JAKARTA - Langkah tegas kembali diambil oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) demi menjaga stabilitas pasar modal dan melindungi kepentingan investor. Kali ini, emiten properti milik Happy Hapsoro, yakni PT Sanurhasta Mitra Tbk (MINA), dikenai penghentian sementara perdagangan atau suspensi setelah mencatatkan lonjakan harga saham yang dianggap tidak wajar dalam waktu singkat.
Keputusan untuk menyetop sementara transaksi saham MINA diambil menyusul terjadinya kenaikan harga kumulatif yang sangat signifikan. Suspensi ini berlaku di dua jenis pasar, yaitu pasar reguler dan pasar tunai. Kebijakan tersebut dijalankan demi memberi ruang evaluasi dan mencegah potensi spekulasi liar yang bisa merugikan investor, khususnya pemegang saham minoritas.
Dalam keterangannya, manajemen BEI menyatakan bahwa pihak-pihak yang berkepentingan diimbau untuk memperhatikan keterbukaan informasi yang diberikan oleh emiten terkait. "Bursa mengimbau kepada pihak-pihak yang berkepentingan untuk selalu memperhatikan keterbukaan informasi yang disampaikan oleh Perseroan," demikian tulis manajemen BEI.
- Baca Juga KUR BRI untuk Modal UMKM
Di tengah situasi ini, perhatian publik juga tertuju pada aksi korporasi yang tengah dijalankan oleh MINA, yakni Penambahan Modal dengan Memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (PMHMETD) atau rights issue. Perusahaan yang bergerak di bidang properti ini menawarkan penerbitan saham baru dalam jumlah besar, yakni sebanyak-banyaknya 3,28 miliar lembar saham, dengan harga pelaksanaan sebesar Rp 50 per saham dan nilai nominal Rp 20.
Jika seluruh saham baru tersebut terserap pasar, maka MINA berpotensi menghimpun dana segar senilai Rp 164,06 miliar dari aksi korporasi ini. Dana hasil rights issue tersebut akan dimanfaatkan untuk berbagai keperluan strategis, termasuk penguatan modal kerja hingga pengembangan anak usaha.
Saat ini, struktur pemegang saham PT Sanurhasta Mitra Tbk terdiri dari tiga kelompok utama: PT Basis Utama Prima yang menguasai 45,71% saham, Happy Hapsoro yang memegang 4,44%, serta investor publik yang mengendalikan 49,85% saham. Dalam aksi rights issue kali ini, Basis Utama Prima memutuskan untuk mengalihkan seluruh haknya kepada Hapsoro berdasarkan surat yang tertanggal 28 April 2025.
Keputusan pengalihan hak tersebut terbilang signifikan karena Basis Utama Prima merupakan perusahaan yang dimiliki hampir sepenuhnya (99,9%) oleh Hapsoro. Artinya, pengalihan hak dalam rights issue ini tidak sekadar transaksi antar pihak berbeda, melainkan pergeseran struktur kepemilikan yang semakin memperkuat posisi Hapsoro secara langsung.
Melalui surat pernyataan kesanggupan bertanggal sama, Hapsoro menunjukkan komitmen kuat untuk mengambil seluruh hak yang dimiliki serta menyerap sepenuhnya hak milik Basis Utama Prima dalam proses rights issue ini. Dengan demikian, Hapsoro akan menjadi pihak dominan yang menyerap mayoritas saham baru MINA.
Namun, menariknya, dalam rights issue kali ini tidak terdapat pembeli siaga. Artinya, jika ada pemegang saham yang tidak menggunakan haknya untuk membeli saham baru, maka saham tersebut tidak akan diterbitkan. Kondisi ini memperlihatkan bahwa keberhasilan aksi korporasi ini sangat tergantung pada keseriusan pemegang saham utama, khususnya Hapsoro, untuk menyerap saham baru secara penuh.
Dalam keterbukaan informasi kepada BEI, disebutkan bahwa pasca-rights issue, komposisi kepemilikan saham akan mengalami pergeseran. Kepemilikan Basis Utama Prima diperkirakan terdilusi menjadi 30,48%, sementara kepemilikan Hapsoro akan melonjak drastis menjadi 19,68%. Sementara itu, kepemilikan publik diharapkan tetap stabil di kisaran 49,84%, dengan asumsi seluruh haknya diambil.
Adapun rincian penggunaan dana hasil rights issue telah dijabarkan dengan rinci oleh manajemen MINA. Sekitar 35% dari total dana akan dialokasikan untuk kebutuhan modal kerja perusahaan induk, seperti pembiayaan operasional rutin, termasuk pembayaran gaji, beban administrasi umum, biaya pengembangan teknologi informasi, serta sewa kantor.
Sementara itu, bagian lainnya, sekitar 35% dana, akan disalurkan dalam bentuk pinjaman kepada anak usaha, yaitu PT Minna Padi Resorts. Dana ini akan digunakan untuk mendukung biaya operasional dan pengembangan usaha anak perusahaan tersebut. Pinjaman ini memiliki jangka waktu selama lima tahun dengan bunga tetap sebesar 6% per tahun. Jika pinjaman tersebut telah jatuh tempo dan dikembalikan kepada induk, maka dana tersebut akan kembali digunakan sebagai modal kerja.
Sisanya, sebesar 30% dari dana rights issue akan digunakan sebagai modal kerja untuk anak perusahaan lainnya, yakni PT Sanur Hasta Griya. Skema pinjaman yang diterapkan serupa dengan yang diberikan kepada PT Minna Padi Resorts, yaitu tenor selama lima tahun dengan bunga 6% per tahun. Penggunaan dana ini juga difokuskan pada kebutuhan operasional serta pengembangan lini bisnis anak perusahaan.
Dengan adanya lonjakan harga saham MINA dan aksi korporasi besar-besaran yang melibatkan pemegang saham utama, perhatian investor dan pelaku pasar kini tertuju pada langkah selanjutnya yang akan diambil oleh emiten ini. BEI sendiri belum memberikan pernyataan lebih lanjut soal potensi pencabutan suspensi, namun langkah yang telah diambil menunjukkan sikap proaktif otoritas bursa dalam memastikan keterbukaan dan perlindungan investor tetap menjadi prioritas utama.
Kondisi ini menjadi contoh nyata bagaimana dinamika pasar saham Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal atau ekonomi makro, tetapi juga oleh aksi korporasi dan pergerakan internal emiten. Bagi para investor, penting untuk terus memantau perkembangan informasi resmi dari perusahaan, terutama dalam situasi yang sarat dengan aksi korporasi besar dan pergeseran kepemilikan saham seperti yang terjadi pada PT Sanurhasta Mitra Tbk.