Anies Baswedan

Anies Baswedan dan Filosofi Papan Tulis

Anies Baswedan dan Filosofi Papan Tulis
Anies Baswedan dan Filosofi Papan Tulis

JAKARTA - Bagi sebagian orang, papan tulis mungkin sekadar alat bantu visual di ruang kelas. Namun, bagi Anies Baswedan, papan tulis memiliki makna yang lebih dalam: simbol keterbukaan, ruang kolaborasi, dan proses pengambilan keputusan yang partisipatif. Refleksi ini ia bagikan melalui video yang diunggah di akun media sosial pribadinya, menggambarkan bagaimana sebuah benda sederhana bisa menjadi filosofi dalam memimpin.

Dalam cuplikan video tersebut, Anies tampak sedang berbicara di hadapan audiens dalam forum berbahasa Inggris. Dengan mengenakan kemeja putih dan gaya berbicara yang tenang namun tegas, ia membagikan kisah pribadinya saat pertama kali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta. Bukan soal kebijakan atau proyek besar, melainkan soal kegelisahan kecil yang justru menyiratkan pandangan besarnya tentang kepemimpinan: absennya papan tulis di ruang rapat Balai Kota.

“Saat Anda menggunakan papan tulis, rasanya seperti sedang berada di lingkungan kampus,” ujarnya membuka cerita.

Mengubah Ruang Instruksi Menjadi Ruang Diskusi

Dalam pengalaman pertamanya memimpin rapat bersama para kepala dinas Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Anies mengaku merasa ada sesuatu yang kurang ketika mencoba menjelaskan idenya. Ia mencari papan tulis untuk menyampaikan kerangka pikirannya secara visual — kebiasaan yang ia bangun dari latar belakangnya sebagai akademisi. Namun yang tersedia di ruang rapat hanyalah layar proyektor.

“Saya lihat-lihat ruangan, mencari papan tulis atau papan kapur. Tapi ternyata tidak ada, yang ada hanya layar untuk menampilkan slide,” kisahnya.

Hal ini memunculkan pertanyaan reflektif dari Anies kepada para peserta rapat, “Apakah ruangan ini digunakan untuk berdiskusi atau hanya untuk memberi instruksi?”

Baginya, keberadaan papan tulis bukan hanya alat bantu visual, melainkan penanda bahwa ruangan tersebut mendukung proses tukar pikiran yang terbuka. Ia mengkritisi ruang rapat yang hanya dilengkapi layar proyektor sebagai ruang yang mendorong komunikasi satu arah — sebuah simbol kepemimpinan top-down tanpa kolaborasi.

“Kalau ada papan tulis, itu artinya ada diskusi. Kalau tidak ada, berarti hanya satu arah,” tegasnya.

Memasang Papan Tulis, Menanam Budaya

Berangkat dari pengalaman itu, Anies langsung mengambil tindakan. Ia memutuskan untuk memasang papan tulis di ruang rapat Gubernur. Tujuannya bukan sekadar estetika atau efisiensi kerja, melainkan membangun atmosfer yang mendukung budaya diskusi dan kolaborasi.

“Papan tulis bukan cuma untuk dosen. Manajer dan pemimpin juga membutuhkannya. Kecuali kalau hanya ingin memberi perintah tanpa ruang untuk mengkaji dan menguji ide,” tulisnya dalam unggahan.

Sebagai mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Anies tak asing dengan dunia diskusi dan eksplorasi pemikiran. Ia terbiasa berdiri di depan mahasiswa, menggunakan papan tulis sebagai alat untuk menyusun gagasan, bukan hanya menyampaikan instruksi. Maka tak heran jika ia membawa nilai-nilai serupa ke dalam dunia birokrasi yang sering kali dianggap kaku dan hierarkis.

Simbol Kepemimpinan yang Terbuka

Cerita tentang papan tulis ini, meskipun terdengar sepele, sesungguhnya menggambarkan prinsip besar yang dianut Anies dalam kepemimpinannya: mendengar, berdialog, dan membangun konsensus. Ruang rapat bukan sekadar tempat membuat keputusan, tetapi juga arena untuk mengasah gagasan, menyusun strategi bersama, dan menerima berbagai perspektif.

Dalam budaya organisasi modern, konsep open communication menjadi salah satu pilar penting. Kepemimpinan bukan lagi soal siapa yang paling tahu, melainkan siapa yang mampu mengumpulkan beragam sudut pandang dan membimbing tim menuju solusi yang kolektif. Papan tulis menjadi metafora visual dari proses ini.

Melalui unggahannya, Anies menyampaikan pesan bahwa para pemimpin di segala level — baik di pemerintahan, organisasi, maupun perusahaan — perlu menciptakan ruang untuk bertukar ide. Bukan hanya memberi instruksi, tetapi mengajak berpikir bersama.

Respons Publik dan Makna Simbolik

Unggahan video tersebut menuai beragam reaksi dari warganet. Banyak yang memberikan apresiasi, menyebut pendekatan Anies sebagai bentuk kepemimpinan yang egaliter dan reflektif. Tak sedikit pula yang terinspirasi untuk menerapkan prinsip serupa dalam lingkungan kerja mereka.

Simbolisme papan tulis menjadi resonansi yang kuat karena berkaitan dengan pengalaman banyak orang. Setiap individu pernah belajar, menulis, atau mencoretkan ide di atas papan tulis. Ia bukan hanya alat tulis-menulis, tetapi juga ruang tumbuhnya gagasan. Dan ketika papan itu hadir di ruang kebijakan, maka ide-ide besar bisa lahir dari diskusi-diskusi kecil yang jujur dan terbuka.

Dari Jakarta ke Nasional?

Meski kini tak lagi menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, pendekatan Anies terhadap kepemimpinan tetap relevan dan terus menjadi bahan diskusi. Dalam konteks yang lebih luas, narasi tentang papan tulis ini bisa dibaca sebagai ajakan untuk membangun kembali budaya komunikasi yang sehat di pemerintahan, dunia pendidikan, hingga sektor bisnis.

Tak heran jika narasi kecil tentang sebuah papan tulis bisa menggambarkan nilai besar dalam bernegara: bahwa perubahan dimulai dari ruang-ruang yang memberi tempat bagi ide dan suara untuk tumbuh bersama.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index