Panas Bumi

Panas Bumi Hemat Devisa Triliunan Rupiah

Panas Bumi Hemat Devisa Triliunan Rupiah
Panas Bumi Hemat Devisa Triliunan Rupiah

JAKARTA - Potensi penghematan devisa yang sangat besar tengah menjadi sorotan dalam pengembangan proyek energi panas bumi di Indonesia. Meski tantangan efisiensi biaya masih membayangi, kolaborasi antara PT Pertamina dan PT PLN dalam mengembangkan 19 proyek panas bumi berkapasitas total 530 megawatt (MW) diyakini akan membawa dampak signifikan terhadap fiskal dan moneter nasional.

Proyek Kolaborasi dan Percepatan Implementasi

Proyek-proyek ini berada di bawah fasilitasi BPI Danantara dan diharapkan dapat menciptakan terobosan dalam penyediaan energi bersih di Indonesia. Pengembangan tersebut tidak hanya menargetkan pemanfaatan sumber daya alam, tetapi juga mencakup penyusunan skema optimal, pemanfaatan wilayah kerja panas bumi, hingga pembentukan tim kerja bersama serta komite gabungan (joint committee) untuk mempercepat implementasinya.

Efisiensi Subsidi Listrik dan Dampaknya terhadap Fiskal

Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, memandang bahwa pengembangan panas bumi dapat menjadi strategi penting untuk menekan subsidi listrik dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Efisiensi ini, lanjutnya, akan memberikan efek positif terhadap penguatan kondisi fiskal Indonesia.

Ia menambahkan, “Substitusi tenaga listrik dari PLTD dengan listrik panas bumi berpotensi dapat menurunkan kebutuhan devisa impor migas dan memperbaiki kondisi sektor moneter Indonesia.”

Biaya Pembangkitan Lebih Murah Dibanding Rata-rata Nasional

Berdasarkan data dari Statistik PLN, listrik yang dihasilkan dari pembangkit panas bumi memiliki rata-rata biaya pembangkitan yang lebih rendah dibandingkan rata-rata pembangkitan nasional. Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, biaya pembangkitan listrik panas bumi tercatat rata-rata hanya Rp1.108 per kWh. Ini masih lebih rendah dibandingkan biaya rata-rata nasional sebesar Rp1.563 per kWh untuk periode yang sama.

Perbandingan Biaya: Panas Bumi vs PLTD dan PLTG

Efisiensi semakin terasa ketika membandingkan panas bumi dengan pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD) dan pembangkit listrik tenaga gas (PLTG). Menurut Komaidi, biaya pembangkitan dari PLTD dan PLTG masing-masing mencapai Rp5.737 per kWh dan Rp1.701 per kWh pada periode 2019–2023, jauh di atas pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) yang hanya Rp749 per kWh.

Dengan kapasitas terpasang PLTD saat ini sebesar 3.426 MW dan asumsi harga minyak mentah global sekitar US$70 per barel, penggantian PLTD dengan PLTP dapat menghemat devisa hingga US$6,53 miliar, atau setara Rp106,87 triliun per tahun (kurs Rp16.366 per US$). Ini menjadi alasan kuat mengapa pengembangan panas bumi dinilai sebagai langkah strategis jangka panjang.

Efisiensi Bahan Bakar Gas dari PLTG

Di sisi lain, substitusi PLTG dengan pembangkit panas bumi juga dapat meningkatkan efisiensi dari sisi bahan bakar. Kapasitas terpasang PLTG saat ini mencapai 2.798,65 MW, dan dengan asumsi harga gas sebesar US$8 per MMbtu, penggantian ini berpotensi menekan biaya penyediaan bahan bakar hingga US$1,04 miliar, atau sekitar Rp17,02 triliun per tahun.

Dampak Berganda terhadap Ekonomi Nasional

Komaidi juga menyoroti bahwa proyek panas bumi memiliki efek berganda terhadap perekonomian nasional. Berdasarkan analisis model input-output (IO), industri panas bumi menunjukkan nilai tambah ekonomi yang sangat tinggi, dengan indeks multiplier effect sebesar 5,8745. Artinya, setiap investasi sebesar Rp1 triliun di sektor ini dapat memberikan dampak ekonomi hingga Rp5,87 triliun.

Pertumbuhan Kapasitas Masih Rendah

Namun, kemajuan pengembangan panas bumi di Indonesia disebutnya masih belum optimal. Sejak pertama kali dikomersialkan 42 tahun lalu, kapasitas terpasang listrik panas bumi di Indonesia baru mencapai 2.638 MW, atau rata-rata hanya tumbuh 62,82 MW per tahun.

“Jumlah badan usaha yang terlibat dalam pengembangan dan pengusahaan industri panas bumi juga relatif terbatas yaitu baru sekitar 8 badan usaha,” ungkap Komaidi.

Tantangan Keekonomian dan Biaya Tinggi

Tantangan lainnya datang dari sisi keekonomian proyek panas bumi di Indonesia yang masih tergolong mahal. Menurut laporan terbaru International Renewable Energy Agency (IRENA) bertajuk Renewable Power Generation Costs in 2024, biaya listrik dari pembangkit panas bumi Indonesia menjadi yang paling mahal di antara negara-negara pengembang panas bumi lainnya.

Laporan tersebut mencatat bahwa biaya listrik yang dirata-rata atau Levelized Cost of Electricity (LCOE) panas bumi di Indonesia mencapai US$0,090 per kWh. Angka ini jauh di atas Turki yang hanya US$0,033/kWh, bahkan lebih mahal dibandingkan Filipina (US$0,081/kWh), Jepang (US$0,065/kWh), dan Selandia Baru (US$0,042/kWh).

Tingginya Biaya Terpasang Hambat Daya Saing

Mahalnya LCOE di Indonesia salah satunya dipengaruhi oleh tingginya Total Installed Cost (TIC) proyek panas bumi. Pada 2024, TIC Indonesia tercatat mencapai lebih dari US$6.000/kW. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan Turki, yang mengalami penurunan signifikan dari US$4.076/kW pada 2022 menjadi hanya US$1.217/kW di 2024.

IRENA menyebut bahwa sensitivitas keekonomian proyek panas bumi terhadap kondisi lokasi sangat tinggi. Biaya eksplorasi dan pengeboran yang tidak pasti dapat menyumbang hingga 50% dari total investasi proyek. Tingginya risiko di fase awal inilah yang membuat pembiayaan proyek panas bumi di Indonesia relatif mahal dan membutuhkan dukungan finansial serta regulasi yang berpihak.

Harapan Pengembangan Strategis dan Berkelanjutan

Kendati demikian, potensi penghematan devisa, peningkatan efisiensi anggaran subsidi, serta dampak positif terhadap moneter dan ekonomi nasional menjadikan proyek-proyek panas bumi tetap strategis untuk digarap secara berkelanjutan. Dengan kolaborasi antara BUMN energi dan penyusunan skema bisnis yang tepat, pengembangan sektor ini diyakini bisa lebih cepat dan efektif dalam beberapa tahun ke depan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index