JAKARTA - Gejolak harga komoditas pertanian kembali menjadi sorotan, kali ini datang dari Kabupaten Rembang, Jawa Tengah. Para petani tebu di wilayah tersebut tengah dilanda kekhawatiran yang mendalam menyusul penurunan harga tebu yang terjadi secara bertahap dalam beberapa pekan terakhir. Kondisi ini tidak hanya membuat mereka kehilangan keuntungan, namun juga berpotensi menimbulkan kerugian besar yang mengancam keberlanjutan usaha tani mereka.
Dalam satu bulan terakhir, harga tebu di Rembang telah mengalami penurunan signifikan. Di akhir Juni lalu, harga tebu masih stabil di angka Rp870.000 per ton. Namun, memasuki awal Agustus, nilai jualnya merosot tajam hingga mencapai Rp810.000 per ton. Penurunan ini tidak terjadi sekaligus, melainkan bertahap: dari Rp870.000 menjadi Rp850.000 per ton, kemudian merosot lagi ke Rp820.000, hingga akhirnya menyentuh angka Rp810.000 per ton pada Minggu.
Turunnya harga tersebut menjadi pukulan telak bagi petani. Mereka mengaku telah menerima pemberitahuan dari pihak Pabrik Gula (PG) Trangkil di Kabupaten Pati mengenai kemungkinan penurunan harga. Namun, dalam pemberitahuan tersebut, tidak dijelaskan secara rinci berapa besar penurunannya, sehingga para petani merasa kaget ketika melihat angka aktual di lapangan.
- Baca Juga Kinerja Migas PHE Jaga Energi Nasional
Salah seorang petani tebu dari Kecamatan Rembang Kota mengungkapkan bahwa penyebab penurunan harga, menurut pihak pabrik, adalah karena turunnya rendemen atau kandungan gula dalam batang tebu. Menurutnya, fenomena ini terjadi karena curah hujan yang masih tinggi menjelang masa panen, sehingga kualitas tebu ikut terdampak.
"Alasan klasik turunnya harga tebu adalah rendemen atau kandungan gula menurun. Ini disebabkan pada saat menjelang tebang, masih sering turun hujan," jelasnya sebagaimana dikutip dari Kantor Berita RMOLJateng.
Petani lainnya menambahkan bahwa ketika harga tebu masih berada di kisaran Rp870.000 per ton, mereka masih bisa mendapatkan margin keuntungan yang cukup untuk menutup biaya operasional, termasuk upah buruh dan ongkos angkut. Namun, dengan harga terbaru Rp810.000, keuntungan tersebut lenyap dan berganti dengan kerugian.
"Upah tenaga tebang dan biaya angkut naik," keluh H. Tugiran, seorang petani tebu asal Rembang Kota. Ia menekankan bahwa beban biaya produksi yang semakin tinggi membuat margin keuntungan petani semakin tipis, bahkan bisa minus jika harga terus anjlok.
Kondisi ini memicu kekhawatiran serius di kalangan petani, terutama menjelang masa panen utama yang seharusnya menjadi momentum meraih hasil maksimal. Realita di lapangan justru sebaliknya: alih-alih mendapat hasil besar, mereka kini harus menghadapi potensi kerugian yang bisa mengguncang stabilitas ekonomi rumah tangga mereka.
Ketua Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Kabupaten Rembang, Utomo, turut angkat bicara mengenai situasi yang sedang dihadapi para petani. Ia membenarkan bahwa harga tebu yang terus menurun hingga mencapai Rp810.000 per ton akan sangat merugikan petani.
"Beberapa waktu lalu pihaknya memang telah mendapat informasi dari manajemen PG Trangkil bahwa akan ada penurunan harga tebu. Alasannya rata-rata rendemen turun," terang Utomo saat dihubungi.
Ia menambahkan bahwa penurunan rendemen memang kerap menjadi alasan utama pihak pabrik untuk menurunkan harga beli. Namun, Utomo juga menyoroti bahwa alasan ini sudah terlalu sering digunakan, dan petani merasa tidak ada solusi nyata untuk membantu mereka menjaga kualitas tebu di tengah kondisi cuaca yang tidak menentu.
Dalam konteks ini, persoalan harga tebu bukan hanya soal perhitungan ekonomi semata, melainkan berkaitan langsung dengan kesejahteraan petani dan masa depan sektor pertanian tebu secara lebih luas. Ketika harga jatuh dan biaya produksi meningkat, maka bukan hanya produktivitas yang terganggu, tetapi juga minat generasi muda untuk melanjutkan usaha tani tebu menjadi ikut surut.
Lebih lanjut, Utomo juga menyoroti pentingnya sinergi antara pemerintah, pabrik gula, dan petani agar sistem tata niaga tebu bisa lebih adil dan berkelanjutan. Menurutnya, perlu ada kebijakan yang melindungi harga dasar tebu rakyat agar tidak terlalu mudah digerakkan oleh fluktuasi pasar dan alasan teknis semata.
Saat ini, para petani berharap agar ada intervensi dari pihak-pihak terkait untuk menstabilkan harga dan memberikan kepastian kepada mereka yang sudah berbulan-bulan merawat tanaman dengan penuh harap. Jika tidak ada tindakan konkret, dikhawatirkan kondisi ini bisa menurunkan semangat petani dan mengurangi luas lahan tebu yang dikelola masyarakat di masa mendatang.
Sebagai penopang industri gula nasional, nasib petani tebu seharusnya mendapat perhatian lebih besar. Harga yang adil dan stabil bukan hanya menjaga kelangsungan ekonomi petani, tetapi juga menjamin pasokan bahan baku bagi industri gula domestik yang masih sangat bergantung pada produksi lokal.