JAKARTA - Indonesia dikenal memiliki kekayaan alam yang luar biasa, salah satunya potensi energi panas bumi terbesar di dunia. Dengan cadangan mencapai 24 gigawatt (GW), energi panas bumi sebenarnya dapat menjadi tulang punggung energi baru terbarukan (EBT) sekaligus pendorong industrialisasi hijau di tanah air. Namun, kenyataannya pemanfaatan panas bumi di Indonesia baru menyentuh sekitar 12 persen dari total potensi. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: mengapa pengembangan energi panas bumi masih berjalan lambat dan jauh dari optimal?
Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API), Julfi Hadi, memberikan jawaban atas tantangan ini. Menurutnya, stagnasi pemanfaatan panas bumi selama lebih dari tiga dekade disebabkan oleh paradigma dan model bisnis yang ketinggalan zaman. Paradigma lama ini dinilai menghambat kemajuan, sehingga dibutuhkan pendekatan baru yang lebih progresif dan terintegrasi untuk memaksimalkan nilai tambah energi panas bumi.
Julfi menegaskan, “Kalau dikelola dengan cara baru, panas bumi bisa jadi fondasi industri besar di Indonesia.” Pernyataan ini menunjukkan bahwa panas bumi bukan sekadar sumber listrik ramah lingkungan, tapi juga dapat mendorong kemajuan ekonomi sekaligus memperbaiki kesejahteraan masyarakat. Energi panas bumi berpotensi menciptakan ekosistem industri hijau yang berkelanjutan, namun hal ini hanya dapat tercapai jika pengelolaan dan bisnis modelnya berubah secara signifikan.
Di balik potensi yang luar biasa tersebut, pengembangan panas bumi dihadapkan pada sejumlah kendala. Risiko eksplorasi yang tinggi dan biaya investasi yang besar menjadi hambatan utama bagi percepatan proyek-proyek panas bumi. Belum lagi keterbatasan infrastruktur jaringan transmisi yang membuat distribusi listrik dari sumber panas bumi menjadi kurang efisien. Faktor-faktor ini kerap menunda jadwal operasi komersial dan membuat para investor enggan mengambil risiko.
Menjawab tantangan tersebut, Julfi mendorong penggunaan pendekatan bertahap (staged development) sebagai solusi untuk menekan risiko dan mempercepat proses pembangunan. Dengan membagi tahapan eksplorasi dan pengembangan secara sistematis, risiko kegagalan proyek dapat diminimalkan sehingga investasi menjadi lebih aman dan menguntungkan. Pendekatan ini diharapkan dapat membuka jalan bagi pengembangan panas bumi yang lebih masif dan berkelanjutan.
Selain itu, Julfi juga menekankan pentingnya adopsi teknologi terkini. Teknologi seperti modular power plant, co-generation, dan electrical submersible pumps dipercaya mampu meningkatkan produksi energi panas bumi sekaligus mempercepat jadwal operasi komersial (Commercial Operational Date/COD). Dengan teknologi yang tepat, efisiensi dan kapasitas pembangkit listrik panas bumi dapat ditingkatkan secara signifikan, mengurangi biaya dan waktu pengembangan proyek.
Namun, teknologi dan pendekatan baru saja tidak cukup tanpa dukungan pemerintah. Julfi menilai pemerintah perlu menyediakan skema insentif fiskal dan non-fiskal yang lebih menarik untuk mendorong investasi sektor panas bumi. Insentif ini dapat berupa kemudahan perizinan, pengurangan pajak, subsidi, atau fasilitas pembiayaan yang dapat menekan beban modal dan operasional para pengembang.
Saat ini, API bekerja sama dengan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam merumuskan skema insentif yang tepat. “Tujuannya agar pengembang bisa menekan capital dan operational expenditure, sekaligus meningkatkan efisiensi serta nilai ekonomi proyek,” ujar Julfi. Kerjasama ini diharapkan mempercepat realisasi proyek panas bumi di berbagai daerah dan meningkatkan kontribusinya dalam bauran energi nasional.
Selain masalah insentif dan teknologi, pembangunan jaringan transmisi skala besar—atau supergrid—juga menjadi kunci keberhasilan pengembangan panas bumi sebagai energi andalan. Supergrid yang handal dan luas memungkinkan distribusi listrik panas bumi secara efisien ke berbagai wilayah yang membutuhkan, terutama wilayah-wilayah yang jauh dari pusat pembangkit.
Julfi menyebut, “Kalau supergrid bisa diwujudkan, panas bumi akan jadi tulang punggung energi bersih Indonesia.” Infrastruktur transmisi yang memadai tidak hanya menjamin pasokan listrik yang stabil, tapi juga membuka peluang pengembangan panas bumi di lokasi-lokasi strategis yang selama ini sulit diakses. Dengan dukungan supergrid, energi panas bumi dapat berperan lebih besar dalam transisi energi nasional dan ketahanan pasokan energi.
Indonesia sedang berada di persimpangan penting dalam pengembangan energi baru terbarukan. Potensi panas bumi yang sangat besar harus dimanfaatkan secara optimal agar tidak hanya sekadar menjadi angka statistik. Jika dikelola dengan paradigma baru, teknologi mutakhir, dan dukungan regulasi yang kuat, panas bumi dapat menjadi sumber energi yang berkelanjutan, ramah lingkungan, sekaligus penggerak ekonomi hijau.
Namun, langkah ini membutuhkan komitmen semua pihak—pemerintah, industri, dan masyarakat—untuk bersama-sama mendorong perubahan dalam pengelolaan dan bisnis model energi panas bumi. Keterlibatan aktif berbagai pemangku kepentingan sangat penting agar potensi besar ini bisa diwujudkan menjadi manfaat nyata bagi masyarakat dan negara.
Secara garis besar, tantangan pemanfaatan panas bumi di Indonesia bukanlah soal ketersediaan sumber daya, melainkan bagaimana mengatasi hambatan bisnis, teknologi, dan regulasi agar energi ini bisa dioptimalkan. Energi panas bumi bisa menjadi solusi utama bagi kebutuhan energi bersih dan industri hijau masa depan, selama ada inovasi dalam pendekatan dan kolaborasi lintas sektor.
Dengan visi yang jelas dan langkah yang tepat, Indonesia berpeluang menjadi pemimpin dunia dalam pemanfaatan energi panas bumi. Potensi 24 GW bukan sekadar angka, tapi peluang besar untuk membangun masa depan energi yang lebih bersih, berkelanjutan, dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional.