Transportasi

Transportasi Becak Hidup Arwah

Transportasi Becak Hidup Arwah
Transportasi Becak Hidup Arwah

JAKARTA - Di tengah gegap gempita modernisasi transportasi yang kian cepat dan digital, keberadaan becak masih menyisakan ruang kecil namun berarti dalam dinamika kehidupan urban. Di Kota Depok, sosok seperti Arwah, pengayuh becak berusia 58 tahun asal Sukabumi, menjadi bukti nyata bahwa alat transportasi tradisional ini belum sepenuhnya ditinggalkan. Bagi Arwah, becak bukan sekadar kendaraan. Ia adalah warisan, napas hidup, dan jembatan harapan yang terus ia kayuh di sela deru zaman.

Meski roda waktu terus berputar cepat, melahirkan teknologi canggih seperti ojek online dan transportasi berbasis aplikasi, becak tetap hadir sebagai simbol ketekunan, terutama bagi para pengayuhnya yang masih berusaha bertahan di tengah persaingan yang tak seimbang. Arwah, yang telah dua dekade lebih menjalani hidup sebagai tukang becak di Depok, termasuk di antara mereka yang menolak menyerah.

Becak yang ia kayuh sehari-hari bukanlah alat transportasi biasa. Itu adalah satu-satunya warisan dari ayahnya. Kini, kendaraan roda tiga itu menjadi tumpuan hidup Arwah, yang saban hari mangkal di kawasan Stasiun Depok Baru dan Jalan Nusantara. Di sanalah ia menawarkan jasanya, berbaur dengan para pengemudi ojek online dan angkutan umum yang mendominasi pasar transportasi lokal.

“Saya cuma punya ini (becak), enggak bisa (keahlian) apa-apa lagi, selalu keliling di daerah sini (stasiun) terus, paling jauh Beji,” ungkap Arwah.

Bagi sebagian orang, pekerjaan sebagai tukang becak mungkin tampak usang atau tak lagi menjanjikan. Namun, bagi Arwah, pilihan ini bukan sekadar tentang uang, tetapi juga tentang mempertahankan martabat dan menjalani hidup sesuai kemampuan. Dari pagi hingga sore, ia berkeliling kota, mencari penumpang di berbagai titik, termasuk di sekitar Pasar Depok Jaya.

“Biasa nunggu penumpang juga bareng sama ojol, saingan sama angkot. Tapi ya enggak apa-apa sih, namanya rezeki,” ujarnya dengan pasrah, namun tetap bersemangat.

Dalam sehari, Arwah hanya mampu mengantar dua sampai tiga penumpang. Tarif yang ia tetapkan tergantung jarak, dan sering kali, pendapatannya tidak sebanding dengan tenaga yang ia keluarkan. Kadang, ia harus pulang dengan tangan kosong.

“Paling kalau hari biasa dapat Rp 30.000, kalau lagi ramai ya Rp 80.000 pernah,” kata Arwah. Ia tetap bersyukur meski penghasilan tak pasti. Selama bisa makan dan membayar kontrakan bulanannya yang hanya Rp 200.000, ia merasa hidupnya cukup.

“Yang penting kan nabung buat bayar kontrakan. Kalau makan urusan gampang,” ujarnya.

Keteguhan Arwah dalam mengayuh becak bukan semata-mata karena keterbatasan pilihan. Ia mengaku tidak pernah tertarik mencari pekerjaan lain, meski mungkin ada yang menawarkan penghasilan lebih tinggi. Baginya, hidup adalah tentang menjalani apa yang ada dengan sepenuh hati dan keyakinan bahwa rezeki sudah ditentukan.

Saat mencoba menumpang becak Arwah dari Jalan Nusantara menuju Stasiun Depok Baru, pengalaman yang dirasakan begitu kontras dibandingkan dengan kendaraan bermotor. Laju becak yang perlahan memberi waktu untuk menikmati suasana kota, sementara angin berhembus lembut menemani kayuhan kaki Arwah yang berat namun konsisten. Dalam diam, ada irama kesabaran yang membungkus perjalanan singkat itu.

Becak milik Arwah masih tampak tangguh, dihiasi cat berwarna merah dan kuning. Tirai kain digulung rapi, siap digunakan saat terik matahari menyengat atau debu jalanan menari di udara. Kendaraan ini, meskipun sederhana, telah mengantarkan banyak cerita dari satu sudut kota ke sudut lainnya.

Mereka yang mengenal Arwah tahu bahwa ia bukan sekadar tukang becak. Ia adalah potret ketabahan dalam balutan kesederhanaan. Ia adalah bagian dari wajah kota yang perlahan-lahan mulai tersingkir oleh kemajuan, namun belum sepenuhnya hilang.

Dalam perspektif yang lebih luas, kisah Arwah mencerminkan dilema banyak pekerja informal yang terpinggirkan oleh teknologi, namun tak punya banyak pilihan selain bertahan dengan apa yang mereka miliki. Ia menunjukkan bahwa kemajuan bukan hanya soal efisiensi dan percepatan, tapi juga menyisakan ruang untuk manusia yang masih menggantungkan harapannya pada cara-cara lama.

“Rezeki sudah ada yang ngatur,” tuturnya. Kalimat sederhana itu mencerminkan filosofi hidup yang dalam, sekaligus menjadi pegangan bagi mereka yang memilih bertahan saat arus perubahan terlalu deras.

Keberadaan becak di Depok mungkin tak sekuat dulu. Namun selama masih ada sosok seperti Arwah yang setia mengayuh dan menjaga tradisi ini, becak akan tetap menjadi bagian dari denyut kota. Tidak hanya sebagai alat transportasi, tapi sebagai simbol ketekunan, kejujuran, dan semangat hidup yang tak mudah padam.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index