Bisnis

Bisnis Hotel Masih Tertekan, Pemulihan Belum Terlihat

Bisnis Hotel Masih Tertekan, Pemulihan Belum Terlihat
Bisnis Hotel Masih Tertekan, Pemulihan Belum Terlihat

JAKARTA - Industri perhotelan nasional masih bergulat menghadapi tekanan yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda. Meskipun paruh kedua tahun ini biasanya menjadi momentum pertumbuhan karena adanya peningkatan aktivitas liburan dan MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition), realitas di lapangan ternyata belum sejalan dengan ekspektasi.

Pelaku usaha di sektor ini masih menghadapi sejumlah kendala yang menyulitkan percepatan pemulihan. Lemahnya daya beli masyarakat, terbatasnya mobilitas domestik, serta minimnya realisasi anggaran pemerintah untuk kegiatan di hotel masih menjadi batu sandungan besar. Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) menyuarakan keprihatinan terhadap situasi ini yang membuat prospek semester II belum menjanjikan.

Sekretaris Jenderal PHRI, Maulana Yusran, menjelaskan bahwa kondisi selama enam bulan pertama tahun ini cukup berat bagi industri hotel. Sektor yang biasanya mengandalkan penyelenggaraan acara pemerintah kini kehilangan salah satu tulang punggung utama pasarnya.

“Semester I cukup berat. Banyak kegiatan besar yang hilang, terutama dari pemerintah. Di semester II, meskipun ada sinyal positif seperti pelonggaran aktivitas pemerintah di hotel, implementasinya masih sangat terbatas,” kata Maulana.

Libur sekolah yang biasa menjadi momen peningkatan tingkat hunian hotel juga tidak memberikan dampak signifikan. Insentif yang diberikan pemerintah seperti diskon tiket pesawat dinilai tidak efektif karena tidak dikomunikasikan secara optimal dan terlalu mendadak. Hal ini mempersulit masyarakat dalam merencanakan perjalanan wisata dengan matang.

“Libur sekolah kemarin memang ada peningkatan okupansi harian, tapi hanya di akhir pekan. Secara mingguan tetap lebih rendah dibanding tahun lalu. Kalau travel plan itu kan idealnya dirancang dua sampai tiga bulan sebelumnya, bukan last minute,” ungkapnya.

Belum pulihnya mobilitas masyarakat juga membuat tingkat okupansi hotel sulit bergerak naik secara stabil. Sementara itu, sektor transportasi yang turut menopang industri pariwisata pun masih mengalami penurunan, tercermin dari pembatalan rute dan berkurangnya frekuensi penerbangan.

Menurut Maulana, hingga kini belum ada indikator kuat yang menunjukkan peningkatan belanja dari instansi pemerintah. Padahal kuartal ketiga dan keempat secara historis merupakan periode ramai kegiatan. Namun, realisasinya masih minim.

“Pemerintah memang sudah membuka opsi kegiatan di hotel, tapi sejauh ini belum banyak kegiatan besar yang muncul. Bahkan dari sektor transportasi, kami masih melihat penurunan jumlah rute dan pembatalan penerbangan,” tambahnya.

PHRI juga mencermati tren penerimaan pajak daerah (PHD) dari sektor hotel dan restoran yang mengalami penurunan. Ini menjadi cerminan nyata bahwa kinerja industri belum membaik. Jika tren ini berlanjut, dampaknya tidak hanya dirasakan tahun ini, tetapi juga bisa menekan anggaran daerah pada tahun berikutnya.

“Pajak restoran dan hotel itu termasuk penyumbang terbesar PHD di banyak daerah. Kalau semester I turun dan semester II tidak bisa menutupi, 2026 akan lebih berat karena transfer ke daerah bisa terpangkas. Itu jadi sinyal bahwa secara keseluruhan sektor ini tidak tumbuh,” kata Maulana.

Di tengah tantangan yang terus berlangsung, PHRI menekankan perlunya dukungan nyata dari pemerintah pusat dan daerah untuk menggerakkan ekonomi lokal. Program-program kegiatan di hotel yang melibatkan pelaku UMKM dinilai dapat membantu roda ekonomi berputar, terutama di kota-kota yang mengandalkan sektor pariwisata.

“Kami butuh kebijakan yang berpihak pada pergerakan ekonomi domestik. Saat ini terlalu banyak pembatasan dan beban tambahan seperti kenaikan biaya perizinan serta pajak yang menyasar ke mana-mana. Tanpa pemulihan daya beli dan mobilitas, industri ini akan sulit pulih,” jelas Maulana.

Namun demikian, tidak semua pelaku industri menyuarakan nada pesimis. Sejumlah pengusaha melihat masih ada peluang perbaikan, khususnya jika kebijakan pemerintah memberikan ruang bagi pemulihan kegiatan di sektor hospitality.

Direktur PT Ciputra Development Tbk (CTRA), Harun Hajadi, mengakui bahwa paruh pertama tahun ini merupakan periode sulit bagi sektor perhotelan. Tingkat hunian hotel menurun sekitar 8%, terutama disebabkan oleh kebijakan efisiensi anggaran dari pemerintah.

“Ya memang di semester I sektor hospitality ada penurunan, kira-kira sekitar 8%. Saya melihat memang pasti ada pengaruh dari program efisiensi dari pemerintah,” jelas Harun.

Namun Harun optimistis terhadap potensi pemulihan pada semester II. Menurutnya, ada indikasi perbaikan okupansi yang mungkin disebabkan oleh pelonggaran kebijakan pemerintah terkait kegiatan rapat dan pertemuan di hotel.

“Di semester II ada perbaikan dari okupansi, mungkin juga disebabkan karena ada perubahan policy. Mudah-mudahan pemerintah membuka lagi kran untuk meeting-meeting di hotel-hotel,” harapnya.

Optimisme ini menggambarkan bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat, sektor perhotelan masih memiliki peluang untuk bangkit. Kuncinya terletak pada bagaimana pemerintah dan pelaku industri mampu bersinergi memanfaatkan momentum yang tersisa di tahun ini.

Ke depan, jika mobilitas masyarakat meningkat dan pemerintah kembali aktif menggelar kegiatan di hotel, maka industri perhotelan bisa kembali menggeliat. Namun jika tekanan terus berlanjut tanpa intervensi signifikan, maka masa depan sektor ini bisa semakin suram hingga tahun depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index