Batu Bara

Tambang Batu Bara Kaltim Antisipasi Fluktuasi Ekspor

Tambang Batu Bara Kaltim Antisipasi Fluktuasi Ekspor
Tambang Batu Bara Kaltim Antisipasi Fluktuasi Ekspor

JAKARTA - Ketidakpastian pasar batu bara global mendorong perusahaan-perusahaan tambang di Kalimantan Timur untuk terus berinovasi dan menyesuaikan strategi bisnis. Meski dinamika ekspor dan fluktuasi permintaan bukan hal baru, tantangan ini tetap memerlukan respons cepat dan terukur guna menjaga keberlangsungan operasional dan ketahanan sektor tenaga kerja.

Salah satu fokus utama yang kini diperkuat oleh perusahaan tambang adalah upaya adaptif menghadapi penurunan permintaan dari negara mitra dagang seperti China. Daevry Zulkani, Pengelola Izin Usaha Pertambangan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Kalimantan Timur, menuturkan bahwa pelaku usaha di wilayah ini tidak lagi bergantung pada satu pasar tujuan ekspor semata.

“Misalnya dulu bukan ke China, tapi ke Jepang. Ketika ada jeda atau perubahan pasar, mereka sudah siap. Saat terjadi kekosongan atau penurunan, mereka juga sudah punya langkah antisipasi. Yang paling harus disikapi adalah dampaknya terhadap tenaga kerja,” ujarnya dalam sebuah wawancara dengan media lokal.

Dalam menghadapi tantangan fluktuasi ekspor, perusahaan tambang disebut telah menyiapkan serangkaian strategi, termasuk pengurangan jam kerja karyawan sebagai bentuk efisiensi tanpa harus melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal. Respons semacam ini menjadi andalan untuk mempertahankan keseimbangan antara produktivitas dan kelangsungan usaha.

Fenomena fluktuasi ekspor sebenarnya bukan kejadian baru. Daevry mengingatkan bahwa situasi serupa pernah terjadi sebelumnya, termasuk pada tahun 2021, ketika sektor tambang mengalami penurunan produksi selama lebih dari setahun.

“Kalau bicara soal penurunan produksi, pelaku usaha pasti ingat 2021. Selama 14 bulan mereka mengalami penurunan signifikan. Meski harga batu bara masih bagus, dampaknya tetap terasa,” katanya.

Indikator penurunan produksi ini pun dapat terlihat dari minimnya aktivitas kapal pengangkut batu bara di jalur utama seperti Sungai Mahakam. Sepinya lalu lintas transportasi komoditas tersebut menjadi tanda nyata bahwa sektor tambang tengah menghadapi tekanan dari sisi permintaan.

Sejalan dengan tren global menuju transisi energi bersih, permintaan terhadap batu bara sebagai bahan bakar fosil memang diperkirakan akan terus mengalami tekanan. Hal ini tentu menjadi tantangan bagi daerah penghasil seperti Kalimantan Timur, yang selama ini mengandalkan sektor tambang sebagai salah satu penggerak utama ekonomi.

Namun demikian, kesiapan dan langkah jangka menengah yang telah disiapkan oleh perusahaan tambang dinilai menjadi angin segar. Salah satunya adalah upaya pengembangan fasilitas smelter batu bara, yang menjadi solusi strategis dalam meningkatkan nilai tambah komoditas serta memperluas diversifikasi produk.

Smelter batu bara sendiri merupakan fasilitas industri yang digunakan untuk mengolah batu bara menjadi produk turunan bernilai tinggi, seperti kokas, gas batu bara, hingga bahan baku energi lain. Melalui proses peleburan dan pemurnian, batu bara dapat dimanfaatkan lebih optimal tanpa sekadar dijual sebagai bahan mentah.

Langkah ini sejalan dengan arah kebijakan hilirisasi sumber daya alam yang digaungkan pemerintah pusat, serta menjadi bagian dari strategi menghadapi menurunnya permintaan ekspor ke negara-negara mitra.

“Sekarang fokusnya adalah smelter. Indonesia bisa memenuhi sekitar 49 persen kebutuhan smelter sendiri. Ini menjadi angin segar dalam menghadapi dampak penurunan produksi, termasuk jika ada pengurangan permintaan dari negara seperti China,” jelas Daevry.

Ia menambahkan bahwa sebagian besar perusahaan tambang kini telah menyusun rencana pengembangan jangka menengah hingga lima tahun ke depan. Fokusnya tidak lagi semata-mata pada produksi, melainkan pada ketahanan pasar dan penguatan industri hilir.

Selain smelter, strategi lain yang juga mulai dijalankan adalah diversifikasi pasar ekspor. Tidak bergantung pada satu negara pembeli membuat posisi tawar perusahaan tambang lebih kuat. Hal ini penting mengingat kebijakan energi di negara mitra bisa berubah sewaktu-waktu, apalagi dengan dorongan internasional untuk beralih ke energi ramah lingkungan.

Kebijakan adaptif juga diimplementasikan dalam pengelolaan sumber daya manusia. Alih-alih melakukan pemangkasan tenaga kerja secara langsung, banyak perusahaan memilih untuk menyesuaikan jadwal kerja dan efisiensi produksi sambil menunggu situasi pasar membaik. Pendekatan ini bertujuan menjaga keberlangsungan hidup para pekerja tambang, sekaligus menekan gejolak sosial akibat pengangguran massal.

Bersamaan dengan itu, pemerintah daerah melalui Dinas ESDM Kaltim juga terus memantau perkembangan pasar batu bara serta mendorong sinergi antara pemerintah dan pelaku industri agar sektor ini tetap tumbuh secara berkelanjutan. Meski batu bara bukan lagi primadona jangka panjang dalam skenario energi global, namun perannya masih sangat strategis bagi perekonomian daerah dan nasional dalam beberapa tahun ke depan.

Dengan bekal pengalaman mengatasi krisis sebelumnya, perusahaan-perusahaan tambang di Kalimantan Timur tampak kian matang dalam menavigasi dinamika pasar. Perencanaan yang cermat, kesiapan menghadapi skenario terburuk, serta inovasi dalam hilirisasi produk, menjadi bekal penting dalam menjaga stabilitas sektor pertambangan menghadapi tekanan global.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index