Pendidikan

Ruang Pendidikan Difabel Tergusur Program Baru

Ruang Pendidikan Difabel Tergusur Program Baru
Ruang Pendidikan Difabel Tergusur Program Baru

JAKARTA - Pendidikan seharusnya menjadi ruang tumbuh bagi semua anak, tanpa kecuali. Namun, kenyataan tak selalu seindah visi yang tertulis dalam naskah kebijakan. Di Bandung, sebuah ironi tengah berlangsung: gedung Sekolah Luar Biasa (SLB) Negeri A Pajajaran yang selama ini menjadi tempat belajar anak-anak berkebutuhan khusus, kini harus berbagi tempat dengan program baru bernama Sekolah Rakyat. Bukan sekadar berbagi ruang secara fisik, tapi juga tergerus dalam makna, hak, dan rasa aman.

Kementerian Sosial meluncurkan Sekolah Rakyat sebagai bagian dari strategi pengentasan kemiskinan ekstrem. Program ini menjanjikan fasilitas pendidikan gratis, termasuk asrama dan kebutuhan dasar bagi anak-anak dari keluarga miskin. Sebuah inisiatif yang, dari permukaannya, terdengar sangat mulia.

Namun, ketika pelaksanaan kebijakan justru menggeser posisi mereka yang sudah lebih dulu terpinggirkan anak-anak difabel maka patut dipertanyakan kembali: apakah semangat membebaskan dari kemiskinan harus dibayar dengan mengorbankan ruang aman mereka yang paling membutuhkan perlindungan?

Seperti yang disampaikan Bu Wenni Herawati, guru di SLB Negeri A Pajajaran, situasi yang kini terjadi jauh dari ideal. “Dampaknya dengan kondisi kelas yang kurang, sangat tidak kondusif,” ujarnya. Kelas-kelas dibongkar, aktivitas belajar terganggu, dan anak-anak berkebutuhan khusus kembali harus menyesuaikan diri di tengah keterbatasan yang semakin sempit.

Potret ruang kelas yang dibongkar cepat beredar, menyulut tanya di kalangan publik. Apakah ini berarti SLB akan dipindahkan diam-diam? Apakah keberadaan mereka perlahan dihapuskan demi memberi jalan bagi bangunan baru bernama Sekolah Rakyat?

Sekolah Rakyat membawa misi besar: memutus rantai kemiskinan yang struktural. Program ini menjanjikan pendidikan berasrama tanpa biaya, dengan seragam dan makanan yang ditanggung negara. Instruksi Presiden No. 8 Tahun 2025 menjadi landasan legal formalnya.

Namun, di satu sisi, dampaknya sangat terasa bagi SLB yang kini harus mengalah. Ruang belajar yang sudah didesain khusus untuk anak-anak dengan kebutuhan khusus dipersempit. Alih-alih mendapat ruang tambahan untuk belajar lebih nyaman, mereka justru harus berbagi dengan institusi baru.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kebijakan antipoverty ini dijalankan tanpa memperhatikan prinsip inklusi? Bukankah semangat pendidikan inklusif seharusnya menjamin bahwa tak satu pun anak dikesampingkan?

Inklusi, dalam konteks pendidikan, bukanlah jargon semata. Ia adalah komitmen untuk memastikan semua anak, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau fisik, mendapatkan hak belajar yang sama. Anak-anak miskin dan anak-anak difabel seharusnya bisa tumbuh dalam ruang yang saling menerima, bukan bertabrakan di antara kebijakan yang menyingkirkan satu untuk mengakomodasi yang lain.

Dalam narasi ideal, antipoverty dan inklusi bisa berjalan beriringan. Namun di lapangan, mereka kerap kali bersaing dalam ruang yang sempit: terbatasnya anggaran, tata kelola yang setengah hati, dan pemaksaan solusi jangka pendek atas nama efisiensi.

Ironisnya, sekolah yang dibentuk untuk memerdekakan anak-anak dari kemiskinan justru menekan ruang tumbuh anak-anak difabel. Padahal, sebagaimana pesan Rasulullah, “Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad). Dalam pemahaman mubadalah, manfaat seharusnya tidak hanya dirasakan oleh satu kelompok saja, tetapi juga oleh kelompok lain yang lebih rentan.

Islam mengajarkan bahwa menolong satu pihak sambil mencederai pihak lain bukanlah jalan keadilan. Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 58 menyatakan dengan tegas bahwa keadilan adalah pilar utama dalam menetapkan kebijakan. Menempatkan sesuatu pada tempatnya—itulah esensi dari keadilan yang diajarkan para ulama.

Jika demikian, sudah seharusnya pembangunan Sekolah Rakyat tidak merampas ruang belajar SLB. Tidak ada alasan yang cukup bijak untuk membongkar ruang yang selama ini melayani anak-anak berkebutuhan khusus. Kenapa tidak membangun gedung baru di lahan yang masih kosong? Mengapa mimpi baru harus diwujudkan dengan cara meruntuhkan mimpi lama?

SLB bukan sekadar bangunan. Ia adalah tempat anak-anak difabel belajar mengenal dunia, tumbuh dengan dukungan yang sesuai kebutuhan mereka, dan membangun harga diri yang tak mudah digenggam di ruang sosial lainnya. Sekolah ini adalah tempat yang menyediakan bukan hanya pendidikan, tetapi juga pengakuan.

Sebaliknya, Sekolah Rakyat juga punya peran penting. Ia bisa menjadi jawaban atas kemiskinan yang melilit banyak keluarga. Tapi mimpi untuk menyelamatkan satu kelompok tak seharusnya menyingkirkan kelompok lain dari jalur pertumbuhan.

Pemerintah tentu punya alasan dan strategi kebijakan. Namun, publik juga berhak mempertanyakan letak keadilan dalam realisasinya. Karena yang terlihat hari ini, suara guru semakin lirih, ruang belajar semakin sesak, dan anak-anak difabel kembali jadi korban dari sistem yang belum benar-benar inklusif.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index