JAKARTA - Upaya untuk memperbaiki kepercayaan publik terhadap sistem perbankan nasional kini menjadi sorotan utama Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Langkah konkret dilakukan lembaga pengawas sektor keuangan ini dengan menyatakan akan merevisi aturan terkait rekening dormant atau rekening tidak aktif di bank. Keputusan ini muncul menyusul reaksi keras dari masyarakat terhadap kebijakan pemblokiran rekening dormant oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
Meski tidak mengomentari secara langsung tindakan yang sudah dilakukan oleh PPATK, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae, menegaskan bahwa lembaganya segera menyusun ulang regulasi untuk memperjelas hak dan kewajiban bank dan nasabah terkait pengelolaan rekening, termasuk yang masuk kategori dormant.
"Dalam waktu dekat OJK akan mengatur ulang pengelolaan rekening di bank untuk memperjelas hak dan kewajiban bank dan nasabah, termasuk mengatur ulang pengelolaan rekening dormant oleh bank," kata Dian.
Langkah revisi aturan ini dipandang sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas serta memperkuat integritas sistem keuangan Indonesia. Di tengah meningkatnya kekhawatiran masyarakat, OJK menggarisbawahi pentingnya pengelolaan rekening yang tidak aktif dilakukan secara lebih transparan dan akuntabel, guna menjaga iklim kepercayaan publik terhadap institusi perbankan.
Dian menambahkan, meskipun rincian perubahan regulasi belum disampaikan, tetapi kebijakan baru nantinya akan mengacu pada misi strategis pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk meningkatkan inklusi keuangan di seluruh Indonesia.
"Dengan ketentuan baru ini diharapkan akan menjaga stabilitas dan integritas sistem perbankan dan keuangan sehingga bank dapat berfungsi lebih baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia," ujar Dian.
Dasar Hukum dan Celah Kebijakan
Sebelumnya, pengelolaan rekening dormant diatur dalam Peraturan OJK Nomor 1 Tahun 2022 tentang Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif. Pada Pasal 6 ayat 6, disebutkan bahwa tabungan dasar (basic saving account) dapat dialihkan menjadi rekening dormant jika dalam enam bulan berturut-turut tidak ada saldo dan tidak terdapat transaksi aktif. Transaksi seperti pengkreditan bunga atau bagi hasil tidak dihitung sebagai aktivitas transaksi.
Namun dalam ketentuan itu pula, OJK memberi kewenangan kepada masing-masing bank untuk menentukan prosedur penanganan rekening dormant, selama mengacu pada prinsip kehati-hatian dan perlindungan konsumen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999.
Keleluasaan bank dalam menangani rekening dormant inilah yang menjadi ruang bagi PPATK untuk mengambil langkah lanjutan.
PPATK Ambil Langkah Pencegahan
Beberapa waktu lalu, PPATK menyatakan telah melakukan penghentian sementara transaksi pada rekening dormant, sebagai upaya mencegah potensi penyalahgunaan dalam tindak pidana seperti pencucian uang, transaksi narkoba, korupsi hingga judi online.
Lembaga ini juga memastikan bahwa dana nasabah tetap aman dan tidak berkurang, serta rekening bisa kembali diaktifkan jika prosedur yang ditetapkan telah diikuti.
Dalam pernyataan resminya, PPATK mengklaim bahwa tindakan pemblokiran dilakukan berdasarkan hasil analisis selama lima tahun terakhir. Mereka menemukan bahwa banyak rekening dormant dipakai tanpa sepengetahuan pemiliknya untuk menampung dana hasil kejahatan.
"Seiring dengan maraknya penyalahgunaan rekening dormant, serta setelah dilakukan upaya pengkinian data nasabah, berdasarkan data yang diperoleh dari perbankan pada bulan Februari 2025, pada tanggal 15 Mei 2025 PPATK melakukan penghentian sementara transaksi pada rekening yang dikategorikan dormant," tulis PPATK dalam keterangan resminya.
Berdasarkan catatan, terdapat lebih dari 140.000 rekening dormant yang tidak aktif lebih dari 10 tahun, dengan total dana mencapai Rp 428,61 miliar.
Reaksi Kritis dari Masyarakat
Meski PPATK berdalih bahwa tindakan tersebut demi keamanan sistem keuangan, gelombang protes muncul dari masyarakat. Banyak warga merasa dirugikan karena pemblokiran dilakukan tanpa pemberitahuan, dan prosedur pembukaan blokir dinilai menyulitkan.
Seperti dialami oleh EH (43), warga Bekasi, yang mengaku terkejut ketika mengetahui bahwa rekening miliknya diblokir. Padahal, rekening itu ia siapkan untuk biaya pendidikan anak sebesar Rp 14 juta.
"Kebijakan aneh saja sih, jadi kayak random gitu. Kasihan buat orang-orang yang sangat butuh jadi terkendala," ujarnya.
EH sudah mencoba klarifikasi ke bank, namun belum mendapatkan kepastian. Ia mengaku frustrasi karena pihak bank menyebut bahwa keputusan pemblokiran datang dari PPATK, bukan dari internal bank.
"Saya sempat marah-marah di sana. Alasannya bukan kebijakan bank, tapi PPATK," kata EH.
Ia mendesak agar pemerintah lebih selektif dalam melakukan pemblokiran. "Lebih selektif jangan kayak gini, dia harus menganalisis dulu sebelum memblokir. Enggak random kayak gini," tambahnya.
Senada dengan itu, Azahra (26), karyawan swasta dari Bogor, juga mengungkapkan kekecewaannya. Rekening miliknya yang digunakan untuk menyimpan dana darurat tiba-tiba diblokir.
"Saya kaget pas tahu rekening saya diblokir, padahal itu saya pakai untuk simpan uang saja. Kan enggak semua orang pakai rekening buat transaksi," kata Azahra saat ditemui di Dukuh Atas, Jakarta Pusat.
"Itu tabungan buat keperluan mendesak. Jadi memang enggak sering dipakai, tapi kenapa tiba-tiba diblokir," lanjutnya.
Langkah Revisi Diharapkan Jadi Solusi
Dengan keputusan OJK untuk merevisi regulasi rekening dormant, masyarakat berharap ada kepastian hukum dan perlindungan lebih baik atas kepemilikan dana di rekening bank. Proses klarifikasi yang lebih mudah, sistem peringatan awal, dan prosedur transparan menjadi harapan publik.
Kini, OJK berada di posisi penting untuk meredam kekhawatiran nasabah serta menyeimbangkan kebutuhan pengawasan dan perlindungan konsumen dengan tetap menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.