Minyak

Minyak Kembali Diperbincangkan Usai Manuver OPEC dan Trump

Minyak Kembali Diperbincangkan Usai Manuver OPEC  dan Trump
Minyak Kembali Diperbincangkan Usai Manuver OPEC dan Trump

JAKARTA - Tekanan terhadap harga minyak dunia kembali mencuat di tengah dinamika produksi yang meningkat dan geopolitik yang memanas. Pada Selasa waktu setempat (Rabu WIB), harga minyak mentah terpantau turun seiring langkah OPEC+ yang memutuskan menambah pasokan serta kekhawatiran akan lesunya permintaan global.

Penurunan ini dipicu oleh keputusan koalisi negara pengekspor minyak dan sekutunya (OPEC+), yang sepakat untuk menaikkan produksi sebanyak 547.000 barel per hari mulai September. Keputusan yang diumumkan pada Minggu sebelumnya ini sekaligus mempercepat penghentian kebijakan pemangkasan produksi yang telah lama dijalankan guna menjaga kestabilan harga.

Penguatan pasokan dari OPEC+ menambah tekanan pada pasar, terutama ketika kekhawatiran terhadap perlambatan ekonomi global masih tinggi. Hal ini ditandai dengan turunnya harga minyak mentah Brent sebesar USD 1,12 atau 1,63% ke level USD 67,64 per barel. Sementara itu, harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) AS juga merosot USD 1,13 atau 1,7%, ditutup di posisi USD 65,16 per barel.

Kedua patokan harga tersebut sebelumnya juga mencatat pelemahan lebih dari 1% pada awal pekan, dengan level harga mendekati titik terendah dalam sepekan terakhir.

Situasi semakin kompleks ketika Presiden AS Donald Trump kembali mengeluarkan pernyataan keras terhadap India, menyusul langkah negara tersebut yang tetap membeli minyak dari Rusia. Trump bahkan mengancam akan memberlakukan tarif lebih tinggi atas berbagai produk India, menandai eskalasi ketegangan dagang antara kedua negara.

India sendiri tercatat sebagai pembeli terbesar minyak mentah lintas laut dari Rusia. Data dari sumber perdagangan yang dikutip oleh Reuters menyebutkan, selama periode Januari hingga Juni 2025, India mengimpor sekitar 1,75 juta barel per hari—naik 1% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Ancaman tarif dari Washington, yang menyasar pembelian energi India, langsung menuai reaksi dari pemerintah New Delhi. India menyebut tekanan tersebut “tidak dapat dibenarkan” dan menyatakan akan tetap melindungi kepentingan ekonominya.

Meski demikian, pasar minyak global tampak tidak terlalu terpengaruh secara langsung oleh retorika Trump. Analis dari UBS, Giovanni Staunovo, menyebut bahwa reaksi terbatas dari pasar menunjukkan sikap skeptis para pelaku terhadap kemungkinan terjadinya gangguan pasokan akibat tindakan AS.

“Saya menyebutnya pasar minyak yang stabil. Asumsikan hal ini kemungkinan akan berlanjut sampai kita mengetahui apa yang diumumkan presiden AS terkait Rusia akhir pekan ini dan bagaimana reaksi para pembeli tersebut,” ujar Staunovo.

Selain faktor produksi dan ketegangan geopolitik, perhatian pasar juga terfokus pada potensi perlambatan permintaan minyak. Beberapa analis memperkirakan bahwa pertumbuhan ekonomi global berisiko melambat pada paruh kedua tahun ini.

JPMorgan bahkan menyatakan pada Selasa bahwa risiko resesi di Amerika Serikat tergolong tinggi. Di sisi lain, kebijakan internal Tiongkok yang dikaji melalui rapat Politbiro pada bulan Juli juga memperlihatkan sinyal pengurangan stimulus ekonomi. Fokus pemerintah kini beralih ke arah penyeimbangan struktural, ketimbang pelonggaran kebijakan yang mendorong konsumsi.

Sebelumnya, pasar minyak telah mengalami tekanan selama tiga hari berturut-turut. Penurunan harga yang berlanjut ini tak lepas dari pengumuman OPEC+ yang berencana meningkatkan produksi secara besar-besaran mulai September.

Menurut Andy Nugraha, analis dari Dupoin Futures Indonesia, perubahan sikap OPEC+ dari penahan pasokan menjadi agresor pasokan merupakan pemicu utama pelemahan harga minyak. “OPEC+, yang selama ini menahan produksi untuk menopang harga, kini berbalik arah dengan menambah pasokan hingga 547.000 barel per hari,” katanya.

Langkah ini dinilai sebagai strategi untuk merebut kembali pangsa pasar global, namun di sisi lain berisiko menciptakan kelebihan pasokan dalam jangka pendek.

Pada perdagangan Senin, 4 Agustus 2025, harga WTI anjlok 1,5% ke level USD 66,29 per barel—menjadi penutupan terendah dalam sepekan. Sementara pada Selasa (5/8), harga cenderung stagnan di USD 66,27 per barel, turun tipis 0,03%, menunjukkan pasar masih dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Dari sisi teknikal, Andy menyebut bahwa tren penurunan masih sangat dominan. “Kombinasi pola candlestick harian dan indikator Moving Average menunjukkan kecenderungan bearish yang semakin kuat. Jika tekanan jual berlanjut, harga WTI bisa turun mendekati support kritis di USD 65 per barel,” jelasnya.

Meski demikian, peluang rebound tetap terbuka jika terjadi koreksi teknikal atau aksi beli jangka pendek. Andy menyebut level resistance terdekat berada di kisaran USD 67 per barel.

Secara keseluruhan, sentimen pasar minyak saat ini sangat rentan dipengaruhi baik oleh kebijakan pasokan dari produsen utama seperti OPEC+, maupun dinamika geopolitik seperti tekanan dari AS terhadap pembelian minyak Rusia. Sinyal perlambatan ekonomi di negara-negara besar juga menjadi faktor penentu arah harga minyak ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index