JAKARTA - Pada setiap tanggal 2 Mei, Indonesia memperingati Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) dengan berbagai perayaan dan refleksi mengenai kemajuan sektor pendidikan. Di media sosial, sekolah, dan lembaga pemerintah, semangat perubahan pendidikan sering kali digaungkan. Namun, di balik perayaan tersebut, ada sebuah fenomena yang semakin mengganggu banyak pihak, terutama orang tua: anak-anak zaman sekarang lebih tertarik pada gawai (gadget) daripada belajar. Fenomena ini semakin kuat seiring berjalannya waktu, menambah keresahan banyak orang tua yang merasa kesulitan mengalihkan perhatian anak-anak dari layar digital ke buku pelajaran.
Tantangan Teknologi dalam Pendidikan
Anak-anak usia sekolah dasar hingga remaja saat ini lebih banyak menghabiskan waktu mereka di depan layar, entah itu untuk bermain game, menonton video pendek, atau mengikuti tren digital yang sedang viral. Sementara itu, ketika mereka dihadapkan dengan tugas sekolah atau membaca buku pelajaran, minat dan semangat mereka untuk belajar cenderung menurun drastis. Dunia digital yang penuh dengan hiburan telah menggeser prioritas belajar bagi sebagian besar generasi muda kita.
Orang tua di berbagai daerah mulai mengungkapkan keresahan ini. Percakapan di grup wali murid, diskusi antar tetangga, hingga forum komunitas orang tua sering kali dipenuhi dengan pertanyaan yang sama: mengapa anak-anak sekarang lebih mudah teralihkan dengan gadget, tetapi kesulitan untuk fokus pada pelajaran? Jawaban atas pertanyaan ini bukanlah perkara sederhana seperti "anak zaman sekarang memang berbeda." Sebaliknya, ini merupakan gejala dari masalah sistemik yang lebih besar, yang membutuhkan perhatian serius dari semua pemangku kebijakan pendidikan, khususnya pemerintah.
Dampak Pandemi terhadap Pendidikan dan Kebiasaan Baru
Transformasi digital yang dipercepat akibat pandemi COVID-19 telah membawa perubahan signifikan dalam dunia pendidikan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) mengharuskan penggunaan gawai dan internet sebagai alat utama dalam proses belajar mengajar. Namun, meskipun sekolah telah kembali membuka pintu untuk pertemuan tatap muka, kebiasaan lama tampaknya tetap bertahan. Gawai tetap melekat pada anak-anak, tetapi bukan lagi untuk tujuan belajar—melainkan untuk hiburan semata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan Indonesia masih belum sepenuhnya siap dalam menghadapi kenyataan era digital. Banyak sekolah yang hanya fokus pada penyediaan perangkat digital, tetapi kurang memperhatikan pentingnya pendampingan digital yang sehat dan efektif. Kurikulum pendidikan yang ada juga masih terbatas dalam menjawab tantangan kecanduan gawai yang semakin meluas di kalangan siswa. Sebagian besar guru pun merasa kebingungan dalam merancang pembelajaran yang dapat bersaing dengan daya tarik game online atau konten video pendek yang sering kali bersifat instan dan menghibur.