JAKARTA - Setiap tahunnya, pemerintah Kabupaten, Kota, dan Provinsi Riau menerima puluhan miliar rupiah dari Dana Bagi Hasil (DBH) sektor kelapa sawit. Namun, penggunaan dana tersebut hingga kini dinilai belum efektif menyentuh kebutuhan nyata petani sawit, terutama dalam hal pembangunan infrastruktur jalan produksi di kawasan perkebunan. Anggota DPRD Riau dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Muhtarom, mengingatkan pentingnya penyaluran DBH yang lebih tepat sasaran untuk meningkatkan produktivitas dan kesejahteraan petani sawit.
Muhtarom menegaskan, selama ini belum ada kebijakan konkret yang memprioritaskan kebutuhan dasar petani sawit di lapangan. Padahal, infrastruktur jalan produksi menjadi elemen vital bagi para petani dalam mengangkut hasil panen mereka menuju pasar atau pabrik pengolahan. Menurutnya, alokasi DBH Sawit seharusnya diarahkan agar dapat menjawab persoalan mendasar ini.
“DBH Sawit itu kan ada aturan alokasi untuk bantuan masyarakat. Bantulah masyarakat kita, harus ada kebijakan dari pemegang kebijakan,” ujar Muhtarom dalam wawancara.
- Baca Juga Indonesia Jadi Pusat Energi Terbarukan
Ia menjelaskan bahwa pembangunan jalan produksi di kebun sawit tidak memerlukan konstruksi besar dan rumit. Cukup menyediakan jalan dengan lebar sekitar 1,5 meter, yang memungkinkan sepeda motor pengangkut sawit dapat melintas dengan aman. Namun sayangnya, kebutuhan mendasar ini belum menjadi perhatian utama dalam kebijakan pemanfaatan DBH.
“Kebutuhan jalan perkebunan kita sangat besar. Sampai hari ini belum ada bantuan dari DBH. Padahal kebutuhannya cuma 1,5 meter. Pas untuk angkut motor saja,” tambah Muhtarom.
Perhatian terhadap masalah ini sangat penting, mengingat banyak desa di Riau yang bergantung pada hasil sawit sebagai sumber pendapatan utama masyarakatnya. Namun, mereka masih harus menghadapi kondisi jalan produksi yang buruk dan tidak layak, sehingga proses pengangkutan hasil panen menjadi terhambat dan menimbulkan biaya distribusi yang tinggi. Hal ini otomatis berdampak pada pendapatan petani dan perekonomian desa secara umum.
“Sudahlah masyarakat tak dibantu bibit bagus, pupuk murah, jalan pun tak diperbaiki. Ini supaya roda perekonomian meningkat, karena biaya distribusi bisa ditekan kalau jalan bagus,” jelas Muhtarom.
Dalam konteks pembangunan infrastruktur, Muhtarom mengusulkan skema padat karya sebagai metode yang efektif dan efisien untuk membangun jalan produksi di kebun sawit. Dengan skema ini, pemerintah cukup menyediakan material dan mengalokasikan upah untuk tenaga kerja lokal yang terlibat dalam pembangunan.
“Baiknya pembangunan jalan perkebunan dilakukan melalui skema padat karya, pembangunan jalan dengan metode ini lebih efisien karena hanya melibatkan dua komponen utama, yakni material dan upah pekerja. Pemerintah tinggal mengawasi, sementara masyarakat setempat bisa dilibatkan langsung dalam pembangunan,” jelasnya.
Pendekatan ini tidak hanya mempercepat proses pembangunan, tetapi juga memberikan manfaat langsung kepada masyarakat desa dengan menyediakan lapangan pekerjaan, sekaligus memastikan hasil pembangunan dapat dirawat oleh komunitas yang membangunnya. Dengan demikian, infrastruktur yang dibangun dapat lebih awet dan berkelanjutan.
Sementara itu, hingga saat ini alokasi DBH Sawit di Riau dinilai masih belum menonjol dalam mendukung infrastruktur penting ini. Padahal, keberadaan dana tersebut merupakan potensi besar untuk mendorong kemajuan sektor perkebunan sawit yang menjadi sumber penghasilan utama banyak masyarakat di daerah.
Ketua DPRD Riau dari Fraksi PKB ini pun berharap agar pemerintah daerah dapat mengambil langkah strategis dalam menyusun kebijakan yang lebih fokus dan pro rakyat, khususnya dalam mendukung pembangunan jalan produksi di kawasan perkebunan sawit. Hal ini juga diharapkan dapat memperkuat daya saing produk sawit lokal serta meningkatkan kesejahteraan petani.
Masalah jalan produksi yang buruk tidak hanya berdampak pada petani, tetapi juga menghambat alur distribusi hasil panen ke pasar. Jalan yang tidak memadai membuat proses pengangkutan lebih lama dan biaya operasional semakin membengkak. Pada akhirnya, harga jual hasil panen sawit juga terpengaruh negatif.
Oleh karena itu, pemanfaatan DBH Sawit yang selama ini masih dirasakan kurang maksimal harus segera diarahkan agar dapat menjawab kebutuhan infrastruktur dasar di tingkat perkebunan. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yang mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kualitas hidup petani.
Pengawasan dan transparansi dalam penyaluran dana juga menjadi kunci penting agar DBH Sawit benar-benar sampai ke tangan petani dan masyarakat desa secara tepat guna. Dengan demikian, tujuan pengelolaan dana ini untuk memajukan sektor sawit di Riau bisa tercapai secara optimal.
Kesimpulannya, untuk mendorong produktivitas dan kesejahteraan petani sawit di Riau, diperlukan perubahan paradigma dalam alokasi Dana Bagi Hasil Sawit. Prioritas utama harus diberikan pada pembangunan dan perbaikan infrastruktur jalan produksi yang menjadi akses vital petani dalam mendukung rantai nilai hasil panen sawit. Dengan dukungan kebijakan yang pro-rakyat dan metode pelaksanaan yang partisipatif seperti skema padat karya, diharapkan sektor perkebunan sawit di Riau dapat tumbuh lebih baik dan berkontribusi lebih besar bagi pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakatnya.