior Bhima Yudhistira dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) menyampaikan bahwa Indonesia perlu mewaspadai lonjakan harga impor akibat penguatan dolar AS dan kenaikan tarif global. “Kalau harga barang impor naik karena tarif, maka inflasi domestik bisa ikut terdorong. Ini bisa menjadi tekanan ganda bagi ekonomi kita yang masih dalam tahap pemulihan,” jelas Bhima.
Ia juga menambahkan bahwa salah satu solusi strategis adalah mempercepat integrasi rantai pasok domestik dan mendorong perdagangan intra-ASEAN sebagai penyeimbang dari pasar global yang semakin tidak menentu. “Indonesia perlu memperkuat pasar dalam negeri sekaligus mencari mitra dagang non-tradisional seperti Afrika dan Amerika Latin,” pungkasnya.
Penutup: Masa Depan Ekonomi Global Masih Suram
Ketika dunia masih berjuang pulih dari dampak pandemi dan gangguan geopolitik, kebijakan perdagangan yang agresif dan proteksionis seperti tarif resiprokal hanya akan memperburuk kondisi. Dunia membutuhkan koordinasi kebijakan ekonomi yang lebih inklusif dan stabil, bukan ketegangan yang memperbesar jurang antara negara-negara maju dan berkembang.
Pemerintah Indonesia dan pelaku ekonomi nasional diharapkan terus memantau perkembangan ini dan mengambil langkah cepat dan terukur dalam menjaga stabilitas makroekonomi. Dalam ketidakpastian global yang terus berlanjut, hanya negara dengan fondasi ekonomi yang kuat, fleksibel, dan adaptif yang mampu bertahan dan tumbuh.