JAKARTA - Dalam sebuah langkah yang mengundang perhatian internasional, tim nasional basket U19 Yordania resmi mengundurkan diri dari pertandingan melawan Israel dalam babak penyisihan grup Piala Dunia U19 FIBA 2025 yang dijadwalkan berlangsung di Lausanne, Swiss. Keputusan ini diambil sebagai bentuk protes atas konflik yang sedang berlangsung di Gaza dan sebagai penolakan terhadap apa yang mereka anggap sebagai upaya “normalisasi olahraga” dengan Israel, negara yang tengah mendapat kecaman global atas serangan militernya.
Keputusan Yordania ini datang di tengah tekanan politik dan sosial yang kuat dari masyarakat Yordania, yang menentang keras keterlibatan tim nasional mereka dalam pertandingan melawan Israel. Banyak aktivis, tokoh publik, dan warga menilai bahwa partisipasi dalam pertandingan ini sama saja dengan mendukung atau mengabaikan penderitaan yang dialami rakyat Palestina akibat serangan militer Israel.
Tokoh publik Yordania, Hala Ahed, dalam cuitannya di media sosial menyuarakan kekecewaannya, “Sportivitas apa yang ada dalam memainkan tim yang mewakili negara yang melakukan genosida di Gaza?” Ungkapan ini mencerminkan sentimen kuat di kalangan masyarakat Yordania yang menginginkan tim mereka untuk tidak terlibat dalam pertandingan tersebut.
Keputusan tim Yordania berimbas pada pembatalan pertandingan dan kemenangan teknis 20-0 untuk Israel, sesuai dengan aturan turnamen. Meski demikian, keputusan ini menimbulkan diskusi luas mengenai peran olahraga dalam konteks konflik politik dan kemanusiaan. Apakah olahraga harus berdiri di atas semua perbedaan politik, ataukah harus menjadi bagian dari solidaritas terhadap mereka yang tertindas?
Di sisi lain, kondisi yang dialami oleh atlet-atlet Palestina sangat memprihatinkan. Menurut Mustafa Siyam, kepala Asosiasi Media Olahraga Palestina (PSMA), sejak dimulainya perang di Gaza, setidaknya 708 atlet Palestina telah menjadi korban jiwa, termasuk 95 anak-anak. Ini termasuk ratusan pemain sepak bola, anggota organisasi kepanduan, dan berbagai atlet dari cabang olahraga lainnya.
Selain itu, ratusan fasilitas olahraga, seperti stadion dan pusat kebugaran, juga rusak atau hancur akibat serangan udara Israel. Menurut Siyam, serangan ini secara sengaja diarahkan untuk menghancurkan fondasi olahraga Palestina, yang dianggap sebagai bagian penting dari identitas sosial dan budaya komunitas Gaza. Dia menyebut ini sebagai “tantangan eksistensial” yang dapat merusak masa depan olahraga di wilayah tersebut.
Respon dari FIBA sendiri terbilang terbatas. Berdasarkan regulasi yang ada, sebuah tim dapat tidak mengikuti hingga dua pertandingan babak penyisihan tanpa otomatis didiskualifikasi. Dalam hal ini, Yordania tampaknya mengandalkan aturan tersebut untuk tetap dapat bertahan dalam turnamen meskipun batal bertanding melawan Israel. Namun, belum diketahui apakah federasi basket dunia ini akan mengambil tindakan disipliner lebih lanjut atas keputusan Yordania.
Kasus ini kembali menyoroti ketegangan yang terjadi saat olahraga bertemu dengan politik dan konflik. Sejumlah pihak mempertanyakan bagaimana dunia olahraga bisa tetap netral di tengah situasi kemanusiaan yang kompleks. Di satu sisi, olahraga sering dipandang sebagai alat pemersatu dan simbol perdamaian. Namun, di sisi lain, hal ini juga dapat menjadi arena perjuangan politik, solidaritas, dan penolakan terhadap ketidakadilan.
Keputusan Yordania bisa menjadi preseden penting dalam dunia olahraga internasional, khususnya pada kompetisi di mana konflik geopolitik tidak dapat dipisahkan dari partisipasi antarnegara. Pertanyaan besar yang muncul adalah bagaimana federasi olahraga internasional, termasuk FIBA, dapat mengelola dinamika ini dengan bijak, tanpa mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan.
Selain aspek regulasi dan politik, kasus ini juga mengingatkan kita pada dampak nyata konflik terhadap atlet dan olahraga di wilayah yang terdampak. Banyak atlet Palestina yang kehilangan nyawa dan fasilitas yang mendukung perkembangan olahraga hancur, mengancam masa depan olahraga di kawasan itu.
Dengan semakin kuatnya tekanan sosial dan politik di berbagai negara, termasuk Yordania, langkah serupa mungkin akan muncul di arena olahraga lainnya. Solidaritas olahraga yang selama ini dianggap universal kini harus diuji dalam konteks konflik yang pelik, memaksa dunia internasional untuk berpikir ulang mengenai batasan dan peran olahraga di tengah krisis kemanusiaan.