JAKARTA - Rencana ambisius pemerintah membangun kilang minyak baru dengan kapasitas kumulatif 1 juta barel per hari menuai perhatian dari kalangan pelaku industri. Meskipun proyek ini digadang-gadang untuk memperkuat ketahanan energi nasional, sejumlah pihak mengingatkan bahwa harga bahan bakar minyak (BBM) dari fasilitas tersebut bisa jadi lebih mahal, terutama karena konsep pembangunan kilang tersebar di 18 lokasi dengan skala kecil.
Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas), Moshe Rizal, menyoroti struktur proyek yang bersifat spot refinery atau kilang skala kecil. Menurutnya, pendekatan ini membuat biaya produksi BBM lebih tinggi dibandingkan kilang besar yang saat ini dioperasikan PT Pertamina (Persero).
“Kalau biayanya akhirnya tinggi per barelnya, itu kan ujung-ujungnya jadi memengaruhi either harga si BBM itu sendiri yang dijual ke masyarakat atau [anggaran] subsidi pemerintah,” kata Moshe.
Kilang skala kecil umumnya hanya mampu memproduksi antara 50.000 hingga 100.000 barel per hari. Meskipun nilai investasinya tidak sebesar kilang besar, efisiensi ekonominya patut dipertanyakan. Moshe mengingatkan bahwa meski skema pembangunan tersebar ini dianggap baik untuk pemerataan, sisi keekonomian dan keberlanjutannya harus dihitung secara cermat.
Ia juga menambahkan bahwa lokasi kilang yang tersebar di luar Pulau Jawa berpotensi menimbulkan beban logistik tambahan. Hal ini dapat memperbesar selisih biaya distribusi BBM ke wilayah-wilayah dengan tingkat konsumsi tinggi, seperti Jawa dan Bali.
“Kalau misalkan BBM-nya dipukul rata semua harganya sama dengan yang di Jawa, mau enggak mau kan harus dikompensasi perbedaan biayanya oleh subsidi pemerintah. Nah, itu kan nanti pengaruhnya di situ,” ujar Moshe lagi.
Meski demikian, ia menilai upaya pembangunan kilang di berbagai penjuru Indonesia tetap merupakan langkah yang baik. Namun, pemerintah diminta untuk menyeimbangkan semangat pemerataan dengan efisiensi biaya dan keberlanjutan jangka panjang.
“Sah-sah saja, bagus kalau memang membuat kilang ini atau kilang skala kecil di berbagai penjuru Indonesia, which is bagus. Cuma ya memang harus diperhatikan keekonomiannya,” tegas Moshe.
Sementara itu, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia memastikan bahwa proyek kilang 1 juta barel akan tetap berjalan. Proyek ini terbagi menjadi dua bagian utama, yakni pembangunan kilang dan pembangunan fasilitas penyimpanan minyak (storage).
Dalam dokumen prastudi kelayakan yang diserahkan kepada BPI Danantara pada Selasa, 22 Juli 2025, Bahlil mengungkapkan bahwa proyek ini akan menyedot investasi sebesar Rp160 triliun. Kilang dan fasilitas penyimpanan tersebut akan dibangun di 18 titik strategis yang tersebar di seluruh Indonesia.
Adapun 18 lokasi yang direncanakan untuk pembangunan kilang meliputi: Lhokseumawe, Sibolga, Natuna, Cilegon, Sukabumi, Semarang, Surabaya, Sampang, Pontianak, Badung (Bali), Bima, Ende, Makassar, Donggala, Bitung, Ambon, Halmahera Utara, dan Fakfak.
Dalam sambutannya, Bahlil menyebut bahwa proyek ini akan didukung oleh investasi dari Danantara serta akan dilaksanakan dengan sinergi bersama Satgas Energi Nasional. Salah satu tujuannya adalah membangun cadangan minyak mentah (crude storage) yang dapat digunakan selama 21 hari sebagai bagian dari strategi ketahanan energi nasional.
“Itu sudah ada dan akan kami diskusikan, termasuk kami akan membangun crude storage untuk ketahanan energi kita selama 21 hari dengan sinergi bersama Satgas dan Danantara,” kata Bahlil.
Lebih jauh, Bahlil menjelaskan bahwa proyek kilang ini mengalami penyesuaian dari rencana awal. Sebelumnya, pemerintah hanya menargetkan kapasitas produksi kilang baru sebesar 500.000 barel per hari. Namun, dalam rapat terbatas bersama Presiden Prabowo Subianto pada Mei lalu, diputuskan bahwa target kapasitas dinaikkan menjadi 1 juta barel per hari.
“[Rencana] yang tadinya kita akan bangun kurang lebih sekitar 500.000 bph, karena kita impor sekitar 1 juta bph, [sehingga] tadi ada terjadi perubahan, akan kita bangun nanti [kapasitasnya kumulatifnya] 1 juta bph,” jelasnya.
Perubahan rencana ini juga mencakup sebaran lokasi proyek. Jika sebelumnya pembangunan hanya akan terfokus pada satu lokasi besar, kini kilang-kilang akan disebar ke beberapa wilayah seperti Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
“Sehingga ini terjadi pemerataan,” tambah Bahlil, seraya menegaskan bahwa pembangunan crude storage tetap akan berjalan secara simultan dengan proyek kilang.
Namun, seperti diingatkan oleh Aspermigas, pemerataan lokasi kilang sebaiknya dibarengi dengan kalkulasi biaya yang matang. Jika tidak, maka dampaknya bisa dirasakan langsung oleh masyarakat dalam bentuk harga BBM yang lebih mahal atau beban subsidi energi yang makin besar bagi pemerintah.