JAKARTA - Alih-alih hanya berfokus pada pembangunan fisik, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) kini mengambil langkah lebih progresif dalam menjawab tantangan ketahanan pangan nasional. Salah satunya melalui pendekatan inovatif dalam pengelolaan sampah di saluran irigasi — sebuah masalah yang kerap kali luput dari perhatian, tetapi berdampak besar terhadap produktivitas pertanian.
Kementerian PUPR, melalui Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Cimanuk Cisanggarung, menaruh perhatian besar pada kelancaran distribusi air irigasi, yang ternyata kerap terhambat oleh penumpukan sampah. Bukan hanya menyebabkan penyumbatan aliran air, limbah domestik yang masuk ke jaringan irigasi juga mengancam kualitas tanah dan lingkungan sekitar. Oleh karena itu, penanganan sampah dalam sistem irigasi kini diposisikan sebagai prioritas strategis dalam menjaga keberlanjutan sistem pertanian nasional.
Langkah nyata dilakukan di Daerah Irigasi (DI) Rentang dan DI Kamun, yang mencakup tiga kabupaten utama di wilayah utara Jawa Barat: Majalengka, Indramayu, dan Cirebon. Kawasan ini merupakan sentra produksi beras utama yang sangat bergantung pada debit air dari Sungai Cimanuk.
- Baca Juga Sembako Jatim Alami Perubahan
Kementerian PUPR pun menerapkan sistem pengangkutan dan pengolahan sampah langsung dari saluran irigasi. Sampah-sampah tersebut dikumpulkan oleh petugas Operasi dan Pemeliharaan (OP) dan dibawa ke Workshop Pengolahan Sampah yang terletak di kawasan Bendung Rentang. Di sana, limbah dipilah berdasarkan jenisnya, lalu dikelola dengan pendekatan Reduce, Reuse, dan Recycle (3R).
Sampah organik diproses menjadi kompos, sementara limbah plastik diubah menjadi produk daur ulang seperti briket, yang tidak hanya ramah lingkungan tetapi juga bernilai ekonomis. Kegiatan ini menjadi bentuk sinergi antara pengelolaan sumber daya air dan pengelolaan lingkungan yang terintegrasi.
Kepala BBWS Cimanuk-Cisanggarung, Dwi Agus Kuncoro, menjelaskan bahwa volume sampah yang dapat dikelola setiap hari mencapai 500 kilogram, dengan hasil akhir berupa cacahan kering sekitar 400 kilogram. Jumlah ini cukup signifikan mengingat skala distribusi air yang dilayani oleh saluran irigasi di daerah tersebut.
“Salah satu tantangan utama dalam pengelolaan irigasi adalah penumpukan sampah di saluran yang mengganggu aliran air. Melalui pengolahan ini, kami berharap distribusi air semakin lancar dan produktivitas pertanian meningkat,” kata Dwi Agus.
Namun, program ini bukan hanya sekadar pengelolaan sampah. Lebih dari itu, BBWS Cimanuk-Cisanggarung juga sedang mengakselerasi modernisasi sistem irigasi di DI Rentang. Langkah ini mencakup pembaruan infrastruktur, peningkatan manajemen air, penguatan kelembagaan, hingga pengembangan sumber daya manusia yang bertugas dalam pengelolaan irigasi.
Modernisasi tersebut bertujuan agar sistem penyediaan air menjadi lebih andal dan adaptif terhadap perubahan iklim maupun kebutuhan petani. DI Rentang saat ini melayani area pertanian seluas 87.840 hektare dan memainkan peran penting dalam mendukung swasembada pangan nasional.
Target yang ditetapkan dalam proyek modernisasi ini pun cukup ambisius. Produktivitas padi yang sebelumnya berada pada angka rata-rata 5,6 ton per hektare, ditargetkan meningkat menjadi 6,5 ton per hektare. Luas tanam juga diharapkan melonjak hampir dua kali lipat, dari 43.229 hektare menjadi 86.423 hektare. Tak hanya itu, indeks pertanaman pun ditargetkan mengalami peningkatan signifikan dari 120% menjadi 230%.
Peningkatan ini akan membawa dampak ganda. Di satu sisi, petani akan memperoleh hasil panen yang lebih banyak dan berkualitas. Di sisi lain, sistem distribusi air yang lebih efisien juga akan membantu mengurangi potensi konflik antarpetani akibat perebutan air saat musim tanam tiba.
Menteri Pekerjaan Umum Dody Hanggodo dalam pernyataannya menegaskan bahwa bendung dan saluran irigasi yang dirawat dengan baik adalah tulang punggung dari sistem ketahanan pangan Indonesia. Ia menyoroti pentingnya distribusi air yang merata dan berkelanjutan, agar tidak hanya mencukupi kebutuhan saat ini, tetapi juga bisa diwariskan untuk generasi mendatang.
Dengan mengintegrasikan pengelolaan sampah ke dalam sistem irigasi, Kementerian PUPR menunjukkan bahwa pendekatan multisektor dapat memberikan hasil yang lebih efektif dalam menjaga ketahanan pangan. Tidak hanya infrastruktur keras seperti saluran dan bendung yang diperkuat, tetapi juga aspek lingkungan dan sosial yang menjadi penopang utama kelangsungan sistem pertanian.
Pendekatan ini juga bisa menjadi model percontohan bagi wilayah lain di Indonesia yang menghadapi masalah serupa. Sistem pengelolaan sampah irigasi bukan saja dapat memperpanjang umur teknis infrastruktur, tetapi juga bisa membuka peluang ekonomi baru dari hasil daur ulang.
Dengan seluruh inisiatif tersebut, Kementerian PUPR membuktikan bahwa pembangunan pertanian tidak bisa berdiri sendiri. Diperlukan kolaborasi lintas sektor dan pendekatan inovatif agar ketahanan pangan Indonesia benar-benar tercapai dalam arti yang menyeluruh.
Sebagai negara agraris dengan jumlah penduduk yang terus bertambah, Indonesia tidak bisa bergantung pada cara-cara lama dalam mengelola irigasi. Transformasi dan modernisasi — baik melalui penguatan infrastruktur maupun pemanfaatan limbah secara cerdas — menjadi keniscayaan agar ketahanan pangan tetap terjaga, bahkan meningkat secara berkelanjutan.